Wartawan merupakan garda terdepan untuk menyediakan informasi yang berkualitas dan kredibel terutama sangat dibutuhkan di masa pandemi ini. Namun, perlindungan terhadap wartawan minim, baik secara hukum maupun ekonomi.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fungsi pers sangat penting di masa pandemi ini untuk menyediakan informasi yang berkualitas dan kredibel dan membantu masyarakat melewati tantangan pandemi ini. Informasi. Ini bisa terwujud jika wartawan sebagai garda terdepan untuk menyediakan informasi terlindungi keselamatan dan kesejahteraannya.
Namun, hasil penelitian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga bantuan Hukum Pers (LBH Pers), dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menunjukkan, keselamatan wartawan di Indonesia selama masa pandemi justru berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Meski wartawan dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, dalam praktiknya undang-undang ini belum cukup melindungi wartawan.
Penelitian ini dilakukan melalui metode survei secara daring terhadap 125 wartawan di 84 media serta wawancara pendalaman terhadap wartawan, pimpinan media, dan pakar pada 13 Maret–31 Oktober 2020. Dari 125 responden tersebut, 24 persen menyatakan mengalami serangan fisik, non-fisik, dan hukum ketika melakukan kerja jurnalistik.
“Ini angka yang tidak sedikit. Ini juga terafirmasi dari data kekerasan terhadap wartawan yang kami lakukan di mana selama 2020 terjadi 117 kasus atau meningkat lebih dari 30 persen dibanding pada 2019,” kata Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin ketika memaparkan hasil penelitian tersebut, Kamis (21/1/2021).
Bentuk serangan yang paling banyak dialami wartawan adalah serangan non-fisik dan serangan digital, masing-masing 16 persen responden. Serangan-serangan ini mulai dari intimidasi dan kata-kata kasar atau kekerasan verbal (51 kasus), doxing, peretasan, intimidasi digital, hingga spam messages.
Kekerasan non-fisik tersebut, kata Ade, berkaitan langsung dengan pandemi. Dalam kasus peretasan digital misalnya, sejumlah media daring mendapatkan serangan digital bersamaan dengan berita terkait penanganan pandemi Covid-19 yang mereka publikasikan, demikian juga dengan doxing yang dialami seorang wartawan media daring.
Adapun serangan hukum yang dialami wartawan (4 persen) terkait pasal-pasal karet dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Meski secara persentase kecil, tetapi merujuk hasil monitoring kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan LBH Pers, selama 2020 terdapat 30 kasus serangan hukum (kriminalisasi) terhadap wartawan. Ini menandakan UU Pers yang melindungi wartawan dan produknya belum dilaksanakan secara optimal.
Meski mendapatkan serangan, mayoritas responden (60 persen) memilih tidak melaporkan ke aparat penegak hukum. Rentannya situasi keselamatan wartawan berdampak pada keengganan wartawan untuk menempuh jalur hukum. Ini juga menunjukkan adanya kecenderungan ketidakpercayaan pada lembaga dan mekanisme mendapatkan keadilan.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan perlindungan hukum pada wartawan harus ditingkatkan dan dijamin dalam pelaksanaannya. Faktanya memang UU Pers belum dapat sepenuhnya melindungi wartawan. “UU Pers sudah berusia 22 tahun, apakah perlu direvisi atau bagaimana? Saya setuju Pasal 27 dan 28 (pasal-pasal karet) UU ITE direvisi,” kata dia.
Namun di sisi lain, kata Arsul, pers baik wartawan maupun perusahaan media harus taat pada Kode Etik Jurnalistik. Ada kecenderungan pelaksanaan standar jurnalistik yang sangat longgar sehingga memunculkan sengketa pers.
Hal senada dikatakan anggota Dewan Pers M Agung Dharmajaya. “Kebebasan pers itu milik rakyat, karena itu pers tidak boleh membuat berita membabi buta. Banyak juga pelanggaran dilakukan wartawan ketika membuat berita, ketika diteliti (hasilnya) muncul pelanggaran kode etik jurnalistik,” kata dia.
Risiko tinggi
Di masa pandemi ini wartawan juga menghadapi risiko tinggi terpapar Covid-19 karena sifat pekerjaannya. Mayoritas wartawan (75,2 persen) tetap bekerja secara penuh, 36 persen responden juga tidak mendapatkan perlengkapan kesehatan sama sekali di masa pandemi ini.
Krisis akibat pandemi juga mengancam kesejahteraan wartawan, dari 125 responden hanya satu responden yang mendapatkan upah, tunjangan, dan seluruh hak ketenagakerjaan secara penuh sesuai ketentuan. “Kita tidak bisa berharap mendapatkan informasi yang berkualitas ketika kesejahteraan wartawan diabaikan,” kata Ade.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga mencatat praktik pemangkasan hak-hak karyawan oleh perusahaan media terus berlangsung, mulai dari penundaan gaji, penundaan tunjangan hari raya, hingga pemotongan gaji. Sejumlah perusahaan media juga merumahkan dan memberhentikan karyawannya. Dalam beberapa kasus, AJI Indonesia mengidentifikasi adanya praktik-praktik PHK sepihak.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan krisis akibat pandemi berdampak pada banyak sektor, tak terkecuali perusahaan media. “Masalah ketenagakerjaan agar dibicarakan dan disepakati secara bipartit. Jika kondisi keuangan menyulitkan pengusaha melaksanakan perjanjian kerja, pelaksanaan perjanjian kerja dapat ditunda hingga kondisi ini berakhir,” kata dia.
Ida mengatakan, pekerja media termasuk kelompok rentan tertular Covid-19. Karena itu, perusahaan media wajib menyelenggarakan protokol kesehatan dan menyediakan peralatan keselamatan dan kesehatan kerja sesuai pedoman pelaksanaan protokol kesehatan.