Pemberitaan media tentang kasus kekerasan seksual masih banyak yang belum berperspektif korban. Selain judul dan isi berita yang mendiskreditkan korban. Media seharusnya berpihak pada korban agar mendapat keadilan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemberitaan sejumlah media belum berpihak pada korban kekerasan seksual, bahkan cenderung menguatkan stigmatisasi dan mendiskreditkan korban. Padahal media berperan penting dalam mendukung korban kekerasan seksual untuk mendapat perlindungan dan keadilan.
Di tengah banyaknya korban kekerasan seksual yang tidak mendapatkan keadilan, ketika meliput dan memublikasikan kasus kekerasan seksual, media bisa menampilkan jurnalisme yang bersandar pada hati nurani dengan tetap menjalankan prinsip berimbang dan independen.
Ketika seorang penyintas putus asa, ingin menyampaikan apa yang dialaminya, sudah melaporkan pada pihak berwenang atau yang punya kekuasaan tapi tidak membuahkan hasil positif, maka seringkali media menjadi jalan terakhir.(Gilang Desti Parahita)
“Ketika seorang penyintas putus asa, ingin menyampaikan apa yang dialaminya, sudah melaporkan pada pihak berwenang atau yang punya kekuasaan tapi tidak membuahkan hasil positif, maka seringkali media menjadi jalan terakhir. Akan celaka ketika penyintas berhadapan dengan jurnalis yang tidak paham bagaimana berempati pada penyintas,” ujar Gilang Desti Parahita, Dosen Jurnalisme Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pada diskusi virtual “Pers dan Aspirasi Keadilan Korban Kekerasan Seksual”, Selasa (23/2/2021).
Dalam diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia itu, Gilang mengatakan, pada kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, rasa kemanusian jurnalis diuji. Seringkali, dalam kasus-kasus tersebut, prinsip utama jurnalisme bukanlah obyektivitas.
“Sebab obyektivitas banyak sekali kelemahan, dan hampir tidak mungkin terjadi, justru hati nuranilah yang memainkan peranan. Tentu kita sebagai pengelola konten berita tetap harus berimbang dan independen. Artinya ketika merekonstruksi suatu peristiwa kita coba cocokkan dengan pihak lain, itu berimbang. Lalu kemudian independen kita tidak sedang dibayar pihak tertentu untuk meliput suatu kasus,” tegas Gilang.
Pilihan jurnalis untuk bersikap empati, bukan berarti media tidak berimbang. Karena sebagai manusia sudah seharusnya jurnalis berpihak pada korban dan keluarga korban. Bersikap empati berarti menghormati keinginan penyintas, melindungi identitas, dan bersandar pada kode etik jurnalistik.
Senada dengan Gilang, Wenseslaus Manggut, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menegaskan, selain berpihak pada korban, cara menulis memang mestinya membangun empati dari publik. “Tapi bagaimana membangun empati kalau kisahnya tidak rinci? Dan kita sekedar menulis bahwa diduga telah terjadi pelecehan seksual yang memungkinkan publik bebas menafsir, mungkin memang terjadi pemerkosaan, mungkin saja mau sama mau, dan sekian penafsiran yang lain,” ujar Wenseslaus
Ia mengakui dalam praktik tidak mudah bagi media untuk berpihak pada korban. Namun, media bisa mendorong aparat penegak hukum supaya menangkap pelaku dan memproses secara hukum, agar memberikan efek jera.
Tuani Sondang Rejeki Marpaung pendamping perempuan korban kekerasan dan pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK Jakarta) mengungkapkan hingga kini perlindungan terhadap korban-korban kekerasan seksual sangat minim, karena belum ada kebijakan khusus penanganan kasus dan korban kekerasan seksual.
Karena itulah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sangat mendesak dibahas dan disahkan menjadi undang-undang, menyusul banyaknya tantangan yang dihadapi saat penanganan kasus kekerasan seksual.
“Kita masih menggunakan Kitab Hukum Acara Pidana yang menuntut harus adanya saksi yang mengetahui kejadian, menggunakan cara konfrontir korban dan pelaku ini sering sekali membuat korban trauma harus dipertemukan lagi dengan pelaku,” ujar Tuani.
Bahkan, saat pendampingan korban kekerasan seksual, masih ditemukan sikap aparat penegak hukum (APH) yang tidak memiliki perspektif korban. Misalnya korban masih sering dibentak ketika memberikan keterangan, apa lagi korban anak yang diperiksa.
Selain itu, masih ada upaya membujuk korban untuk berdamai dan menyelesaikan kasus secara kekeluargaan, dan sering sekali APH menfasilitasi proses mediasi. Sementara, perlindungan terhadap korban masih minim, sehingga sering mendapat tekanan dari pelaku dan pihak ketiga.
“Bahkan, masih sering terjadi korban menghadapi ancaman dilaporkan balik oleh pelaku. Ini terjadi karena ketika kasusnya sulit diproses hukum, akhirnya banyak korban mengambil jalan mempublikasi di sosial media dengan tujuan supaya APH cepat tangani kasusnya. Tapi korban rentan dilaporkan balik, diduga pencemaran nama baik,” katanya.