Komposer dan maestro gamelan, Rahayu Supanggah, berpulang, Selasa (10/11/2020) pukul 02.45. Guru Besar ISI Surakarta itu dinilai sebagai sosok pembaru dalam dunia musik gamelan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
SOLO, KOMPAS — Komposer dan maestro gamelan, Rahayu Supanggah, berpulang dalam usia 71 tahun, Selasa (10/11/2020) pukul 02.45, di Kota Solo, Jawa Tengah. Guru Besar Institut Seni Indonesia Surakarta itu dinilai sebagai sosok pembaru dalam dunia musik gamelan.
Esha Karwinarno dari Bagian Humas ISI Surakarta mengatakan, Supanggah meninggal di Rumah Sakit Brayat Minulya, Solo. Jenazah Supanggah dimakamkan di Astana Laya Benawa di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pada Selasa siang.
”Prosesi pemberangkatan jenazah diiringi dengan Gending Bedhayan Amartya yang merupakan karya Pak Supanggah,” ujar Esha saat dihubungi Kompas.
Rahayu Supanggah lahir di Boyolali, Jawa Tengah, 29 Agustus 1949. Sebagai komposer, Supanggah telah melahirkan banyak karya dan berkolaborasi dengan sejumlah seniman dunia.
Salah satu contohnya, Supanggah menjadi penata musik untuk pertunjukan teater I La Galigo yang dipentaskan di sejumlah negara. Sutradara pentas itu adalah Robert Wilson yang merupakan salah satu seniman teater terkemuka dunia.
Selain itu, Supanggah juga pernah bekerja sama dengan sutradara kenamaan dunia, seperti Peter Brook dan Ong Ken Sen. Di sisi lain, Supanggah juga menggarap komposisi musik untuk film Opera Jawa karya Garin Nugroho serta pentas tari Passage Through the Gong karya koreografer Sardono W Kusumo.
Selain dikenal sebagai maestro gamelan dan komposer, Supanggah juga merupakan dosen ISI Surakarta. Esha menyebut, Supanggah telah pensiun sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada 2019. Namun, dia masih aktif mengajar di program Pascasarjana ISI Surakarta.
”Beliu sudah pensiun sebagai PNS setahun yang lalu karena guru besar, kan, pensiun pada usia 70 tahun. Namun, beliau masih mengajar juga di pascasarjana meskipun sudah paripurna sebagai PNS,” ujar Esha.
Kritikus musik asal Solo, Joko S Gombloh, mengatakan, Rahayu Supanggah merupakan sosok pembaru dalam seni karawitan atau gamelan. Gombloh menyebut, dalam sejumlah karyanya, Supanggah telah menyajikan banyak hal baru dalam musik gamelan.
”Mas Panggah menunjukkan bahwa di dalam musik gamelan itu masih ada hal-hal yang bisa dikembangkan dan ditemukan kembali,” kata Gombloh yang pernah menjadi murid Supanggah di ISI Surakarta.
Gombloh menambahkan, saat melakukan pembaruan dalam musik gamelan, Supanggah menggunakan pendekatan yang tidak frontal. Oleh karena itu, pembaruan yang dihasilkan Supanggah dalam karya-karyanya terasa tidak ekstrem dan tetap menjadikan gamelan sebagai sesuatu yang utama.
”Ekspresi-ekspresi karya yang dihasilkan Mas Panggah itu tampak lebih halus dan tidak frontal dibandingkan karya-karya musisi gamelan kontemporer yang lain,” ujar Gombloh yang juga merupakan dosen Universitas Sebelas Maret, Solo.
Menurut Gombloh, pada masa-masa awal berkarya, Supanggah memang sempat melakukan eksperimentasi untuk membuat alat-alat musik baru. Namun, pada akhirnya, Supanggah kembali pada instrumen gamelan. ”Dia bersetia pada gamelan dan melakukan pengembangan untuk menemukan pendekatan-pendekatan baru dalam gamelan,” ujarnya.
Dengan pendekatan yang tidak ekstrem itu, Gombloh menilai, Supanggah memiliki posisi yang unik di dunia musik tradisional.
Berpijak pada tradisi
Dosen Etnomusikologi ISI Surakarta, Aris Setiawan, mengatakan, meskipun karya-karyanya telah mendunia, Supanggah masih terus berpijak pada tradisi saat berkarya. Aris mencontohkan, dalam komposisi musik yang dibuatnya untuk film Setan Jawa karya Garin Nugroho, Supanggah menghadirkan musik gamelan tanpa eksperimentasi berlebihan.
Hampir semua karyanya itu berpijak pada tradisi.
”Sebagai orang yang berlatar belakang tradisi yang kuat, Pak Panggah tidak neko-neko (macam-macam). Hampir semua karyanya itu berpijak pada tradisi,” kata Aris.
Menurut Aris, Supanggah memilih untuk terus berpijak pada tradisi karena meyakini kesenian tradisional masih memiliki banyak kemungkinan untuk terus dikembangkan. ”Beliau membuktikan itu,” ucapnya.
Yang menarik, pilihan untuk bersetia pada tradisi itu justru membuat karya-karya Supanggah mendapat apresiasi dari banyak seniman dunia. Aris menuturkan, pada 2009, Supanggah diajak berkolaborasi dengan grup musik The Kronos Quartet yang sangat disegani di dunia.
”Pak Panggah diminta membuat sebuah karya untuk Kronos Quartet. Sampai sekarang, belum ada musisi Indonesia yang diminta karyanya oleh Kronos Quartet selain Pak Panggah,” kata Aris.
Aris menambahkan, selain sebagai seniman, Supanggah juga memiliki peran besar sebagai akademisi. Hal ini karena Supanggah telah menulis dua buku penting terkait gamelan, yakni Bothekan Karawitan I dan Bothekan Karawitan II.
Aris menyebut dua buku karya Supanggah itu telah menjadi rujukan bagi banyak peneliti yang melakukan riset mengenai gamelan. Mereka yang merujuk ke buku Supanggah itu bukan hanya para peneliti Indonesia, melainkan juga peneliti dari negara-negara lain.
”Hampir mustahil tidak menyebut nama Rahayu Supanggah saat seseorang melakukan kajian seni karawitan. Apabila orang meneliti karawitan, tetapi tidak menyebut nama Rahayu Supanggah, bisa dipertanyakan lebih jauh penelitiannya,” kata Aris, mengakhiri.