Intoleransi cenderung berkembang sebagai kebiasaan dan sering kali tidak tertulis di sekolah. Realitas ini menjadi tantangan penegakan Surat Keputusan Bersama Mendikbud, Mendagri, dan Menag.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pihak menyambut positif sikap pemerintah yang menyerahkan keputusan memakai atau tidak memakai seragam dengan atribut agama tertentu kepada setiap individu di sekolah negeri. Pengawasan terhadap penegakan kebijakan itu sangat penting.
Surat Keputusan Bersama tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah ditetapkan pada 3 Februari 2021. SKB ini ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
SKB tiga menteri itu menegaskan, pemda dan sekolah negeri tidak boleh mewajibkan ataupun melarang pemakaian seragam dan atribut agama tertentu di sekolah. Keputusan memakai ataupun tidak memakai seragam dengan atribut agama tertentu diserahkan kepada setiap individu, baik siswa, guru, maupun tenaga kependidikan.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, Kamis (4/2/2021), di Jakarta, mengatakan, SKB tiga menteri itu menjawab sekaligus menghentikan berbagai polemik tentang pakaian seragam dengan atribut keagamaan tertentu di sekolah negeri.
Ketentuan warga sekolah negeri berhak memilih pakaian seragam dan atribut dengan atau tanpa kekhususan agama merupakan perwujudan hak asasi manusia (HAM). Penyelenggaraan pendidikan sudah seharusnya berdasarkan nilai demokrasi, berkeadilan, nondiskriminatif, dan menjunjung tinggi HAM.
KPAI mendorong pemerintah pusat menyosialisasikan SKB tiga menteri itu ke sekolah-sekolah. Pemahaman tentang perlunya menyemai semangat keberagaman juga mesti disampaikan.
”Ketentuan penggunaan seragam dan atribut kekhususan agama tertentu, baik tertulis maupun lisan, seharusnya tidak berlaku pascapenetapan SKB tiga menteri. Siapa pun yang mengetahui harus berani melaporkan ke unit pengaduan yang tertera dalam SKB,” tambah Retno.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian juga mengapresiasi dikeluarkannya SKB tiga menteri. Hetifah sepakat dengan langkah Kemendikbud menyediakan saluran pengaduan luring dan daring.
”Implementasi SKB tiga menteri harus dipantau dan diawasi,” ujarnya.
Dosen Program Doktor Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Zuly Qodir, mengatakan, siswa umumnya takut melawan ketentuan guru dan sekolah, termasuk ketentuan yang tidak tertulis. Dalam konteks SKB tiga menteri itu, hal terpenting adalah ketegasan pemerintah pusat.
Pengawasan langsung ke sekolah tetap perlu dilakukan. Tujuannya adalah memantau ada tidaknya kebijakan sekolah, sekalipun tidak tertulis, yang masih memaksa siswa berpakaian seragam dan atribut agama tertentu.
Kepala Bidang Kajian Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Agus Setiawan mengatakan, hal terpenting setelah dikeluarkannya SKB tiga menteri adalah pengawasan pemerintah pusat terhadap pelaksanaan SKB tersebut di daerah. ”Sebab, intoleransi telah menjadi budaya laten di sejumlah ekosistem pendidikan. Ini lebih berbahaya dan mesti diwaspadai,” ujar Agus.
Dia berpendapat, sekolah melalui para guru harus menghadirkan ruang perjumpaan perbedaan kepada siswa. Tujuannya adalah menepis prasangka negatif terhadap perbedaan. Berdasarkan pengalamannya, dia pernah mengenalkan mazhab-mazhab pemakaian jilbab kepada siswa sehingga mereka tidak mudah mengklaim benar salah kepada orang lain.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) Mahnan Marbawi memandang, pemerintah sering kali mengeluarkan kebijakan setelah muncul kasus. Hal ini juga terlihat dalam pengeluaran SKB tiga menteri.
Menurut dia, sebagai ruang publik, sekolah seharusnya menyajikan keberagaman sebagai fakta sosial bangsa Indonesia. Ini berarti sekolah mesti memberikan ruang perjumpaan dan menghadirkan perbedaan kepada siswa sejak dini.
Selain itu, pendidikan merupakan rekayasa sosial untuk melahirkan manusia-manusia Indonesia yang berkarakter nasionalis, religius, beradab, serta toleran terhadap perbedaan di lingkungan sekolah. ”SKB tiga menteri baru dikeluarkan ketika kasus muncul. Artinya, implementasi sekolah yang menyajikan keberagaman selama ini tidak terjadi. Jangan-jangan apabila ada kasus intoleran lagi, pemerintah buat aturan baru lagi,” katanya.
Mahnan memandang, ketentuan dalam SKB tiga menteri mesti dipahami guru sehingga mampu memberi penjelasan kepada siswa. Ada kemungkinan, kebijakan SKB tiga menteri memunculkan guncangan kultural terhadap praktik berseragam di sekolah.
Sebab, selama ini tak sedikit masyarakat memahami konsep saleh melalui atribut keagamaan yang dipakai sehari-hari. Di sekolah, pemahaman terhadap konsep itu juga berkembang.
”Ekosistem suatu satuan pendidikan yang memiliki pandangan konservatif dalam beragama menjadi salah satu tantangan tersendiri implementasi SKB tiga menteri,” ujarnya.
Meski demikian, Mahnan berharap kesadaran pentingnya sekolah sebagai ruang perjumpaan keberagaman perlu terus dibangun. Pemerintah pusat harus menegakkan ketentuan SKB tiga menteri.
”Pemerintah sejauh ini cenderung fokus ke pengetahuan, seperti mengejar perbaikan skor Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA). Namun, pemerintah kedodoran menghadirkan ekosistem pendidikan yang menghargai perbedaan,” katanya.