Inventarisasi, Langkah Awal Lindungi Musik Tradisional
Sebagai langkah awal perbaikan tata kelola dan pelindungan musik tradisional, pemerintah akan menggencarkan inventarisasi dengan menggandeng para pelaku musik tradisional.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -Inventarisasi musik tradisional menjadi langkah awal pelindungan. Pengumpulan data dan pencatatan hak kekayaan intelektual musik tradisional membutuhkan keseriusan pemerintah bersama para pelaku ekosistem musik tradisional.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) Freddy Haris memperkirakan, di Indonesia terdapat 60-an juta lagu. Dari jumlah tersebut, satu hingga dua juta di antaranya adalah lagu daerah. Lagu-lagu tersebut belum semuanya tercatat hak kekayaan intelektualnya.
Masih sedikit. Mungkin ribuan. Itu baru lagu daerah, belum alat musik dan bentuk ekspresi budaya tradisional lainnya.(Freddy Haris)
"Masih sedikit. Mungkin ribuan. Itu baru lagu daerah, belum alat musik dan bentuk ekspresi budaya tradisional lainnya," ujar Freddy dalam diskusi "Pelindungan Karya Cipta Musik Tradisi", Senin (15/3/2021), di Jakarta.
Pendataan dan pencatatan hak kekayaan intelektual musik tradisional masih memiliki banyak kelemahan. Upaya inventarisasi seringkali tidak maksimal. Ketika ada kasus klaim musik tradisional dari luar negeri, masyarakat biasanya baru meramaikan.
Dia menceritakan pengalamannya saat kunjungan dinas ke salah satu negara tetangga. Dia menjumpai, permainan angklung yang disertai klaim penjelasan bahwa itu adalah alat musik daerah negara itu.
Komposer gamelan Peni Candra Rini sependapat dengan rencana penataan inventarisasi musik tradisional oleh pemerintah. Di tengah tren distribusi konten di ruang virtual, klaim hak kekayaan intelektual karya musik tradisional mudah dilakukan oleh pihak-pihak tertentu demi keuntungan ekonomi.
Kejadian seperti itu pernah menimpa komposer musik tradisional Rahayu Supanggah yang karya-karyanya diapresiasi secara luring sampai ke luar negeri, tetapi miskin penghargaan ketika karyanya masuk di ruang virtual."Kasus serupa barangkali juga terjadi pada musik sebagai bagian dari ekspresi budaya tradisional yang tidak diketahui penciptanya," katanya.
Etnomusikolog dari Universitas Sumatera Utara (USU) Rithaony Hutajulu menceritakan, keberadaan musik tradisional sekarang kerap kali dianggap ketinggalan zaman. Beberapa pelaku budaya dari musik tradisional bahkan ada yang memberi stigma kuno.
Di media massa, porsi publikasi ataupun penyiaran musik tradisional terbatas. Ini semakin membawa hegemoni ke publik bahwa musik tradisional itu kuno.
Pada saat bersamaan, upaya inventarisasi musik tradisional Indonesia justru banyak dikerjakan oleh peneliti dan etnomusikolog asing. Hasilnya berupa arsip yang disimpan di luar negeri.
Mengutip laman folkways.si.edu, pada 2014, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mengumumkan telah meluncurkan Koleksi Musik Tradisional UNESCO bekerja sama dengan ahli musik Alain Daniélou (1907–1994) dan Dewan Musik Internasional (IMC). Kolaborasi itu dilanjutkan dengan Dewan Internasional untuk Musik Tradisional (ICTM). Koleksi Musik Tradisional UNESCO berdiri sebagai salah satu pencapaian paling awal dari program UNESCO untuk melindungi dan merevitalisasi warisan budaya takbenda.
Koleksi Musik Tradisional UNESCO terdiri dari 127 album musik dari seluruh dunia. Rekaman berasal dari lebih 70 negara. Sebagian besar koleksi dikumpulkan di tempat dan disajikan sebagai rekaman lapangan.
Sementara itu, Smithsonian Folkways Recordings berperan menerbitkan selusin album yang belum pernah dirilis sebelumnya dan merilis ulang 115 album rekaman yang diterbitkan antara tahun 1961-2003 tetapi tidak dicetak lagi sejak 2005. Semua tersedia dalam format digital dan fisik.
Contoh dari Indonesia adalah album Java:Sundanese Folk Music, Java:Vocal Art, dan Bali:Balinese Music of Lombok (various artist)."Inventarisasi juga berfungsi untuk merevitalisasi pengetahuan musik tradisional kepada generasi penerus. Dengan kata lain, ada data arsip yang bisa disebarluaskan untuk kepentingan regenerasi ataupun pendidikan seni di sekolah," ujar Rithaony.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) Freddy HarisBiaya terjangkau
Untuk mendorong semakin banyak pencatatan hak kekayaan intelektual berupa hak cipta pada musik tradisi, Freddy berencana menurunkan biaya rata-rata pendaftaran dari Rp 400.000 menjadi Rp 100.000. Dia berharap, pelaku di ekosistem musik tradisi tidak sebatas memandang nilai di balik pungutan pendaftaran, melainkan potensi besar dampak ekonomi dan pelindungan budaya yang akan muncul.
"Sistem pengajuan pendaftaran dan pemrosesan sudah daring. Memang dengan nilainya diturunkan, mirip berjualan di laman pemasaran. Masyarakat musik tradisi harus melihat potensi besar setelah itu, seperti lembaga manajemen kolektif (LMK) yang memungut royalti penggunaan untuk disalurkan ke mereka," imbuh Freddy.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, pendataan musik tradisional tidak bisa main-main. Pihaknya akan melibatkan para etnomusikolog, musisi musik tradisional, sampai industri.
Secara sistem, pendataan musik tradisional yang akan dirintis dari Ditjen Kebudayaan Kemendikbud terhubung langsung dengan sistem pencatatan hak kekayaan intelektual (hak cipta) di Kemkumham. Arsip hasil inventarisasi yang pernah dilakukan sebelumnya juga akan diintegrasikan ke sistem itu.
Sejalan dengan upaya tersebut, Hilmar menyampaikan urgensi pembentukan LMK musik tradisional. Dia berharap, dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun, LMK musik tradisi sudah berdiri. Pemerintah berkomitmen membantu pendiriannya."Manajemen pengelolaan LMK harus profesional," tutur dia.