Pasal-pasal karet dalam UU ITE telah menjadi ancaman nyata yang merusak kebebasan pers. Revisi total UU ITE harus dilakukan dengan mencabut pasal-pasal karet tersebut. Pers seharusnya dikecualikan dalam UU ITE.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Lembaga pemantau Reporters without Borders menempatkan kebebasan pers di Indonesia pada 2020 di posisi ke-119 atau meningkat lima poin dibandingkan dengan 2019. Namun, kemajuan ini dibayang-bayangi sejumlah kondisi yang menekan, bahkan merusak kebebasan pers, salah satunya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-undang yang awalnya didesain untuk mengatur informasi elektronik dan dokumentasi elektronik tersebut akhirnya lebih banyak mengatur kata-kata yang tersebar/disampaikan melalui media elektronik. Korban pun berjatuhan karena undang-undang ini, termasuk wartawan yang melakukan tugas jurnalistiknya.
Data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menunjukkan, sejak UU ITE ditetapkan pada 2018 terdapat paling tidak 16 kasus pemidanaan terhadap wartawan dan media menggunakan UU ITE. Pemidanaan terhadap wartawan Banjarhits, Diananta Putra Sumedi, yang dijerat dengan Pasal 28Ayat (2) UU ITE menjadi ancaman nyata bagi kebebasan pers.
Sejak UU ITE ditetapkan pada 2018 terdapat paling tidak 16 kasus pemidanaan terhadap wartawan dan media menggunakan UU ITE.
Pasal 28 Ayat (2) yang seharusnya untuk melindungi masyarakat dari propaganda kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan justru menyasar wartawan yang menjalankan tugas jurnalistiknya. Diananta dijerat dengan pasal ini setelah menulis berita konflik lahan di Kalimantan Selatan antara warga dan pengusaha.
Pernyataan Dewan Pers bahwa berita yang ditulis Diananta merupakan produk pers dan harus diselesaikan melalui sengketa pers tak menyurutkan langkah penegak hukum untuk terus memproses kasus tersebut. Nota kesepahaman antara Dewan Pers dan aparat penegak hukum, baik dengan Kepolisian Negara RI maupun Kejaksaan Agung, juga tidak mampu menepis langkah untuk mengkriminalisasi wartawan.
Pasal 27 Ayat (3) menambah risiko kriminalisasi terhadap wartawan yang melakukan kerja jurnalistik dengan tuduhan pencemaran dan penghinaan. Wartawan Merdiarealitas.com, M Reza alias Epong, misalnya, divonis 1 tahun penjara karena terbukti bersalah menulis berita tentang dugaan penyalahgunaan wewenang dan menyebarkan tautan berita tersebut di akun Facebook pribadinya.
Kondisi-kondisi tersebut bertentangan dengan janji pemerintah bahwa undang-undang ini tidak akan membelenggu kebebasan pers. Bahkan, Pasal 27 Ayat (3) disebut memberikan perlindungan bagi wartawan karena adanya unsur ”dengan sengaja dan tanpa hak”. Namun, praktiknya tidak demikian. Dalam kasus Diananta, misalnya, memublikasikan berita yang ditulis dinilai sebagai unsur ”dengan sengaja”.
Amanat konstitusi
Selain dua pasal tersebut, Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) mencatat paling tidak ada tiga pasal lagi dalam UU ITE yang berpotensi dan menghambat kebebasan pers. Tiga pasal lain itu meliputi Pasal 26 Ayat (3) tentang penghapusan informasi elektronik, Pasal 36 yang menambah ancaman pidana dalam Pasal 27-34, serta Pasal 40 Ayat (2b) tentang pemblokiran.
Kelima pasal karet dalam UU ITE tersebut, kata Direktur LBH Pers Ade Wahyudin, Rabu (10/3/2021), mengancam atau bahkan menggerus kebebasan pers yang merupakan amanat konstitusi dan dijamin dalam UUD 1945. Pengakuan atas kebebasan pers dalam konstitusi negara yang seharusnya diejawantahkan dalam perundang-undangan turunan UUD 1945 pada kenyataannya tidak demikian.
Upaya sejumlah kalangan, termasuk kalangan pers, untuk mengajukan uji materiil pasal-pasal karet tersebut juga selalu mentah karena Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak ada yang salah dengan UU ITE. Revisi UU ITE pada 2016 pun ternyata tidak menghentikan daya rusak pasal-pasal karet yang ada dalam UU ITE. Kasus-kasus pemidanaan masyarakat, termasuk wartawan, terus terjadi.
Abdul Manan, mantan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu mengatakan, pemidanaan terhadap wartawan memberi efek kejut dan menakutkan. Dilaporkan ke polisi karena pasal-pasal tersebut sudah menjadi teror tersendiri bagi wartawan, apalagi sampai diproses ke pengadilan, hal itu bisa menjadi efek jera.
Dampaknya tidak hanya kepada wartawan atau lembaga pers yang menaunginya, tetapi juga masyarakat. Ancaman-ancaman tersebut bisa membuat wartawan tidak bebas ketika melakukan fungsi kontrol, bahkan bisa membuat wartawan melakukan swasensor. Pada akhirnya, ini menjadi bentuk kontrol terhadap informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat.
Undang-Undang Pers yang menjamin kebebasan pers dan melindungi wartawan saat melakukan kerja jurnalistik, kata Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut, Jumat (12/3/2021), menjadi tidak ada gunanya selama UU ITE menjerat wartawan dan media. Penyelesaian sengketa pers di Dewan Pers nyatanya bukan jaminan kasusnya tidak masuk ke ranah pemidanaan. UU ITE memberi peluang itu.
Karena itu, komunitas pers yang terdiri dari LBH Pers, AMSI, AJI, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia mendorong pemerintah merevisi UU ITE dengan mencabut pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers. Koalisi masyarakat sipil pun mendesak pemerintah merevisi total UU ITE dengan mencabut pasal-pasal karet dalam UU ITE.
Pemerintah, menurut Wenseslaus, harus kembali ke tujuan awal pembuatan UU ITE, yaitu untuk mengatur informasi dan dokumentasi elektronik. Pers pun harus dikecualikan dalam undang-undang ini. Cara untuk menyehatkan ekosistem digital bukan dengan mengatur masyarakat seperti ”dilakukan” UU ITE, melainkan dengan mengatur platformnya.