Membangun Mekanisme Pertahanan Diri, Membangun Kebebasan Pers
Tahun 2020 merupakan tahun terburuk kebebasan pers sepanjang era reformasi, dan tahun 2021 ini pun kondisinya diperkirakan masih akan sama. Tak bisa mengandalkan negara, pers harus membangun kebebasannya sendiri.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Tahun 2020 merupakan tahun yang berat bagi pers Indonesia. Meningkatnya kasus kekerasan terhadap wartawan dan juga media, serta dampak krisis ekonomi akibat pandemi menjadikan tahun 2020 sebagai tahun terburuk kebebasan pers sepanjang era reformasi.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers maupun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat kasus kekerasan terhadap wartawan pada 2020 meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya. LBH Pers mencatat pada 2020 terjadi 117 kasus kekerasan terhadap wartawan dan media atau meningkat 32 persen dibandingkan pada 2019 yang mencapai 79 kasus.
Dari 117 kasus tersebut, sebanyak 99 kasus terjadi pada wartawan, 12 kasus terjadi pada pers mahasiswa, dan enam kasus terjadi pada media (6) terutama media siber. Sedangkan AJI Indonesia mencatat pada 2020 terjadi 84 kasus kekerasan terhadap wartawan atau bertambah 31 kasus dibandingkan pada 2019 yang mencapai 53 kasus. Pelaku kekerasan paling banyak aparat keamanan.
Proses hukum mayoritas kasus-kasus kekerasan tersebut tidak jelas sehingga membuat impunitas kian langgeng. Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin, ketika menyampaikan laporan tahunan LBH Pers pada Selasa (12/1/2020) mengatakan, hanya sekitar 5 persen kasus yang diproses, itu pun berjalan lambat.
Selain kasusnya meningkat, pola kekerasan juga meluas dan bertambah varian. Kekerasan yang terjadi tidak hanya terkait saat wartawan melakukan tugas jurnalistiknya seperti intimidasi, kekerasan fisik, maupun penyitaan atau perusakan alat kerja, tetapi meluas ke serangan digital berupa peretasan maupun serangan buzzer, baik terhadap wartawan maupun media.
Peretasan terhadap media yang paling tidak menimpa empat media siber pada 2020, menurut sosiolog Universitas Negeri Jakarta yang juga pegiat Hak Asasi Manusia Robertus Robert pada dasarnya menyerang akses pers terhadap pembacanya. “Ini sebenarnya (telah) menikam jantung kebebasan pers,” kata dia.
Dengan melihat pola dan rentetan kasus sepanjang 2020, LBH Pers memperkirakan situasi pada 2021 ini tidak akan jauh berbeda, bahkan bisa jadi meningkat intensitas maupun jumlahnya.
Dengan melihat pola dan rentetan kasus sepanjang 2020, LBH Pers memperkirakan situasi pada 2021 ini tidak akan jauh berbeda, bahkan bisa jadi meningkat intensitas maupun jumlahnya. Peliputan unjuk rasa masih akan menjadi tempat yang paling rawan bagi wartawan, serangan siber pun terus mengintai.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik juga masih akan mengkriminalisasi pers. Kasus eks Pemimpin Redaksi Banjarhits Diananta Putra Sumedi yang divonis 3 bulan 15 hari penjara menggunakan UU ITE, dan bukan UU Pers atas produk jurnalistik yang dihasilkannya menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers.
Pandemi Covid-19 yang belum berakhir juga masih akan memengaruhi bisnis media atau industri pers, dan pada akhirnya mengancam wartawan. Data posko pengaduan untuk wartawan dan pekerja pers yang dibuka LBH Pers dan AJI Jakarta menunjukkan, sejak Maret hingga Desember 2020 terdapat 150 pengaduan, paling banyak pemutusan hubungan kerja sepihak dan pemotongan gaji.
Memperjuangkan Kebebasan Pers
Dengan tantangan ke depan yang akan semakin berat, menurut Robert, pers harus membangun mekanisme pertahanan diri untuk mempertahankan dan memperjuangkan kebebasan pers, serta memainkan peran sebagai pilar keempat demokrasi. Dalam hal ini pers tidak hanya menghadapi tantangan dari negara yang membuat regulasi dan mempunyai domain politik kekuasaan, tetapi juga kapital industri di mana pers merupakan bagian dari bisnis, oligarki yang menguat, serta masyarakat dengan media sosialnya.
“Memperkuat serikat pekerja pers, organisasi pers penting untuk memperjuangkan nasib pekerja pers. Serikat pekerja pers dan organisasi pers yang kuat dan independen juga akan memperkuat kesetiaan pada etika jurnalistik dan profesi. Namun untuk membangun kebebasan, pers harus membangun mekanisme pertahanan diri,” kata Robert.
Robert mengatakan, pers harus menyediakan forum-forum warga dan tidak menjadi corong tunggal dari satu sistem kompetisi politik yang ada, misalnya dalam konteks pemilihan umum. Dengan demikian pers akan tetap bisa memelihara pola pikir pers bebas.
Selain itu, pers harus bisa memainkan peran dalam komunikasi horizontal maupun vertikal. “Komunikasi horizontal antara aktor politik harus terjadi, pers tidak boleh menjadi subordinasi aktor-aktor politik. Dalam komunikasi vertikal, pers harus bisa menjelaskan kebijakan pemerintah dan dampaknya pada masyarakat,” kata Robert.
Selain mendukung komunikasi pemerintah yang efektif, menyediakan tempat untuk debat publik, pers juga harus mendorong keterlibatan masyarakat lebih kuat dalam kehidupan bernegara. Pers harus berani menyuarakan mereka yang terpinggirkan seperti kelompok minoritas.
“Dengan memberikan public voice dalam masyarakat sipil, ini juga berguna bagi pers. Semakin kuat masyarakat sipil, maka semakin kuat perlindungan terhadap pers,” kata dia.