Ekosistem media yang sehat tidak hanya akan menciptakan pasar yang seimbang antara media arus utama dan platform digital, tetapi juga akan melindungi masyarakat agar mendapatkan konten yang baik.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keseimbangan ekosistem media merupakan keniscayaan jika semua pihak bersama-sama mengupayakannya. Perusahaan media harus bertransformasi pada era digital ini untuk bertahan di dalam ekosistem media yang tidak seimbang. Namun, negara juga harus hadir untuk mengatur agar ekosistem media lebih sehat dan adil.
Disrupsi digital telah menciptakan ekosistem media yang tidak seimbang, persaingan usaha yang tidak sehat, antara platform digital global dan media arus utama. Monopoli distribusi konten oleh platform digital global telah menciptakan monopoli periklanan digital. Berdasarkan MarketingCharts.com pada Maret 2020, Google, Facebook, dan Amazon menguasai 56 persen belanja iklan.
Sebagai produsen konten, media arus utama tidak mendapatkan kompensasi ekonomi yang memadai atas monetisasi konten yang didistribusikan platform digital global. Ini juga merupakan bentuk pengabaian hak cipta atas karya jurnalistik. Ketertutupan sistem algoritma platform digital global juga menciptakan monopoli data pengguna oleh platform digital global.
Ada banyak media (arus utama) yang tutup karena pengelolanya tidak bertransformasi, tetapi tidak sedikit yang berguguran karena ekosistem media tidak memungkinkan untuk mendukung. Harus ada intervensi dari negara untuk membuat mereka lebih membumi. (Agus Sudibyo)
”Ada banyak media (arus utama) yang tutup karena pengelolanya tidak bertransformasi, tetapi tidak sedikit yang berguguran karena ekosistem media tidak memungkinkan untuk mendukung. Harus ada intervensi dari negara untuk membuat mereka lebih membumi,” kata anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, dalam Konvensi Nasional Media Massa dalam rangka Hari Pers Nasional 2021 di Jakarta, Senin (8/2/2021).
Agus mengatakan, platform digital global sangat monopolitik, dan ini dampaknya tidak hanya memengaruhi daya hidup media arus utama, tetapi juga demokrasi dan ruang publik. Sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Australia membuat peraturan untuk mengurangi monopoli yang berlebihan oleh platform digital.
Peraturan di negara-negara tersebut, ujar Agus, membuat platform digital global harus membayar konten kepada penerbit sebagai produsen konten. Ekosistem hak penerbit ini untuk mendukung hak cipta karya jurnalistik, transparansi sistem algoritma/data pengguna, serta pengendalian monopoli distribusi konten/iklan digital.
”Prinsipnya, content sharing harus menghasilkan revenue sharing, data sharing, dan liability sharing. Kalau media selama ini harus membayar pajak iklan, platform digital global juga harus membayar pajak iklan. Mereka juga harus bertanggung jawab atas hoaks yang mereka sebarkan. Jadi, platform digital global ini diperlakukan sebagai perusahaan media,” tutur Agus.
Hary Tanoesoedibjo, Executive Chairman MNC Group, setuju agregasi konten oleh platform digital global atas konten milik penerbit harus izin penerbit atau kesepakatan kedua belah pihak. Secara perusahaan ke perusahaan (B to B), MNC Group telah melakukan kesepakatan dengan Facebook, Youtube, dan Tiktok atas konten MNC Group yang diunggah di media sosial tersebut.
”Semua iklan yang dihasilkan (oleh media sosial tersebut), karena ini konten MNC, maka ada bagi hasil iklan. Kami memperoleh 55 persen atas bagi hasil iklan ini. Jadi minimal revenue sharing sudah kami lakukan. Untuk data sharing dan liability sharing perlu diusahakan bersama melalui fasilitator, dalam hal ini Dewan Pers dan asosiasi (perusahaan media),” katanya.
Menjadi model
Agus mengatakan, Dewan Pers menginisiasi upaya tersebut dengan menerjemahkan peraturan di Amerika, Jerman, Eropa, dan Australia. Peraturan-peraturan tersebut akan dipelajari dan dijadikan model, skema mana yang tepat diterapkan di Indonesia.
”Semoga nanti bisa dibahas bersama pemerintah, yang penting kita segera mulai. Namun, yang jelas, setelah mempelajari regulasi-regulasi tersebut, kita juga harus mempelajari seluk-beluk platform digital global, membangun soliditas antarpengelola media karena ini tidak mudah, serta membuka diri untuk berdialog dengan platform digital global,” ujarnya.
Pada kesempatan tersebut, Marrin Hambley, Direktur Sementara Komisi Persaingan Usaha dan Konsumen Australia (ACCC), berbagi pengalaman penyusunan rancangan undang-undang untuk mengatur ekosistem media di Australia. Prosesnya dimulai 3-4 tahun lalu dan pada Desember 2020 Pemerintah Australia mengajukan rancangan undang-undang ini ke parlemen Australia.
”Rancangan undang-undang ini untuk menjamin pasar yang adil. Ini rancangan undang-undang yang paling penting yang akan membuat perubahan besar, khususnya di pasar digital. Memang Google mengancam akan keluar dari Australia. Kami hadapi dengan membuat strategi-strategi lain, mengusahakan platform lain tertarik masuk ke Australia,” ujarnya.
Anthony Wonso dari Pengurus Pusat Asosiasi Media Siber menyambut baik upaya Dewan Pers untuk memulai langkah dalam upaya mengatur ekosistem media di Indonesia. ”Pemerintah bisa menjembatani dan memfasilitasi negosiasi yang sehat antara platform digital global dan media,” katanya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, butuh regulasi yang kuat untuk mengatasi kompetisi yang luar biasa di era digital ini. ”Kominfo juga melakukan upaya berkelanjutan regulasi yang mendukung ekosistem media. Ini tidak mudah. Saat ini kita memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, termasuk untuk percepatan proses digitalisasi media dan penyiaran. Konten-konten siaran akan dilindungi dari retransmisi siaran tanpa hak,” kata Johnny.