Melawan Kekerasan Berbasis Jender yang Tak Berjeda
Pandemi Covid-19 menjadi masa-masa yang sulit bagi perempuan. Beban ganda, bahkan beban berlapis, selama pandemi membutuhkan resiliensi perempuan agar mampu bertahan dalam pandemi bayangan yang berwajah kekerasan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Upaya membangun kesadaran publik akan pentingnya perlindungan perempuan masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Gerakan untuk membongkar dan meruntuhkan budaya patriarki yang merendahkan harga diri dan menghancurkan hidup perempuan serta membangun cara pandang akan penghormatan terhadap harkat dan martabat perempuan harus terus dilakukan secara masif dan digaungkan lebih nyaring,
Maka, Peringatan Hari Perempuan Internasional (International Womens Day/IWD) tahun 2021 menjadi momen bagi bangsa Indonesia untuk berefleksi sejauh mana upaya mewujudkan perlindungan terhadap perempuan di Tanah Air. Sudah pada titik mana Indonesia melangkah? Seberapa besar perubahan cara pandang masyarakat dan pengambil kebijakan dalam memandang situasi dan kondisi perempuan korban-korban kekerasan.
Kenyataannya, hingga menjelang IWD 2021 pun, kejahatan terhadap perempuan dalam berbagai modus terus berlangsung. Bahkan, pada masa pandemi covid-19, kekerasan terhadap perempuan tiada berjeda.
Lihat saja, praktik kawin tangkap di Nusa Tenggara Timur. Kendati menuai kecaman dari berbagai kalangan karena melanggar hak asasi manusia, penangkapan terhadap perempuan dengan kedok ”adat” oleh kelompok laki-laki dengan cara-cara yang sangat merendahkan harga diri perempuan tetap saja berlangsung.
Padahal, belum sampai setahun lalu, kawin tangkap di Sumba yang viral di media sosial terjadi. Sampai-sampai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati pun turun ke langsung ke Sumba. Kini, menjelang IWD 2021, Rabu (3/3/2021) pekan lalu, publik kembali dikejutkan dengan berita kawin tangkap. Kejadian yang sama terus berulang, seakan tidak membuat jera laki-laki di daerah tersebut.
Dari informasi yang diperoleh, pada Rabu pagi sekitar pukul 11.00 waktu setempat, SRI (20), warga Desa Wewula, Kecamatan Wewewa Selatan, Sumba Barat Daya, didatangi para pelaku saat sedang memasak di kios tempatnya berjualan. Pelaku DB (47) bersama pelaku lain berjumlah 7 orang berpura-pura menjadi pembeli langsung menarik tangan SRI yang saat itu sendirian, dan membawanya dengan mobil bak terbuka ke rumah pelaku yang menginginkan dirinya menjadi istrinya.
Atas peristiwa tersebut, keluarga melaporkan kepada kepolisian. Hingga pekan lalu, tiga pelaku ditetapkan sebagai tersangka. ”Apresiasi kepada aparat kepolisian yang sudah melakukan tindak tegas. Mudah-mudahan tindak tegas ini akan memberikan efek jera kepada pelaku sehingga ke depan tidak akan ada lagi pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan dengan kedok adat, budaya, dan agama,” kata Menteri Bintang.
Berulangnya kejadian di Sumba membuktikan betapa sosialisasi dan edukasi pada masyarakat tentang pentingnya perlindungan pada perempuan belum berjalan. Dan, kawin tangkap hanyalah salah satu dari sekian fenomena kekerasan terhadap perempuan yang terus terjadi hingga kini. Sejumlah survei dan kajian berbagai lembaga pun menunjukkan betapa kekerasan dalam berbagai bentuk terus mendera perempuan selama pandemi Covid-19.
Seperti survei daring mengenai kekerasan berbasis jender yang dilakukan oleh Lintas Feminis Jakarta pada periode 23 Oktober-30 November 2020, di 25 provinsi dengan 315 responden yang menemukan banyak korban kekerasan baru selama pandemi Covid-19,. Bahkan, sebanyak 22 persen responden korban yang mengatakan bahwa mereka terkena kekerasan untuk pertama kali pada saat pandemi.
Tidak hanya jumlah, frekuensi dan intensitas kekerasan berbasis jender juga meningkat selama pandemi. Kekerasan verbal adalah jenis kekerasan yang paling sering dialami korban. Namun, kekerasan fisik dan ekonomi adalah dua jenis kekerasan utama yang meningkat selama pandemi. Kekerasan berbasis jender yang juga disebut sebagai fenomena pandemi bayangan (shadow pandemic) kini menjadi ancaman besar bagi perempuan.
Selaras dengan kajian Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan sejumlah lembaga, juga ditemukan ada korelasi positif antara berkurangnya pendapatan rumah tangga dan peningkatan kasus kekerasan berbasis jender. Dari penelitian tersebut juga terlihat, perempuan dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah adalah kelompok yang paling rentan terhadap kasus KBG, dan tempat tinggal/rumah adalah lokasi yang paling rentan terjadi kekerasan berbasis jender.
Hal mengkhawatirkan, kendati kekerasan yang dialami terus berulang dan lebih dari satu jenis kekerasan, hanya sebagian kecil korban kekerasan berbasis jender yang melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada lembaga layanan. Sementara dalam situasi pandemi, penyedia layanan pendampingan korban mengalami kesulitan dalam pendampingan korban, terutama dari sisi finansial.
Catatan Tahunan (Catahu) 2020 Komnas Perempuan yang diluncurkan, Jumat (5/3/2021) pekan lalu juga mengonfirmasi betapa pandemi setahun terakhir tidak menyurutkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual dalam berbagai modus.
Selama pandemi, kekerasan di ranah personal/rumah tangga menjadi ancaman terbesar bagi perempuan. Bahkan, kekerasan berbasis siber/daring serta fenomena perkawinan anak semakin mengkhawatirkan karena terus mengancam perempuan. Komnas Perempuan pun mencatat, kekerasan berbasis siber di ranah personal naik signifikan, naik 920 persen dibandingkan dengan tahun lalu,
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati pun mengakui betapa pandemi Covid-19 membuat posisi perempuan semakin tidak menguntungkan. Kebijakan ”di rumah saja” memiliki tantangan tersendiri. Dengan tinggal di rumah, kekerasan tidak mudah diketahui oleh orang lain. Sementara penyintas semakin terbatas peluangnya untuk menghindari kekerasan di dalam rumah.
Sementara situasi di luar rumah, ternyata tidak lebih baik. Krisis sosial ekonomi akibat pandemi juga membuat perempuan rawan terhadap berbagai eksploitasi, terutama eksploitasi seksual. Selain kerja-kerja bersama memerangi kekerasan terhadap perempuan, kehadiran regulasi yang melindungi perempuan, seperti Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, menjadi sangat penting.