Tahun 2020 ini menjadi tahun yang berat bagi wartawan. Jumlah kasus kekerasan terhadap wartawan tertinggi sejak 2009. Pandemi Covid-19 juga mengancam wartawan, baik dari sisi kesehatan maupun perekonomian.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tahun 2020 merupakan tahun kelam bagi wartawan di Indonesia. Ini terkait dua hal paling krusial yang berhubungan dengan pekerjaan wartawan, yaitu meningkatnya kasus kekerasan terhadap wartawan dan tekanan ekonomi karena krisis akibat pandemi yang berdampak pada bisnis perusahaan pers.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, selama 2020 terjadi 84 kasus kekerasan terhadap wartawan, atau bertambah 31 kasus dibandingkan pada 2019 yang sebanyak 53 kasus. Berdasarkan monitoring AJI Indonesia sejak 2019, jumlah kasus tahun ini merupakan yang tertinggi setelah pada 2016 yang mencapai 81 kasus.
”Ini bukan kabar bagus bagi pers nasional. Kasus kekerasan terhadap wartawan seharusnya cenderung turun,” kata Ketua Umum AJI Indonesia Abdul Manan ketika menyampaikan Catatan Akhir Tahun AJI Indonesia secara daring, Senin (28/12/2020).
Tingginya kasus kekerasan terhadap wartawan ini juga menjadi alarm bagi kebebasan pers di Indonesia yang sebenarnya telah meningkat menurut survei Reporters Without Borders (RSF). Menurut catatan AJI Indonesia, kebebasan pers di masa pandemi ini lebih buruk dibandingkan sebelumnya. Sejumlah kasus juga menunjukkan komitmen pemerintah terhadap kebebasan pers sangat rendah.
Kekerasan terhadap wartawan merupakan tindakan atau upaya menghalang-halangi wartawan ketika melaksanakan tugasnya. Bentuk kekerasan terhadap wartawan ini mulai dari intimidasi, perampasan peralatan liputan dan hasil liputan, serta pemidanaan.
Abdul Manan mengatakan, tahun ini kasus kekerasan terhadap wartawan paling banyak berupa intimidasi (25 kasus), kekerasan fisik (17 kasus), dan perusakan/perampasan peralatan liputan (15 kasus). Pelakunya pelaku paling banyak aparat keamanan (58 kasus). Ini terutama terjadi saat wartawan meliput unjuk rasa penolakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang masif di sejumlah daerah pada awal Oktober.
”Meningkatnya kasus kekerasan terhadap wartawan pada tahun ini sangat merisaukan. Namun yang lebih merisaukan lagi kasus serangan siber terhadap media, baik yang terhadap individu (wartawan) maupun terhadap media. Paling tidak ada empat media yang menjadi korban serangan siber, yaitu tempo.co, tirto.id, magdalene.co, serta konde.com,” ujar Abdul Manan.
Kasus kekerasan terhadap wartawan ataupun serangan siber terhadap wartawan dan media tersebut, kata Abdul Manan, seperti tren yang berlanjut dengan apa yang terjadi sejak 2017. Serangan-serangan siber selama ini terjadi ketika wartawan atau media menuliskan hal-hal kritis terhadap pemerintah atau kelompok tertentu, atau ketika melakukan fungsi kontrol sosial.
Kebebasan pers
AJI Indonesia juga mencatat, pemidanaan terhadap wartawan karena melakukan tugas jurnalistiknya menjadi preseden sangat buruk bagi kebebasan pers. Ketika diduga melakukan kesalahan, eks Pemimpin Redaksi Banjarhits Diananta Putra Sumedi tidak diadili menggunakan UU Pers, melainkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dakwaan kepada Diananta pun bukan kasus dugaan pencemaran nama baik, melainkan dugaan membuat berita yang mengandung unsur suku ras, agama, dan antar golongan. Diananta divonis 3 bulan 15 hari dalam kasus ini. ”UU ITE masih menjadi pisau guillotine bagi pers,” kata Abdul Manan.
Selain UU ITE, RUU KUHP juga mengandung sejumlah pasal yang berpotensi memenjarakan wartawan. Pembahasan RUU KUHP masih dilanjutkan tahun depan, dan sampai akhir tahun ini tidak ada upaya untuk mengurangi pasal-pasal yang mengancam atau membatasi kerja wartawan.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan yang ditetapkan 27 November 2020 menambah daftar regulasi yang membatasi kerja wartawan. Keharusan izin ketika meliput persidangan membuat wartawan tidak bebas mendapatkan informasi.
Krisis akibat pandemi yang berdampak pada bisnis perusahaan pers juga menjadi tekanan bagi wartawan. Di tengah tuntutan menghasilkan informasi yang kredibel, wartawan berisiko terkena Covid-19. Berdasarkan catatan AJI Indonesia, paling tidak 294 wartawan terkonfirmasi positif Covid-19.
”Diduga jumlahnya lebih banyak lagi karena banyak yang tidak lapor,” kata Koordinator Bidang Ketenagakerjaan AJI Indonesia Aloysius Budi Kurniawan. AJI Indonesia mengingatkan tanggung jawab perusahaan pers untuk terbuka dan transparan jika ada pekerjanya positif Covid-19. Perusahaan pers harus menyediakan alat pelindung diri dan memfasilitasi tes Covid-19 bagi pekerjanya.
Wartawan juga menghadapi tekanan ekonomi karena krisis akibat pandemi yang berdampak pada bisnis perusahaan pers. Tidak sedikit wartawan yang mengalami pemotongan gaji hingga pemutusan hubungan kerja (PHK), baik yang dilakukan secara sepihak maupun melalui penawaran pensiun dini.
Budi mengatakan, riset AJI Indonesia bersama International Federation of Journalists (IFJ) menunjukkan mayoritas wartawan (83,5 persen) menyatakan pandemi ini sangat berdampak pada perekonomian mereka. Riset ini dilakukan terhadap 792 wartawan di 138 kabupaten/kota pada 27-13 November 2020.
Apa yang terjadi pada wartawan, baik kekerasan maupun tekanan ekonomi, bisa memengaruhi produktivitas wartawan. Perlu komitmen pemerintah dan juga perusahaan pers untuk memberikan perlindungan kepada wartawan.