Cegah Radikalisme di Kampus, Pemerintah Pantau Medsos Mahasiswa
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan fokus memantau media sosial mahasiswa untuk meredam paparan radikalisme di perguruan tinggi. Selain itu, kebebasan mahasiswa dalam mempelajari seluruh kajian akademis juga dijamin pemerintah selama mahasiswa tersebut tetap memegang teguh ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menjelaskan, saat ini belum ada data lengkap yang menunjukan keterlibatan oknum mahasiswa yang terpapar paham radikal. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) hanya merilis tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) yang terindikasi terpapar radikalisme.
”Indikasi tersebut merupakan hasil penelitian di masa lalu. Saat ini, kami tidak hanya fokus untuk mencari kampus mana saja yang terpapar, tetapi mencari nama-nama mahasiswa yang terindikasi menganut paham radikalisme ini,” ucapnya di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (6/6/2018).
Menurut Nasir, pada 25 Juni akan ada pertemuan dengan sejumlah rektor PTN untuk membahas langkah-langkah penanganan radikalisme di kampus. Salah satu fokus utamanya adalah mendata media sosial (medsos) mahasiswa agar arus informasi terkait radikalisme bisa terpantau.
Sebelumnya, Direktur Wahid Institute Yenny Wahid menjelaskan, penyebaran ini telah terjadi secara sistematis di kampus dan biasanya dimulai sejak tahun ajaran baru. Target utamanya ialah mahasiswa baru yang berasal dari luar daerah.
”Nantinya, dalam sistem penerimaan mahasiswa baru, kami akan minta semua rektor untuk mencatat medsos mahasiswa beserta nomor handphone mereka. Kami mau memonitor hal tersebut dan bekerja sama dengan BNPT dan BIN,” ucap Nasir.
Penyebaran radikalisme di kampus telah terjadi secara sistematis di kampus dan biasanya dimulai sejak tahun ajaran baru. Target utamanya ialah mahasiswa baru yang berasal dari luar daerah.
Selain itu, pengamat terorisme Al Chaidar mengatakan, mahasiswa yang kecewa pada sistem birokrasi kampus juga bisa dengan mudah terpapar radikalisme. Menurut dia, sistem birokrasi perguruan tinggi harus bisa menyerap aspirasi mahasiswa.
Namun, Nasir berpendapat, pengaruh rumitnya birokrasi tersebut sangat kecil. Menurut dia, faktor utama penyebaran melalui medsos.
”Bisa saja mahasiswa tersebut sudah terpapar paham ini sejak SMA, sebab itu paham radikalisme ini perlu diredam. Saya menganggap, lalu lintas informasi radikalisme mengalir melalui medsos. Kami akan pantau, tetapi tetap sesuai dengan koridor UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik),” tuturnya.
Anggota Komisi VII DPR, Fadel Muhammad, berpendapat, munculnya pemahaman radikalisme ini karena mahasiswa khawatir akan masa depannya. ”Mereka khawatir akan sulit mencari lapangan kerja sehingga perlu adanya upaya dari kementerian dan lembaga terkait untuk menangani hal ini,” ujarnya.
Nasir mengatakan, kekhawatiran tersebut memang ada di kalangan mahasiswa. Menurut dia, disrupsi inovasi dan Revolusi 4.0 diprediksi akan membuat 30 persen pekerjaan menjadi hilang.
Kami tidak memberangus kebebasan mahasiswa. Mereka boleh mempelajari kajian apa pun dalam mimbar kampus. Saya juga mempelajari sejumlah teori, seperti Marxisme, komunisme, dan sosialisme. Namun, bukan berarti saya menganut paham tersebut.
”Oleh sebab itu, mahasiswa harus disiapkan agar menguasai empat literasi, yaitu literasi bahasa Inggris, literasi data, literasi teknologi, dan literasi kemanusiaan,” ucapnya.
Jamin kebebasan akademis
Nasir menjamin, upaya yang dilakukan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi serta BNPT tidak akan mengancam kebebasan akademis mahasiswa. Mimbar kampus, lanjutnya, merupakan wadah untuk semua ilmu, kajian, dan pendapat untuk didiskusikan.
”Kami tidak memberangus kebebasan mahasiswa. Mereka boleh mempelajari kajian apa pun dalam mimbar kampus. Saya juga mempelajari sejumlah teori, seperti Marxisme, komunisme, dan sosialisme. Namun, bukan berarti saya menganut paham tersebut. Mereka diperbolehkan mempelajari apa pun dalam kajian akademis dan tetap berpedoman pada ideologi Pancasila,” tuturnya.
Selain itu, Nasir mengatakan, sudah ada cetak biru dari pemerintah berupa kurikulum untuk menangkal radikalisme. ”Konsepnya adalah membangun kurikulum general education dengan memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang pentingnya ilmu pengetahuan, masalah kebudayaan, dan nasionalisme,” ujarnya.