Moderasi Beragama Perlu Diterapkan di Perguruan Tinggi Islam
Dalam satu dekade terakhir, beberapa survei menunjukkan bahwa perguruan tinggi Islam memiliki kerentanan yang cukup kuat terhadap radikalisme.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik moderasi beragama sangat penting diterapkan di perguruan tinggi Islam karena mahasiswa di kampus tersebut memiliki kemungkinan untuk pro terhadap radikalisme. Perguruan tinggi Islam dapat menerapkan sejumlah protokol, seperti pendampingan, pemonitoran, dan evaluasi, hingga melakukan rehabilitasi untuk individu yang sudah terpapar ekstremisme.
Hal tersebut terangkum dalam hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta terkait potret moderasi beragama di kalangan mahasiswa Muslim. Studi kasus penelitian tersebut dilakukan di tiga perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN), yakni UIN Syarief Hidayatullah, UIN Sunan Gunung Jati (Bandung), dan UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta).
Penelitian tersebut dilakukan dengan metode campuran kuantitatif dan kualitatif serta pengambilan sampel secara acak, seperti mahasiswa umum, mahasiswa rujukan, hingga dosen atau pejabat fakultas. Sementara indikator moderasi beragama sesuai ketentuan dari Kementerian Agama (Kemenag), yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, dan anti-kekerasan.
Hasil penelitian dari metode kuantitatif menunjukkan, kebanyakan variabel moderasi beragama yang diturunkan dari tiga indikator memprediksi opini pro-radikalisme. Artinya, mahasiswa di tiga PTKIN yang diteliti memiliki kemungkinan menjadi radikal. Adapun variabel yang paling rentan adalah empati eksternal dan internal.
Sementara dari metode kualitatif, hasil penelitian menemukan PTKIN masih memiliki kelemahan untuk mencegah radikalisme. Kelemahan itu antara lain belum adanya standar pedoman implementasi moderisasi beragama hingga standar penanganan untuk mahasiswa yang terpapar radikalisme.
Koordinator peneltian potret moderasi beragama PPIM UIN, Arief Subhan, mengemukakan, tujuan penelitian ini tidak hanya terbatas pada penyampaian hasil penelitian. Akan tetapi, penelitian ini juga bertujuan untuk menghasilkan suatu bentuk model percontohan pengembangan moderasi beragama yang dapat diterapkan di kampus-kampus Islam.
Dalam satu dekade terakhir, beberapa survei menunjukkan bahwa perguruan tinggi Islam memiliki kerentanan yang cukup kuat terhadap ideologi keagamaan yang bersifat radikal.
”Latar belakang penelitian ialah selama ini perguruan tinggi Islam dikenal sebagai salah satu pilar Islam moderat di Indonesia bersama dengan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Namun, dalam satu dekade terakhir, beberapa survei menunjukkan bahwa perguruan tinggi Islam memiliki kerentanan yang cukup kuat terhadap ideologi keagamaan yang bersifat radikal,” ujarnya dalam peluncuran penelitian tersebut secara daring, Kamis (25/2/2021).
Menurut Arief, PTKIN dijadikan sebagai fokus penelitian karena saat ini belum ada implementasi beragama yang digunakan sebagai bentuk ketahanan dari ekstremisme atau radikalisme. Implementasi moderasi beragama juga akan strategis jika sejalan dengan konteks kultur, sistem, dan tantangan spesifik yang dihadapi PTKIN.
Guna mencegah radikalisme menyebar di PTKIN, penelitian itu merekomendasikan agar regulasi struktur kelembagaan rumah moderasi beragama menjadi bagian terpadu dalam organisasi dan tata kerja perguruan tinggi. Jika tidak dimungkinkan, program dan kegiatan turunan dari moderasi beragama dapat juga dijadikan mata kuliah atau kompetensi surat keterangan pendamping ijazah (SKPI).
Selain itu, PTKIN juga dapat melakukan protokol semar yang terdiri dari sapa, salam, dan rangkul. Protokol ini menekankan terkait pendampingan bagi individu yang rentan, monitor dan evalusi yang diwujudkan melalui pelatihan moderasi beragama sebagai keahlian sosial, serta usaha rehabilitasi dan kuratif untuk individu yang sudah terpapar.
Jalur mahasiswa
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ahmad Najib Burhani mengatakan, hasil penelitian dari PPIM tersebut merupakan kabar yang kurang baik bagi kondisi radikalisme di PTKIN. Sebab, PTKIN yang diteliti dikenal sebagai kampus yang progresif dan barometer pembaruan Islam serta simpul moderasi beragama di Indonesia.
”Berbagai gerakan radikalisme menempuh beberapa jalur mulai dari pintu buruh, ibu-ibu, dan mahasiswa. Di Turki, paham radikalisme berhasil disusupi melalui jalur militer. Akan tetapi, di Indonesia, jalur mahasiswa sangat efektif dipakai oleh kelompok islamis yang kurang moderat untuk menyebarkan ekstremisme,” ungkapnya.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang turut hadir dalam acara tersebut menyampaikan, hasil kajian tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran utuh tentang potret mahasiswa Muslim di Indonesia. Sebab, selama ini terdapat kecenderungan tingkat diskriminatif dalam segala bentuk di tengah masyarakat dari tahun ke tahun menunjukkan tren yang terus meningkat.
”Hasil riset yang dilakukan, baik oleh Kementerian Agama maupun lembaga pendidikan, menunjukkan kelompok yang memiliki cara pandang ekstrem dan diskriminatif secara religi menyemai pandangannya lebih masif di tengah masyarakat,” ujarnya.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenag tahun 2015 juga menunjukkan, peran dan fungsi Pendidikan Agama Islam (PAI) di perguruan tinggi umum (PTU) lebih banyak dilakukan oleh organisasi kemahasiswaan dan kemasyarakatan dibandingkan dosen PAI. Fungsi dan tanggung jawab dosen PAI di PTU seolah sudah diambil alih oleh organisasi tersebut melalui berbagai tawaran kegiatan keagamaan yang dikoordinasi mahasiswa ataupun ormas.
”Sayangnya, organisasi kemahasiswaan dan kemasyarakatan yang diikuti lebih banyak mengembangkan ide-ide pemikiran diskriminatif dan ideologi transnasional. Sementara di sisi lain, lembaga pendidikan memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam menyemai prinsip keagamaan yang menjunjung tinggi sikap moderat,” tuturnya.