Regulasi yang mengatur hubungan antara platform media global dan media arus utama diyakini dapat menjaga keseimbangan ekosistem media yang selama ini sangat timpang.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Disrupsi digital telah menciptakan ekosistem media yang tidak seimbang antara platform digital global dan media arus utama. Keberadaan platform media global yang menguasai teknologi informasi berpotensi menimbulkan monopoli iklan yang mengancam daya hidup media arus utama.
Di tengah hubungan yang tak seimbang tersebut, platform media global sebenarnya membutuhkan media arus utama yang memproduksi berita. Demikian pula media arus utama, terutama media daring, membutuhkan platform media global untuk mengedarkan/mendistribusikan berita yang diproduksinya.
Perlu dirumuskan aturan main yang lebih adil dan transparan, regulasi yang memungkinkan mekanisme koeksistensi antara media lama (konvensional/arus utama) dan media baru (platform digital global) yang saling membutuhkan. Negara perlu hadir dengan regulasi untuk menjaga daya hidup media lama.
”Perlu dirumuskan aturan main yang lebih adil dan transparan, regulasi yang memungkinkan mekanisme koeksistensi antara media lama (konvensional/arus utama) dan media baru (platform digital global) yang saling membutuhkan. Negara perlu hadir dengan regulasi untuk menjaga daya hidup media lama,” kata Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat Atal S Depari di Jakarta, Kamis (4/1/2021).
Atal mengatakan hal itu dalam pembukaan rangkaian peringatan Hari Pers Nasional 2021 secara daring maupun luring di kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta. Rangkaian HPN 2021 diawali dengan webinar bertema ”Regulasi Negara dalam Menjaga Keberlangsungan Media Mainstream di Era Disrupsi Medsos”.
Dalam sambutannya sebelum membuka rangkaian HPN 2021, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, pemerintah terbuka jika ada yang mengusulkan aturan untuk menjaga ekosistem media. Selain untuk menjaga keberlangsungan hidup media arus utama, aturan ini juga penting untuk melindungi masyarakat dari disinformasi, hoaks di platform media global yang menyesatkan dan sering kali menyebabkan perpecahan.
”Apakah (peraturan tersebut) akan berdiri sendiri atau amandemen ketentuan sebelumnya, kita perlu duduk bersama untuk membuat kajiannya. Aturan ini memang belum masuk prioritas (untuk dibahas), tetapi jika kepentingan ini mendesak, bisa kita pikirkan (untuk masuk prioritas),” kata Yasona.
Sejumlah negara mulai berusaha mengatur hubungan antara platform media global dan media konvensional untuk menjaga ekosistem media yang lebih adil. Perancis berhasil membuat aturan, Google harus membayar konten berita yang diedarkan di platformnya. Di Australia, komisi perlindungan konsumen dan persaingan usaha setempat tengah memperjuangkan peraturan serupa.
Kepercayaan masyarakat
Di tengah derasnya arus informasi di media sosial, kata Wakil Ketua Dewan Pers Hendry CH Bangun, masyarakat sebenarnya masih percaya media arus utama. Survei Dewan Pers bersama Universitas Moestopo Beragama pada 2019 menunjukkan 70 persen-83 persen responden percaya pada media cetak (83,44 persen), televisi (78,24 persen), radio (82,24 persen) dibandingkan media sosial (di bawah 52 persen).
Meskipun begitu, kata Hendry, masyarakat lebih memilih media daring dan media sosial untuk mencek ulang informasi karena gratis. Di tengah disrupsi teknologi, kondisi ini semakin menyulitkan media yang daya hidupnya bergantung pada pendapatan iklan. Apalagi, pemerintah cenderung mempromosikan dan menggunakan media sosial untuk penyebaran informasi maupun kebijakannya.
”Karena itu, perlu ada regulasi untuk media sosial (platform media global). Kita ingin melindungi wartawan yang benar, ingin masyarakat tidak diracuni (disinformasi, hoaks yang menyebar di media sosial),” kata Hendry.
Auri Jaya, CEO JPNN, mengatakan, regulasi untuk mengatur ekosistem media menjadi kebutuhan mendesak karena hubungan platform media global dan media arus utama meski saling membutuhkan, tetapi sangat timpang. Ketimpangan itu dalam aspek bisnis periklanan ataupun penggunaan data konsumen berita.
Namun, sebelum membuat aturan, kata dia, harus dipikirkan terlebih dahulu peraturan seperti apa yang akan dibuat untuk mengatur ekosistem media di Indonesia. Jika mengacu pada Perancis yang telah berhasil memaksa Google membayar hak cipta atas konten yang diedarkannya kepada penerbit atau pembuat konten berita, perusahaan media di Indonesia harus terlebih dahulu berbenah.
”Apakah setiap media sudah membayar hak cipta kepada wartawannya?” katanya. DI JPNN, kata Auri, selain mendapatkan gaji dari perusahaan, setiap wartawan berhak mendapatkan royalti atas berita yang dibuatnya dan bagi hasil pendapatan atas berita berdasarkan tinggi rendahnya traffic berita yang dibuatnya.