Anak-anak Kecanduan Internet pada Masa Pandemi Covid-19
Prevalensi ketergantungan internet pada remaja di Indonesia semakin meningkat pada masa pandemi Covid-19. Adiksi internet pada anak dalam menimbulkan berbagai dampak negatif pada kesehatan jiwanya.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Ilustrasi. Anak-anak menonton video melalui kanal Youtube di perangkat tablet. Penggunaan gawai yang berlebihan dapat menyebabkan adiksi pada internet.
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan gawai yang terhubung dengan internet sangat dibutuhkan untuk menunjang sistem pembelajaran jarak jauh pada masa pandemi Covid-19. Meski demikian, waktu penggunaannya tetap perlu dibatasi untuk mencegah timbulnya gangguan jiwa pada anak karena adiksi atau kecanduan internet.
Kepala Departemen Medik Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Kristiana Siste mengatakan, prevalensi ketergantungan internet pada remaja di Indonesia semakin meningkat pada masa pandemi Covid-19. Dari 2.933 remaja yang diteliti di 33 provinsi di Indonesia, 19,3 persen di antaranya mengalami ketergantungan pada internet.
”Durasi online dalam sehari meningkat sampai 59 persen atau jika di rata-rata sekitar 11,6 jam per hari. Hal ini perlu menjadi perhatian karena bisa menyebabkan kecanduan internet yang berujung pada gangguan jiwa pada remaja. Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena remaja yang mengalami depresi ada sekitar 20 persen,” katanya di Jakarta, Rabu (5/8/2020).
PAPARAN KEPALA DEPARTEMEN MEDIK KESEHATAN JIWA FKUI-RSCM KRISTIANA SISTE
Durasi penggunaan internet yang aman untuk anak.
Adiksi internet pada anak dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Hal itu antara lain gangguan pada fungsi kognitif, seperti daya ingat dan konsentrasi; gangguan pada kondisi fisik, seperti obesitas dan menurunkan sistem imun; serta gangguan psikologis, seperti depresi dan insomnia. Selain itu, remaja yang mengalami adiksi internet juga rentan memiliki gangguan sosial, seperti sulit bergaul di dunia nyata dan cenderung menjadi agresif.
Siste mengatakan, seorang remaja dapat dikatakan mengalami ketergantungan pada internet apabila penggunaan internet dilakukan secara eksesif atau berlebihan dan menyebabkan gangguan pada fungsi kehidupan sehari-hari. Hal itu ditandai dengan sejumlah gejala, yakni pikiran yang terganggu oleh hal yang ada di internet, waktu penggunaan yang meningkat, emosi yang cenderung negatif, serta tubuh menjadi mudah lelah.
”Orangtua perlu sadar jika anak mengalami berbagai gejala tersebut. Selain itu, upaya pencegahan juga harus dilakukan. Pada masa pandemi ini memang susah membatasi waktu penggunaan gawai dan internet. Untuk itu, penentuan batas waktu penggunaan internet harus diterapkan secara disiplin,” katanya.
Kompas/Mohammad Hilmi Faiq
Anak-anak usia belasan tahun ini belajar mengoperasikan internet dalam acara Kemah Juara di Kiara Payung, Sumedang, Jawa Barat, Kamis (5/7).
Upaya pencegahan adiksi internet bisa dilakukan dengan membuat jadwal rutin penggunaan internet yang disepakati bersama antara orangtua dan anak. Rutinitas tersebut perlu dipertahankan selama masa pembelajaran jarak jauh dijalankan.
Aturan yang jelas juga perlu diberlakukan mengenai penggunaan gawai dan internet, misalnya tidak boleh menggunakan di kamar tidur. Untuk anak usia di atas 12 tahun dianjurkan menerapkan detoksifikasi internet setidaknya satu hari penuh selama satu minggu.
Spesialis Perlindungan Anak dari Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) Indonesia, Ali Aulia Ramly, menambahkan, penggunaan internet yang berlebihan juga dapat memicu anak terpapar informasi yang tidak benar terkait Covid-19. Anak pun berpotensi mengalami kecemasan, kehilangan harapan, dan kelelahan secara psikis.
Untuk itu, orangtua perlu mendampingi anak ketika sedang mengakses internet. Selain itu, anak juga perlu dibantu untuk mengetahui dan menghindari bentuk-bentuk misinformasi serta konten yang tidak sesuai dengan usianya yang dapat menimbulkan kecemasan tentang Covid-19.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Fidiansjah menyampaikan, kondisi pandemi Covid-19 berdampak pada masalah kejiwaan anak dan remaja. Meskipun penggunaan internet meningkat pada masa pandemi, di lain sisi masih banyak anak yang yang tidak memiliki akses untuk pembelajaran secara daring. Itu juga menyebabkan gangguan psikososial pada anak.
WAHANA VISI INDONESIA
Dampak gangguan psikosial pada anak selama masa pandemi Covid-19.
Mengutip data dari studi cepat dari Wahana Visi Indonesia terkait dampak Covid-19 dan pengaruhnya pada anak Indonesia, sebanyak 32 persen anak tidak memiliki akses pendukung untuk pembelajaran secara daring dan luring. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan program pembelajaran dalam bentuk apa pun selama masa pandemi ini.
Terkait dengan dampak tekanan psikososial, studi tersebut juga menunjukkan, 47 persen anak merasa bosan berada di rumah. Selain itu, 35 persen anak merasa khawatir ketinggalan pelajaran dan 15 persen anak merasa tidak aman. Bahkan, ada 10 persen anak yang juga merasa khawatir terhadap penghasilan orangtua dan kekurangan makan.
”Butuh kerja sama semua pihak untuk mencegah dampak gangguan jiwa dan psikososial pada anak dan remaja selama pandemi Covid-19. Orang yang terdekat dengan anak perlu lebih sadar mengenali tanda dan gejala yang muncul. Berbagai layanan dukungan kesehatan jiwa dapat diakses oleh masyarakat, salah satunya melalui sambungan telepon 119 extension 8,” kata Fidi.