Batasi Gawai pada Anak
Kecanduan gawai pada anak seharusnya bisa dicegah, jika orang tua menyadari dampak buruk dari penggunaan gawai pada anak. Selain mengawasi, orang tua dan guru harus membatasi penggunaan gawai pada anak agar jangan sampai berlebihan.
JAKARTA, KOMPAS— Kendati fenomena kecanduan gawai di kalangan anak-anak kian mengkhawatirkan, saat ini tidak banyak orangtua mengerti dan menyadari bahaya yang membayangi anak-anak. Padahal, orangtua berperan besar untuk mencegah anak kecanduan gawai dengan mengontrol dan mengawasi serta membatasi waktu penggunaan gawai pada anak-anak.
Ketegasan orangtua sangat penting untuk menyelamatkan anak-anak dari kecanduan gawai. Sebab, kenyataan, selain menganggap itu bukan persoalan serius, sejumlah orang tua menjadikan gawai sebagai “kompensasi” atas minimnya waktu berinteraksi dengan anak karena kesibukan kerja. Tak hanya itu, gawai menjadi alat orangtua untuk mengalihkan perhatian anak agar tidak mengganggu kesibukannya.
Psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, menyatakan ketidaktegasan orang tua dalam membatasi waktu anak-anak bermain gawai terutama gim daring merupakan salah satu faktor anak menjadi kecanduan gawai. Faktor lain adalah kurangnya literasi orangtua pada teknologi, serta orang tua kurang percaya diri memberikan aturan karena takut anak akan mengamuk ketika gawainya diambil.
“Banyak di antara orangtua kurang literasi dan gagap teknologi sehingga bisa dibohongi anaknya. Umumnya orang tua tidak tahu bahwa aplikasi atau konten tertentu seharusnya dihindari oleh anak, serta tidak tahu bagaimana cara mengaktifkan perangkat di gawai yang bisa mengontrol anak-anak agar tidak mengakses konten negatif,” ujar Anna di Jakarta, Senin (23/7/2018).
Padahal, selain komunikasi dan menjadi sarana untuk menambah ilmu dan pengetahuan, membangun jejaring pertemanan, membangun kelompok seminat (hobi), dan meningkat kreativitas, penggunaan gawai pada anak dan remaja membahayakan mereka. Bahkan saat ini, potensi negatif tersebut yang lebih mendominasi, seperti pengaruh informasi yang bersifat komersial, iklan palsu, konten kekerasan dan agresivitas, serta konten seksual dan pornografi.
“Sayangnya, kesadaran orangtua bahwa anak mudah terpapar konten negatif lewat internet masih minim. Saat diperlihatkan, misalnya hanya dengan mengetik kata kunci “porn” di Google bisa langsung muncul berbagai konten tidak layak dilihat anak, orangtua langsung kaget. Belum lagi konten yang muncul di media sosial, seperti Facebook,” kata Ketua Umum Gerakan Nasional Literasi Digital Dedy Permadi di Jakarta.
Sikap orang tua berpengaruh
Namun, jika penggunaan gawai tidak dikendalikan dan dibatasi, anak-anak akan kecanduan. Masalahnya, kecanduan anak pada gawai juga dipengaruhi oleh sikap orang tuanya sendiri. Misalnya, ada orangtua yang sengaja memberikan gawai yang mahal kepada anaknya supaya kelihatan bergengsi dan kaya di lingkungan masyarakat.
Ada orang tua juga tidak satu suara dalam menerapkan aturan di rumahnya. Akhirnya akan timbul dalam pikiran anak sosok jagoan dan penjahat dalam keluarga. “Harus ada kesepakatan dalam keluarga. Jangan, ibu melarang anak main gim daring pada malam hari, tapi ayahnya mengizinkan dengan meminta anaknya jangan bilang ke ibunya. Itu sudah jadi masalah, anak akan berpikir peraturan dibuat bisa dilanggar,” ujar Psikiater yang juga Kepala Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, Iman Firmansyah.
Harus ada kesepakatan dalam keluarga. Jangan, ibu melarang anak main gim daring pada malam hari, tapi ayahnya mengijinkan dengan meminta anaknya jangan bilang ke ibunya.
Untuk mengatasi kecanduan gim daring misalnya, orangtua harus mendampingi anak setidaknya mengambil waktu bermain gim bersama sehingga tahu apakah gim yang dimainkan anaknya sesuai dengan usianya atau berpotensi menimbulkan kecanduan. Selain itu, orangtua harus bijak ketika memberikan gawai pada anak dengan melihat usia anak.
“Ada orangtua yang punya ego, yakni merasa malu kalau anaknya tidak mengerti masalah main gim. Kadang-kadang orangtua bangga anaknya bisa main gim. Padahal kalau anak sudah merasa enak main gim, akan menempel di memori dan susah dihilangkan. Jangan anggap remeh anak kecanduan gim daring, beberapa pasien saya orangtuanya sudah menyerah sama sekali. Karena kalau sudah kecanduan gim nanti dia bisa kecanduan narkoba, pornografi dan lain-lain,” ujar Iman.
Bagi orangtua, ada banyak alasan mengapa anak-anak mereka diberikan gawai. Nita (38) ibu dari satu anak, yang tinggal di Malang, Jawa Timur, misalnya. Ia mengakui memperkenalkan gawai pada anaknya sejak usia 5 tahun. "Kalau saya lagi sibuk kerja, saya berikan gawai pada anak saya agar tidak rewel," ujarnya.
Bagi orangtua yang suami-istri bekerja pengawasan terhadap anak saat menggunakan gawai di rumah tidak mudah. Apalagi, saat anaknya libur sekolah, orang tuanya tidak bisa mendampingi di rumah karena terus bekerja. "Anak-anak di rumah sepanjang hari, kami bekerja sehingga sulit mengawasinya ketika bermain gawai," ujar Rahma (43) warga Tangerang Selatan.
Cara paling jitu
Menghadapi kecanduan gawai pada anak, menurut dosen psikologi sosial Universitas Indonesia Laras Sekarasih dibutuhkan pendidikan dan penyadaran bagi para orangtua mengenai cara yang aman mengenalkan gawai kepada anak.
"Cara paling jitu ialah memberi pengertian kepada anak. Mulai dengan bertanya kepada anak mengenai jenis-jenis fitur ataupun pemainan yang senang mereka akses di gawai dan media sosial. Kemudian, minta anak menjelaskan alasan mereka menyukai fitur tersebut," katanya.
Jika ternyata konten tersebut belum layak untuk anak, tanyakan bagaimana anak bisa mengaksesnya. Jangan langsung dimarahi karena akan berdampak kontraproduktif dan anak tetap mengonsumsi konten itu secara sembunyi-sembunyi.
“Tanyakan menurut kamu apakah konten ini sesuai dengan budaya kita? Lalu biarkan anak menganalisanya. Beri mereka pertanyaan-pertanyaan reflektif seperti \'menurut kamu kenapa permainan/tontonan/bacaan ini dikhususkan untuk umur 17 tahun ke atas? Cara ini merupakan tahapan anak merefleksikan dan bertanggung jawab atas perbuatannya," tutur Laras.
Karena itulan, orangtua dan guru jangan hanya sekadar memarahi dan melarang. Keterbukaan informasi justru memberi anak pemahaman mengenai hal baik dan buruk serta melatih mereka mengambil keputusan sejak dini.
“Anak yang menyukai konten berisi kekerasan tidak berarti menjadikan anak tersebut agresif. Sering anak tidak bisa mengekspresikan emosi dengan baik, terutama emosi marah, sedih, kecewa, dan kesal, kemudian mereka melampiaskannya ke permainan dan tontonan yang sarat kekerasan.
Gawai dan sekolah
Selain keluarga, peran sekolah dalam melindungi anak-anak dari kecanduan gawai juga penting. Saat ini kebijakan sekolah terhadap gawai berbeda-beda. Ada yang melarang penuh tapi ada juga yan memberi kesempatan muridnya menggunakan gawai tapi dengan aturan tertentu.
SD Negeri Kebon Jeruk 11 Pagi Jakarta menerapkan e-pembelajaran menggunakan aplikasi Edmodo untuk memberi penugasan bagi siswa kelas 4,5, dan 6. Para guru juga mengajarkan pada muridnya tentang internet sehat. “Siswa tetap harus diajarkan tentang kemajuan teknologi, namun perlu diawasi,” kata Utami Dewi, Guru Seni Budaya dan Bahasa Inggris SD Negeri Kebon Jeruk 11 Pagi.
Siswa tetap harus diajarkan tentang kemajuan teknologi, namun perlu diawasi.
Di kalangan anak-anak, gawai yang terhubung sistem daring digunakan untuk berbagai kepentingan. Sejumlah murid SMP Negeri 229 Jakarta yang ditemui pekan lalu mengaku mereka menggunakan gawai untuk membuka akun sosial media, seperti WhatsApp, Instagram, Line, dan Facebook. "Selain untuk hiburan, kami menggunakan gawai untuk mencari bahan pelajaran sekolah," ujar Della, muris kelas VIII SMP Negeri 229 Jakarta.
Najelaa yang juga Psikolog Pendidikan mengatakan selain memberi kesempatan anak belajar menggunakan teknologi atau lewat teknologi (membuat karya digital, kolaborasi di dunia maya dengan beberapa pihak), peraturan penggunaan gawai perlu masuk dalam kebijakan disiplin sekolah.
Peraturan penggunaan gawai, tambah Najelaa, perlu masuk dalam kebijakan disiplin sekolah. Kebijakan soal gawai perlu dikaitkan juga dengan kebijakan lain, misalnya antiperundungan, karena banyak perundungan di media sosial, termasuk mengajarkan murid dengan kejujuran akademik agar tidak melakukan plagiarisme atau mengutip pendapat tanpa sumbernya. (Sharon Patricia/Dionisia Gusda Primadita Putri/Regina Rukmorini/Deonisia Arlinta/Angger Putranto/Laraswati Ariadne Anwar/Cokorda Yudistira/Ismail Zakaria/Ester Lince Napitulu)