Masyarakat Adat Osing Butuh Perda Pengakuan dan Perlindungan
Sejumlah komunitas adat Osing yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Pengurus Daerah Osing mendorong lahirnya peraturan daerah pengakuan perlindungan hak masyarakat adat Osing di Banyuwangi.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI KOMPAS — Sejumlah komunitas adat Osing yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Pengurus Daerah Osing mendorong lahirnya peraturan daerah pengakuan perlindungan hak masyarakat adat Osing di Banyuwangi. Hal itu dimaksudkan untuk pengakuan identitas dan perlindungan upaya-upaya pelestarian yang dilakukan masyarakat adat.
Osing merupakan suku asli yang tinggal dan berkembang di Banyuwangi, Jawa Timur. Sedikitnya ada 17 komunitas adat Osing yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Pengurus Daerah (PD) Osing.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik yang digelar AMAN PD Osing di Banyuwangi, Kamis (11/2/2021). Guru Besar Hukum Adat Universitas Jember Dominicus Rotu mengatakan, masyarakat adat punya hak untuk memiliki identitas budaya. Identitas tersebut wajib diakui dan dilindungi oleh negara, salah satunya melalui lahirnya peraturan daerah masyarakat adat.
”Perda ini sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan. Pengakuan ini penting agar masyarakat Osing jadi subyek hukum. Sementara perlindungan salah satuya dilakukan untuk menjaga hak intelektualitas budaya,” katanya.
Dominicus mencontohkan, kasus maestro gandrung Temuk Misti (Mbok Temu) yang menyanyi lalu direkam oleh salah seorang wisatawan asing. Rekaman tersebut lantas diperjualbelikan tanpa persetujuan dan tanpa royalti kepada Temuk.
Perda ini sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan. Pengakuan ini penting agar masyarakat Osing jadi subyek hukum. Sementara perlindungan salah satuya dilakukan untuk menjaga hak intelektualitas budaya.
Contoh lain, pencipta tari Seblang atau penemu resep masakan rujak soto yang menjadi ciri masyarakat Osing juga tidak diketahui. Dalam kondisi ini, pemerintah daerah seharusnya menjadi pemilik dari kekayaan budaya tersebut melalui peraturan daerah.
”Pengakuan ini penting agar tidak ada lagi saling klaim. Dengan mengakui kekayaan budaya tersebut, hak-hak perlindungan terhadap kekayaan budaya tersebut bisa dimiliki,” ujarnya.
Dominicus menambahkan, perda masyarakat adat saja tidak cukup tanpa adanya inisiatif dari warga untuk mengakui dan melindungi adat masyarakat Osing. Pun demikian, saat masyarakat punya inisiatif untuk melindungi adat budayanya, tetapi tidak mendapat dukungan payung hukum dari pemerintah.
Hal senada disampaikan dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Ikwan Setiawan. Menurut dia, perda masyarakat adat dapat menjadi jaminan bagi upaya pelestarian budaya.
”Perda masyarakat adat ini penting karena dapat menjadi jaminan bagi masyarakat yang ingin melestarikan dan memberdayakan budaya yang membawa dampak positif bagi komunitas mereka. Tanpa adanya legalitas itu, pergerakan mereka terbatas,” tuturnya.
Tanpa adanya legalitas tersebut, lanjut Ikhwan, Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan tidak dapat optimal. Pasalnya, masyarakat di daerah yang menjadi penggerak UU Pemajuan Kebudayaan tidak memiliki kepastian hukum.
Ikhwan menambahkan, perda masyarakat adat juga diharapkan mampu memiliki krakterisitk lokal untuk penguatan di pusat. Selain itu, perundang-undangan tersebut juga diyakini bisa menjadi tameng ekologis untuk menyelamatkan lingkungan yang menjadi tempat hidup masyarakat adat.
Data Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PP MAN), di Indonesia terdapat 2.731 komunitas adat. Namun, baru 199 daerah yang sudah memiliki perda pengakuan perlindungan hak masyarakat adat.
Sekretaris AMAN PD Osing Wiwin Indiarti mengatakan, Banyuwangi sampai saat ini belum memiliki perda masyarakat adat Osing. Pada tahun 2017, pihaknya sempat mengawal proses pembentukan perda tentang masyarakat adat, tetapi hasil perundang-undangan yang disahkan dirasa belum sesuai.
Perda yang dimaksud ialah Perda Nomor 14 Tahun 2017 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Adat Istiadat di Banyuwangi. Perda tersebut tidak secara eksplisit menyebut masyarakat adat Osing sehingga pengakuan terhadap masyarakat Osing masih belum tertuang.
”Justru saat ini merupakan momentum yang sangat tepat bagi Banyuwangi untuk memiliki perda pengakuan perlindungan hak masyarakat adat. Alasannya, keberadaan masyarakat adat Osing sebagai pribumi di Banyuwangi sudah diakui sehingga tidak ada alasan yang kuat untuk menghambat atau malah mencegah diterbitkannya perda PPHMA Osing,” ujarnya.
Ia juga menilai, penetapan Geopark Ijen sebagai UNESCO Global Geopark menjadi kesempatan untuk mendorong lahirnya perda PPHMA Osing. Pasalnya, hal itu menjadi pemenuhan butir e.7.3 Dossier Geopark yang mensyaratkan partisipasi lengkap dan efektif dari penduduk lokal dan masyarakat adat.
Kendati belum pernah ada konflik yang melibatkan masyarakat adat Osing, perda ini dirasa sebagai langkah antisipatif. Potensi konflik bisa terjadi antara masyarakat adat dan pemerintah, perhutani, taman nasional, atau antarkomunitas adat tetangga.