Kekerasan seksual juga dialami para perempuan jurnalis. Namun, selama ini kasus-kasus kekerasaan seksual yang menimpa jurnalis tidak pernah terdengar karena para korban memilih diam dengan berbagai alasan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa saja tanpa memandang latar belakang jender, profesi, jabatan, umur, atau apa pun. Bahkan, kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, tanpa mengenal waktu, termasuk di waktu bekerja. Siapa pun bisa menjadi korban, termasuk jurnalis, yang juga rentan mengalami kekerasan seksual.
Survei Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menemukan, sejumlah jurnalis, terutama perempuan jurnalis, mengalami kekerasan/pelecehan seksual. Peristiwa kekerasan/pelecehan seksual terjadi pada jam bekerja, baik saat liputan maupun di kantor, termasuk di luar waktu kerja dan acara pertemuan jurnalis.
”Kami menyebarkan survei kepada jurnalis di seluruh Indonesia sejak Agustus 2020, ada 34 jurnalis dari sejumlah kota yang mengisi survei kami dan 25 responden pernah mengalami kekerasan seksual,” ujar Widia Primastika, Koordinator Survei AJI Jakarta, saat Peluncuran Survei dan Diskusi Publik Daring Kekerasan Seksual di Kalangan Jurnalis, Sabtu (16/1/2021).
Ke-34 responden jurnalis terdiri dari 31 perempuan dan 3 laki-laki dengan masa kerja 1-15 tahun (mayoritas 1-3 tahun). Responden mayoritas dari media daring (20 responden) dan posisi reporter (21 responden).
Tempat kejadian pelecehan seksual bermacam-macam, mulai dari kantor pemerintahan, rumah narasumber, Gedung DPR/DPRD, pelabuhan, kantor, kampus, kantor partai, transportasi publik, ikut kegiatan aparat keamanan, hingga press room. Pelakunya paling banyak adalah pejabat publik, narasumber nonpejabat publik, atasan di kantor, teman sekantor, dan sesama jurnalis beda kantor. Ada juga massa aksi, aparat keamanan, dan dosen.
Sementara bentuk kekerasan yang dialami beragam, mulai dari catcalling (siulan/pelecehan seksual melalui ucapan), pemerkosaan, disentuh/dipegang, dikirimi pesan bernuansa seksual, diajak mengobrol bernuansa seksual, menjadi bahan bercandaan bernuansa seksual, gratifikasi benda/barang dengan berharap mau melakukan tindakan seksual/relasi romantis, dikuntit, eksploitasi seksual, dan tatapan ke arah dada.
”Ada 25 responden menyatakan bahwa mereka pernah mengalami kekerasan seksual, tapi saat kami menanyakan bentuk kejadian kekerasan seksual, ada lebih dari 25 jawaban. Artinya, satu orang pernah mengalami kekerasan seksual lebih dari satu kali,” kata Widia.
Kendati mengalami kekerasan seksual, mayoritas (63 persen responden, yang rata-rata reporter dari media daring) tidak melaporkan kekerasan yang dialaminya. Mengapa memilih tidak melapor? Sebagian besar responden (yang mayoritas reporter) mengaku tidak ada gunanya melapor, tidak punya bukti cukup, serta takut tidak dipercaya dan merasa malu. Ada juga yang merasa takut disalahkan, diintimidasi pelaku, tidak punya dukungan, dan dianggap tidak penting.
Temuan AJI tersebut menunjukkan, perempuan jurnalis pun tidak luput dari kekerasan seksual serta perlindungan dan pemulihan bagi jurnalis kekerasan seksual masih minim. Bahkan, masih banyak jurnalis yang disalahkan dan kasusnya diabaikan.
Perlu perhatian Dewan Pers
Maka, selain merekomendasikan perusahaan media agar memiliki prosedur penanganan kekerasan seksual yang komprehensif dan berperspektif korban, serta pelatihan sensitif jender bagi semua pekerjanya, Dewan Pers pun diminta ikut mendorong media untuk menangani kasus kekerasan seksual dan mewujudkan ruang kerja yang aman, nyaman, serta bebas dari kekerasan seksual bagi semua jurnalis.
Kekerasan seksual yang menimpa jurnalis mengundang keprihatinan tersendiri. Bahkan, menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika, temuan tersebut merupakan tamparan tersendiri bagi media, apalagi jika kejadian kekerasan seksual terjadi di lingkungan media sendiri.
”Fakta-fakta tersebut menunjukkan problemnya ada di komunitas media dan ekosistem jurnalistik karena pelakunya atasan, sesama wartawan, selain narasumber,” ujar Wahyu.
Meski benar-benar terjadi, kekerasan seksual di kalangan perempuan jurnalis selama ini hanya sebatas cerita-cerita saja, tidak pernah diangkat sebagai kasus. Bahkan, masih banyak pengelola media menganggap hal tersebut sebagai bagian dari risiko menjadi perempuan jurnalis.
Apa yang dialami perempuan jurnalis dalam pandangan Justitia Avila Veda dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) menimbulkan keprihatian. ”Menyedihkan karena sedikit sekali aduan yang masuk ke KAKG,” katanya.
Namun, yang lebih menyedihkan lagi, tidak banyak perempuan jurnalis korban kekerasan seksual melaporkan kasusnya ke kantornya karena pihak kantor tidak responsif.
Melihat banyaknya kekerasan seksual yang dialami perempuan jurnalis, Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga dan Internasional Dewan Pers Agus Sudibyo menyatakan sangat prihatin. Dia bahkan menduga masih banyak korban yang mungkin belum terjangkau survei AJI.
Bahkan, selama menjadi anggota Dewan Pers, Agus mengakui tidak pernah ada laporan kekerasan seksual terhadap wartawan. Karena itu, survei AJI diharapkan menjadi bahan advokasi untuk melindungi para perempuan jurnalis.
Kekerasan seksual terhadap perempuan jurnalis sesungguhnya hanyalah sebagian dari fenomena gunung es kekerasan seksual yang terjadi di Tanah Air. Maka, kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual semakin urgen demi melindungi perempuan-perempuan di Tanah Air.