Pandemi Menguji Resiliensi Anak
Anak-anak adalah tumpuan masa depan bangsa. Karena itu, pandemi Covid-19 jangan sampai memperparah proses tumbuh kembang anak. Pendidikan dan kesehatan anak perlu mendapat perhatian khusus.
Tahun 2020 menjadi tahun yang sulit bagi anak-anak di Tanah Air. Pandemi Covid-19 yang mulai melanda dunia dan Indonesia sejak akhir Februari 2020 membawa anak-anak pada situasi dan kondisi buruk, bahkan menguji sejauh mana resiliensi anak-anak. Tidak hanya berisiko terpapar virus korona, selama pandemi, tumbuh kembang anak terganggu akibat hambatan pendidikan, masalah kesehatan, hingga kerentanan dari berbagai praktik kekerasan.
Dari sisi kerentanan terhadap Covid-19, risiko anak-anak terpapar Covid cukup tinggi. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan dari sisi jumlah kasus Covid-19 Indonesia menduduki peringkat pertama di ASEAN, dan angka kesakitan dan kematian anak karena Covid-19 tertinggi di Asia Pasifik.
Ketua Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Yogi Prawira, akhir Nopember 2020 lalu, dalam Webinar "Adaptasi Kebiasaan Baru di Sekolah: Siapkah?” menyatakan, proporsi anak-anak yang terinfeksi Covid-19 sebesar 11,3 persen. Itu berarti, satu dari 9 atau 10 orang yang terinfeksi Covid-19 adalah anak atau warga di bawah 18 tahun.
Bahkan tingkat kematian anak-anak akibat terinfeksi virus korona baru di Indonesia adalah 0.93 persen, atau setiap 1 dari 107 anak Indonesia yang terinfeksi mengalami gejala kritis hingga kematian. Angka kematian pada anak-anak paling besar menimpa anak-anak di bawah usia lima tahun (sekitar 60 persen), sisanya anak-anak usia 6-9 tahun (23 persen) dan usia 10-18 tahun (27 persen).
Meski sebagian besar (85 persen) gejala ringan bahkan tanpa gejala, proporsi anak yang terinfeksi Covid-19 cukup mengkhawatirkan. Ada sekitar dua persen anak yang sakit kritis dan dirawat di Intensive Care Unit (ICU). Padahal, sebelum anak pandemi saja, jumlah ICU khusus untuk anak masih kurang, apalagi ICU khusus Covid-19. Tidak hanya berisiko tertular, anak-anak pun bisa menularkan kepada orang dewasa terutama lanjut usia.
Tak hanya ancaman Covid-19, selama pandemi kondisi kesehatan dan gizi anak-anak dari keluarga rentan dan keluarga miskin juga memburuk. Penelitian sejumlah lembaga seperti Wahana Visi Indonesia pada bulan Mei 2020, juga menemukan kemampuan rumah tangga dalam menyediakan makanan utama yang sesuai standar untuk anak, ibu hamil dan menyusui menurun.
Baca juga:Anak-anak di Tengah Ancaman Covid-19
Catatan Akhir Tahun 2020 Save the Children Indonesia menyebutkan asupan gizi anak terganggu, anak makan lebih sedikit dari sebelum pandemi, dan sebagian besar orang tua mengurangi jenis/variasi makanan anak. Sepertiga rumah tangga mengatakan bahan pangan terlalu mahal. Dari sisi kesehatan, akses keluarga terhadap layanan kesehatan sangat terganggu (3 dari 8 orang tua tidak dapat mengakses pengobatan, konsultasi langsung dengan dokter layanan konseling dan kesehatan mental).
Bahkan Save the Children Indonesia, memetakan tujuh risiko utama yang dihadapi anak-anak di Indonesia semenjak pandemi berlangsung Februari 2020 lalu. Ketujuh risiko tersebut adalah anak yang kehilangan orangtua karena Covid-19; anak yang orangtuanya kehilangan mata pencaharian/pendapatan; sulit mengakses layanan pendidikan yang berkualitas, anak yang rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi; anak yang sulit mengakses layanan kesehatan dasar dan gizi, anak yang tinggal di kawasan bencana dan rawan bencana; serta terbatasnya dukungan bagi anak dengan disabilitas.
Pendidikan dan psikososial
Goncangan ekonomi yang berbulan-bulan mendera keluarga dari kelompok rentan, akibat krisis yang berlangsung hampir 10 bulan memberi dampak besar bagi pendidikan dan kondisi psikososial anak-anak.
Anak-anak dipaksa untuk beradaptasi dengan perubahan situasi yang tak pernah diprediksi akan terjadi. Ketika tempat pendidikan beralih ke rumah, anak-anak pun harus menyesuaikan dengan pendidikan ala rumah. Situasi menjadi runyam situasi rumah (terutama wilayah urban dengan permukiman padat) tidak mendukung dan orangtua tidak siap berperan sebagai pengganti guru. Jangankan pendampingan belajar, sejumlah orangtua keteteran menyiapkan fasilitas pendukung untuk pembelajaran jarak jauh baik secara daring.
Tidak heran ketika pemerintah melemparkan wacana untuk kembali membuka sekolah, pada tahun ajaran baru 2020/2021, anak-anaklah yang paling antusias menyatakan mereka siap kembali ke bangku sekolah. Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan sebagian besar anak-anak ingin kembali ke sekolah, karena mulai stres belajar dari rumah.
Kebijakan pembelajaran jarak jauh luring pun membawa persoalan. Tidak hanya terganggu sekolahnya, sejumlah anak putus sekolah. Bahkan, situasi psikososial anak-anak pun pada tingkat mengkhawatirkan. Meninggalkan bangku sekolah (belajar dari rumah) dalam waktu yang lama, tidak hanya membuat anak stres, tapi juga menjerumuskan anak-anak dalam berbagai praktik buruk. Saat gawai begitu mudah terhubung dengan internet, jika tanpa pengawasan orangtua, anak-anak akan mudah terpapar pornografi.
Baca juga: Selama Pandemi, Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Anak Luput Dilakukan
Pergaulan bebas juga membayangi anak-anak di masa pandemi. Di beberapa wilayah, anak-anak menjadi korban perkawinan anak, karena perempuan remaja telah hamil. Di Nusa Tenggara Barat, akhir Oktober lalu publik dikagetkan dengan perkawinan seorang siswa SMK dengan dua siswi SMP, yang dilakukan hanya dalam rentang satu bulan.
Sementara itu, di beberapa daerah termasuk di wilayah bencana, anak-anak perempuan menjadi korban perkawinan anak. Ketika orangtuanya tidak berdaya menghadapi kesulitan ekonomi, menikahkan anak perempuannya menjadi salah satu pilihan untuk mengurangi beban ekonomi.
Pekerja anak
Keterpurukan ekonomi keluarga membuat memaksa anak-anak meninggalkan pelajaran sekolah, bahkan terancam putus sekolah. Di Jakarta, sejumlah anak-anak (duduk di bangku SMA/SMK) terpaksa meninggalkan sekolah, menjadi kuli bangunan (laki-laki) dan pekerja rumah tangga (perempuan) demi membantu ekonomi keluarga.
Situasi anak yang putus sekolah dan bekerja, karena pandemi juga terungkap dalam peluncuran Strategi Nasional Penanganan Anak Tidak Sekolah (ATS) dan Diseminasi Hasil Monitoring ATS dan Anak Berisiko Putus Sekolah (ABPS) akibat Pandemi Covid-19, yang diselenggarakan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Rabu (23/12/2020). Hiroyuki Hattori, Chief of Education Unicef Indonesia, anak-anak bekerja karena alasan utama faktor ekonomi, yaitu karena tidak ada biaya.
Baca juga: Kekerasan terhadap Anak pada Masa Pendemi Meningkat
Survei yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada September-Oktober 2020, di sembilan provinsi dan 20 kabupaten/kota tentang pekerja anak, menemukan anak-anak di wilayah perkotaan bekerja menjadi anak jalanan (15,8 persen), pemulung (15,8 persen), anak yang dilacurkan (31,6 persen), dan pekerja rumah tangga anak (15,8 persen).
Adapun di wilayah pedesaan, anak-anak dipekerjakan di lokasi pertanian (21,1 persen). Komisioner KPAI Ai Maryati Solihah menyebutkan, anak-anak yang dilacurkan ditemukan antara lain di daerah Bogor. Sedangkan pemulung dan anak jalanan ada di kota-kota besar.
Di sisi lain, ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking Of Children For Sexual Purposes) Indonesia menemukan eksploitasi seksual anak terutama melalui dunia daring semakin mengkhawatirkan, menyusul survei ECPAT yang mendapati sejumlah menjadi korban eksploitasi seksual daring selama pandemi.
Berada di rumah berbulan-bulan juga membuat anak-anak berada dalam situasi rentan kekerasan baik fisik, psikis, maupun seksual. Sejumlah survei lembaga menemukan krisis pandemi (pendapatan berkurang/kehilangan pendapatan) memicu emosi orangtua.
Survei Save the Children Indonesia menemukan, sebanyak satu dari lima (23 persen) orang tua melakukan pengasuhan negatif (kurang tenang/sabar, sering berteriak, lebih agresif, dan memberikan hukuman fisik). Bahkan, sejumlah orang tua/anak mengakui telah terjadi kekerasan.
Situasi dan kondisi yang dialami anak-anak di Indonesia diakui oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati, sebagai tantangan yang nyata. Pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap situasi tersebut, dan berupaya mendorong semua pihak agar melindungi anak-anak dari berbagai kekerasan, serta tidak mengesampingkan kualitas pemenuhan hak dan perlindungan khusus pada semua anak, termasuk anak-anak disabilitas.
Masa-masa sulit yang dihadapi anak-anak di tahun 2020 belum selesai, menyusul
ketidakpastian kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Karenanya, tahun 2021 masih akan menjadi tantangan besar bagi tumbuh kembang anak di Tanah Air. Masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai.