Pandemi Covid-19 ini menjadi pukulan kedua bagi perusahaan pers setelah disrupsi digital karena kehadiran platform digital global. Meskipun begitu, krisis ini tidak boleh menyebabkan krisis pada jurnalisme.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Foto tumpukan sejumlah koran yang terbit di Jakarta, Rabu (22/5/2019).
Lebih dari sebelumnya, masyarakat membutuhkan jurnalisme profesional dan informasi yang dapat diandalkan untuk mengadaptasi respons mereka terhadap penyebaran Covid-19. Namun, di saat yang sama, pers menghadapi tantangan karena melemahnya daya hidup perusahaan pers akibat pandemi ini.
Peningkatan konsumsi berita, terutama di awal pandemi, menunjukkan masyarakat membutuhkan informasi perkembangan terbaru terkait Covid-19. Berita yang tepat dan akurat membantu masyarakat memahami Covid-19 dan cara penularan penyakit baru ini.
Di tengah krisis multi dimensi akibat pandemi yang memengaruhi hampir semua sektor kehidupan masyarakat, masyarakat juga membutuhkan informasi yang menumbuhkan harapan. Informasi yang menghibur dan berisi alternatif solusi akan membantu masyarakat menghadapi krisis ini.
Informasi yang menghibur dan berisi alternatif solusi akan membantu masyarakat menghadapi krisis ini.
Data Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menunjukkan, kunjungan ke situs media anggotanya meningkat 50-60 persen sejak pemerintah menyatakan Covid-19 telah berjangkit di Indonesia pada 2 Maret 2020. Kepemirsaan program berita di televisi, berdasarkan data Nielsen Indonesia pada medio Maret, juga meningkat 25 persen dibandingkan dengan sebelum pandemi.
Saat kebutuhan masyarakat akan informasi terkait Covid-19 meningkat, gelombang hoaks kesehatan membanjiri lini media sosial. Infodemik–informasi salah termasuk hoaks yang menyebar dengan cepat dan luas selama pandemi– ini bukan hanya akan mengganggu upaya memerangi Covid-19, melainkan juga dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pers.
Tak sedikit masyarakat yang mudah percaya pada hoaks terkait Covid-19, mulai dari penyangkalan penyakit ini hingga teori konspirasi tentang penyakit ini. Jika sudah demikian, berita pers dari sumber tepercaya sekalipun sering kali tidak bisa meluruskan hoaks dan misinformasi.
Catatan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), yang dirilis pada 21 November 2020, menunjukkan pada enam bulan pertama tahun 2020 hoaks kesehatan mencapai 519 atau 56 persen dari total 926 hoaks, meningkat 49 persen dibandingkan pada 2019. Dari 519 hoaks kesehatan tersebut, 94,8 persen tentang Covid-19.
Daya hidup
Di tengah tanggung jawab memberikan informasi yang akurat dan kredibel, serta upaya memerangi hoaks, pers juga harus berjuang untuk mempertahankan daya hidupnya. Pandemi Covid-19 telah menjadi pukulan kedua bagi perusahaan pers setelah disrupsi digital karena kehadiran platform digital global yang mengubah lanskap media.
Krisis akibat pandemi semakin melemahkan daya hidup perusahaan pers yang selama ini mengandalkan pendapatan iklan. Meskipun konsumsi berita meningkat, ini tidak berbanding lurus dengan meningkatnya pendapatan iklan. Iklan yang telah banyak berkurang kini nyaris hilang karena krisis akibat pandemi.
Ada yang tak dapat bertahan, sebagian besar bertahan dengan melakukan efisiensi, mulai dari pengurangan gaji hingga mengurangi jumlah karyawan termasuk wartawan. Hingga November 2020, dari 133 pengaduan ke posko AJI Jakarta dan LBH Pers, sebanyak 46 tentang pemutusan hubungan kerja.
Kasus riil di lapangan lebih banyak lagi. Dewan Pers mengkhawatirkan keterbatasan sumber daya manusia ini akan memengaruhi produktivitas, juga kualitas informasi yang dihasilkan. Jika hal itu terjadi, jurnalisme yang selama ini mengisi ruang publik dan menjaga demokrasi pun terancam.
Krisis akibat pandemi ini tidak seharusnya menyebabkan krisis pada jurnalisme. Justru jurnalisme harus diperkuat selama masa krisis ini untuk melindungi kepentingan publik dan menegakkan demokrasi.
Memperkuat dari dalam diri pers terutama dengan menjaga praktik jurnalisme yang benar dengan taat kode etik jurnalistik (KEJ). Ini masih menjadi tantangan, sebagaimana tecermin dari 100 lebih pengaduan sengketa pemberitaan ke Dewan Pers pada tahun ini. Mayoritas media yang diadukan melanggar KEJ.
Kasus 33 media siber yang terbukti menggunakan informasi tidak akurat dalam pemberitaan putusan pengadilan pada kasus pemutusan akses internet di Papua menjadi pelajaran berharga. Bukan hanya menjadi tolok ukur utama profesionalisme dan kualitas pers, ketaatan terhadap KEJ juga menentukan tingkat kepercayaan publik terhadap pers.
Dukungan negara juga dibutuhkan untuk memperkuat jurnalisme. Meskipun kebebasan pers Indonesia meningkat, pers masih terancam. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang tengah direvisi dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) rentan mengancam wartawan ketika menyampaikan informasi.
Kasus yang menimpa eks Pemimpin Redaksi Banjarhits Diananta Putra Sumedi salah satunya. Jurnalis di Kalimantan Selatan ini divonis hukuman penjara 3 bulan 15 hari atas karya jurnalistiknya yang diterbitkan di sebuah media daring di Jakarta. Kasus yang seharusnya masuk ranah UU Pers ini justru dimasukkan ke ranah UU ITE. Diananta dituduh menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Kartu pers sejumlah jurnalis diletakkan di atas poster dalam unjuk rasa di depan Kantor Kepolisian Resor Cirebon Kota, Jawa Barat, Senin (12/10/2020). Jurnalis yang tergabung dalam Solidaritas Jurnalis Anti Kekerasan (Sajak) mendesak polisi agar menjamin jurnalis bebas dari kekerasan aparat saat meliput.
Kasus kekerasan terhadap wartawan juga terus terjadi, termasuk oleh aparat keamanan, seperti dialami sejumlah wartawan saat meliput unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja pada awal Oktober lalu. Kekerasan juga terjadi di ranah digital, baik yang menyasar individu wartawan seperti doxing yang dialami 13 wartawan (SAFEnet, 2020) maupun institusi pers seperti dialami empat media daring pada Agustus lalu, mengarah pada teror atau pembungkaman.
Dukungan negara juga dibutuhkan untuk menjaga daya hidup perusahaan pers yang memainkan peran sebagai pilar keempat demokrasi. Sejumlah perusahaan pers berusaha beradaptasi dengan bermigrasi ke digital. Namun, yang lebih dibutuhkan adalah ekosistem media yang memungkinkan koeksistensi antara media lama dan media baru.
Dalam peringatan Hari Pers pada Februari 2020, Presiden Joko Widodo mengatakan, ekosistem media massa harus dilindungi agar masyarakat mendapatkan konten berita yang baik (Kompas, 9/2). Sejumlah negara, seperti Jerman dan Australia, telah membuat regulasi terkait platform digital global. Pemerintah, asosiasi media, para penerbit, dan Dewan Pers dapat belajar dari mereka.