Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Masih Jadi Pekerjaan Rumah
Penyandang disabilitas terutama perempuan disabilitas mengalami ketidakadilan berlapis di berbagai sektor, mulai dari kesehatan hingga ekonomi. Di masa pandemi Covid-19, kerentanan mereka semakin meningkat.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas dan menerbitkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Namun, situasi penyandang disabilitas masih perlu perhatian khusus.
Oleh karena itu, perlu ada langkah-langkah dan terobosan dari pemerintah dan pemangku kebijakan dalam meningkatkan pemenuhan hak dan perlindungan penyandang disabilitas, terutama perempuan dan disabilitas yang menghadapi situasi khusus.
Terobosan kunci dari Undang-Undang Penyandang Disabilitas adalah perubahan paradigma dari iba menjadi paradigma hak asasi manusia.(Andi Yentriyani)
“Terobosan kunci dari Undang-Undang Penyandang Disabilitas adalah perubahan paradigma dari iba menjadi paradigma hak asasi manusia,” ujar Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andi Yentriyani pada Unjuk Bincang bertajuk “Kepemimpinan Perempuan: Memastikan Perlindungan Hak-Hak Perempuan Penyandang Disabilitas” yang digelar secara daring oleh Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNFPA) Indonesia bersama Komnas Perempuan dan Kedutaan Besar Kanada, Selasa (16/3/2021).
Terobosan tersebut, harus diwujudkan dalam bentuk perlakuan dan kemudahan khusus bagi penyandang disabilitas untuk dapat mengakses, memanfaatkan dan menikmati hak. Hal ini bukanlah sebuah tindakan karitatif melainkan tanggung jawab konstitusional negara dalam memastikan kesetaraan dan keadilan.
“Perubahan paradigma ini sangat fundamental, dan selama lima tahun kita melihat perkembangannya di berbagai kebijakan mengenai implementasi kebijakan inklusi dan akomodasi layak di berbagai sektor, termasuk dalam upaya penanganan kekerasan terhadap perempuan,” kata Andy.
Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad menambahkan pasca lahirnya UU Penyandang Disabilitas situasi penyandang disabilitas memang mulai membaik, terutama dalam perhatian kepada disabilitas. Ia mencontohkan, jaman dulu tidak mungkin ada penyandang disabilitas yang mendapat posisi penting dalam pemerintahan, apalagi perempuan disabilitas.
“Sekarang ada perempuan disabilitas menjabat direktur. Kalau jaman dulu, kayaknya enggak ada seorang perempuan disabilitas duduk mendapat posisi sebagai direktur di kementerian, itu masih jauh dari mimpi. Tapi sekarang sudah terbukti. Di Komnas Perempuan juga ada. Ini kemajuan yang luar biasa,” ujar Bahrul yang akrab disapa Cak Fu, yang bersama Rainny Hutabarat duduk sebagai komisioner Komnas Perempuan, mewakili penyandang disabilitas.
Meski demikian, Bahrus menegaskan masih banyak hal yang perlu diperbaiki terkait disabilitas. Misalnya soal pendidikan. Apalagi menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2016 ada 45,74 persen penyandang disabilitas tidak pernah lulus SD. Belum lagi, soal kekerasan terhadap perempuan disabilitas, yang memerlukan pendampingan khusus saat berhadapan dengan hukum.
Perhatian terhadap perempuan disabilitas perlu ditingkatkan, karena perempuan dan anak perempuan yang hidup dengan disabilitas sering mengalami ketidakadilan berlapis di berbagai sektor, dari kesehatan hingga ekonomi. Interseksionalitas sebagai perempuan dan penyandang disabilitas juga membuat mereka lebih rentan terhadap kekerasan fisik dan seksual, serta eksploitasi oleh anggota keluarga dan orang lain.
Di masa pandemi Covid-19 kerentanan perempuan disabilitas semakin meningkat, baik kekerasan seksual maupun kekerasan lainnya. “Perlu ada ada upaya perlidungan khusus dan lebih kepada perempuan penyandang disabilitas, terutama di dalam kondisi pandemi saat ini,” jelas Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Vennetia R Dannes, saat mewakili Menteri PPPA pada acara tersebut.
Oleh karena itu, komitmen para pemangku kepentingan, peningkatan kesadaran publik, dan pelibatan perempuan dalam pembuatan kebijakan terkait hak-hak penyandang disabilitas harus ditingkatkan. Ini penting untuk memastikan kesejahteraan serta kesetaraan akses dan peluang di semua sektor bagi perempuan dan anak perempuan yang hidup dengan disabilitas.
“Kita harus mendukung dan memperkuat kepemimpinan perempuan penyandang disabilitas agar mereka terlibat secara aktif dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan yang mempertimbangkan hak-hak dan kesejahteraan mereka,” ujar Kepala Perwakilan UNFPA Indonesia Anjali Sen.
Pada acara tersebut, juga hadir sebagai pembicara Maliki (Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat, Bappenas), Eva Rahmi Kasim (Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sopsial), Luluk Ariyantiny, Ketua Yayasan Pelopor Peduli Disabilitas Situbondo (PPDiS), dan Nabila May Sweetha (Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan - Perdik Sulawesi Selatan).
Luluk membagikan praktik baik yang dilakukan organisasi penyandang disabilitas bersama Pemerintah Kabupaten Situbondo dalam mewujudkan daerahnya sebagai kabupaten inklusif, melalui pelibatan kelompok disabilitas mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan di pembangunan. “Kalau bicara disabilitas ya teman-teman disabilitas yang harus dilibatkan,” ujar Luluk yang mengajak perempuan disabilitas muda untuk aktif berkomunitas,” ujarnya.
Sebagai penyandang disabilitas, Nabila berusaha berjuang untuk meraih pendidikan meskipun ada hambatan. “Disabilitas juga punya hak untuk sekolah. Banyak teman-teman perempuan disabilitas dilarang sekolah, tinggal di rumah, dan tidak mengerti soal kekerasan seksual,” paparnya.