Belum Optimal, Upaya Institusi Pendidikan Mempromosikan Keberagaman
Satuan pendidikan perlu selalu menjadi ruang menyemai keberagaman dan toleransi kepada siswa.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Institusi pendidikan semestinya berkontribusi mempromosikan keberagaman kepada siswa. Namun, ada oknum di dalamnya yang justru mempraktikkan pengajaran yang mendorong penguatan intoleransi.
Advokat publik Febi Yonesta mengatakan, dari sisi hukum, Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah mengamanatkan pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Permasalahannya, kebijakan ataupun peraturan pelaksana turunannya tidak selaras.
Dia memandang perlunya harmonisasi regulasi dan kebijakan turunan. Upaya berikutnya adalah meningkatkan kapasitas pembuat kebijakan sampai ke level satuan pendidikan. Terakhir, budaya yang tidak sesuai nilai-nilai keberagaman dihapus, seperti membuat ruang partisipasi, dialog, serta sistem pengaduan dan penanganan.
Permasalahan intoleran di Indonesia terletak pada adanya gap antara norma dan realitas. Kalaupun perda sudah mengatur prinsip penyelenggaraan pendidikan yang mendukung keberagaman, guru belum tentu mempromosikannya ke siswa. (Febi Yonesta)
”Permasalahan intoleran di Indonesia terletak pada adanya gap antara norma dan realitas. Kalaupun perda sudah mengatur prinsip penyelenggaraan pendidikan yang mendukung keberagaman, guru belum tentu mempromosikannya ke siswa,” ujar mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta saat menghadiri webinar ”Refleksi Akhir Tahun: Pendidikan Keragaman di Indonesia, Sejauh Mana?”, Selasa (29/12/2020) di Jakarta. Webinar diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Guru (YCG).
Mengutip Kertas Posisi YCG ”Memanifestasikan Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan untuk Memperkuat Keragaman (2020)”, YCG menemukan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan sesuai UU Sisdiknas ditiadakan dalam substansi di perda enam provinsi, mengalami perubahan atau peleburan di perda 10 provinsi, dan dipertahankan utuh di perda enam provinsi.
Prinsip penyelenggaraan pendidikan sesuai UU Sisdiknas juga coba ditelusuri YCG di perda kabupaten/kota. Hasilnya, prinsip penyelenggaraan pendidikan ditiadakan di perda delapan kabupaten/kota, mengalami perubahan di perda enam kabupaten/kota, dan tetap dipertahankan utuh di perda tujuh kabupaten/kota. Sementara di 13 kabupaten/kota tidak ditemukan perda tentang penyelenggaraan pendidikan.
Dalam kertas posisi itu juga, Manajer Riset YCG Sicillia Leiwakabessy menyampaikan bahwa YCG melakukan penelitian kepada guru, pimpinan sekolah, dinas pendidikan, dan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) di Ambon, Jakarta, dan Tangerang Selatan selama Juli 2019-Juli 2020. Penelitian bertujuan untuk menggali peluang, tantangan, dan praktik baik penerapan prinsip penyelenggaraan yang demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif.
Contoh temuan menarik adalah prinsip penyelenggaraan pendidikan belum menjadi muatan dalam kurikulum penyiapan guru dan tenaga kependidikan, meskipun beberapa institusi memberikan penguatan nilai kemajemukan melalui program kerja lintas agama dan aktivitas pengabdian masyarakat.
Temuan menarik lainnya masih ada bias personal ataupun kelompok yang muncul dalam bentuk relasi senior-yunior, mayoritas-minoritas, candaan seksis dan rasis, pengutamaan terhadap identitas tertentu di posisi strategis di sekolah, serta penciptaan konsep diri yang mengarah kepada penyeragaman.
Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) periode 2019-2023, Doni Koesoema, mengatakan, mempromosikan keberagaman kepada siswa tidak bisa dikerjakan sendiri oleh guru. Kepala sekolah memegang andil pertama karena darinya turun kebijakan dan kegiatan yang mendukung ada tidaknya keberagaman. Bersama dengan pengawas, kepala sekolah juga berperan penting mengawasi praktik pengajaran yang dilakukan guru.
Dia lantas mencontohkan ada praktik pengajaran sejumlah guru yang malah menyisipkan pesan intoleran. Kegiatan ekstrakurikuler justru dipakai menjerumuskan siswa kepada narasi radikalisme. Akibatnya, ada siswa yang menyampaikan retorika pentingnya negara kekhilafahan kepada siswa lain.
”Pemerintah bisa ikut mengintervensi sejak seleksi guru, terutama untuk satuan pendidikan negeri. Proses tes semestinya mengedepankan ada tidaknya wawasan keberagaman calon guru,” kata Doni.
Pendiri Jaringan Gusdurian Alissa Wahid berpendapat, pemicu pembibitan intoleransi beragama di institusi pendidikan adalah praktik mayoritas yang dianggap paling benar. Praktik beragama secara eksklusif seperti itu diformalkan. Jika dibiarkan, kondisi pendidikan mencemaskan. Apalagi, pelaku di institusi pendidikan memperkuat pertentangan nasionalisme dan agama.
Menurut dia, pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menekankan pentingnya penguatan moderasi beragama guna mengukuhkan toleransi, kerukunan, dan harmoni sosial. Upaya ini harus didukung.
”Esensi keberagamaan dalam keberagaman adalah tetap mengikuti konstitusi. Apabila ada institusi pendidikan mempunyai visi menjadikan siswa bertakwa, saya kira itu tidak salah sebab orang yang bertakwa kepada Tuhan berarti bisa hidup bersama dengan orang yang berbeda di satu negara dan bangsa,” paparnya.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Totok Suprayitno mengatakan, pihaknya berusaha mereformasi pendidikan agar semakin mendukung keberagaman, toleransi, dan inklusifisme. Misalnya, instrumen akreditasi satuan pendidikan mulai menitikberatkan penilaian mutu lulusan, proses pembelajaran, guru, dan manajemen sekolah/madrasah.
Dia menegaskan, Merdeka Belajar yang kini diusung Kemendikbud berfungsi sebagai landasan filosofis perumusan kebijakan yang bertujuan mendukung siswa dan guru terbiasa berinteraksi di tengah keberagaman. Merdeka Belajar berangkat dari filosofi yang dicetuskan Ki Hadjar Dewantara.
Totok menyadari, sebagai miniatur masyarakat, sekolah kerap kali memberangus keberagaman. Sebagai contoh, ide belajar-mengajar datang dari guru, tidak ada dialog dengan siswa, dan tidak ada pembiasaan anak agar berani menyampaikan gagasan.
”Ketika nanti ada revisi UU Sisdiknas, kami tetap mempertahankan substansi prinsip penyelenggaraan pendidikan yang demokratis, berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Kami juga berupaya mengawasi agar peraturan teknis turunan selaras dengan substansi itu,” paparnya.