Reformasi 1998 telah membebaskan pers Indonesia dari kontrol negara, kebebasan pers pun terus membaik. Namun, pers Indonesia belum bebas untuk menjalankan fungsinya karena masih ada intervensi dan ancaman.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Nilai Indeks Kebebasan Pers yang terus meningkat menunjukkan bahwa kebebasan pers tumbuh semakin baik pascareformasi. Jika pada 2016-2018 kebebasan pers di Indonesia masuk kategori agak bebas, berdasarkan survei Dewan Pers, dua tahun terakhir telah meningkat menjadi cukup bebas.
Pada 2020 ini, nilai Indeks Indeks Kebebasan Pers (IKP) sebesar 75,27, naik 1,56 poin dari IKP 2019. Berdasarkan survei IKP oleh Dewan Pers yang diluncurkan pertengahan Agustus lalu, lingkungan fisik dan politik, ekonomi, serta hukum meskipun belum ideal, relatif mendukung kebebasan pers.
Reformasi 1998 telah membebaskan pers dari belenggu politik Orde Baru yang mengontrol pers melalui rezim SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers). Tidak ada lagi ancaman pencekalan ataupun pembredelan ketika pers mengkritik atau pun tidak sependapat dengan pemerintah. Pun tak ada lagi persyaratan ketat untuk mendirikan perusahaan pers.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa kemerdekaan pers merupakan hak asasi warga negara, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa kemerdekaan pers merupakan hak asasi warga negara, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, serta menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Bukan hanya pers sebagai lembaga, hak-hak tersebut juga terutama memberi kemerdekaan wartawan untuk melakukan pekerjaan dan kegiatan jurnalistik sesuai tuntutan profesinya. Hak-hak tersebut, dalam tataran regulasi, memberikan jaminan perlindungan kepada wartawan.
Namun dalam tataran praktik, serangan terhadap pers dan wartawan masih saja terjadi. Jika pada Pemilu 2019 sejumlah wartawan mengalami kekerasan fisik ketika meliput unjuk rasa, kini berkembang serangan digital. Catatan SAFENet, setahun terakhir kasus serangan digital terus terjadi ketika pers melakukan fungsi kontrol.
Terakhir pada Agustus lalu, situs dua media daring, yaitu Tempo.co dan Tirto.id, diretas. Sebelumnya, pada Mei, wartawan Detik.com mengalami intimidasi dan doxing atau pengungkapan data pribadi atau identitas di media sosial.
Meski serangan tersebut tidak berlanjut dan tidak diketahui pelakunya, menurut Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia Abdul Manan, dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu, itu bukan sebuah kebetulan ataupun serangan acak, tetapi merupakan upaya meredam sikap kritis pers. Artinya, serangan seperti itu berpotensi terulang dan ini menciptakan iklim ketakutan.
Sejumlah pasal karet dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) juga menjadi ancaman kekerasan hukum bagi wartawan. Terakhir, pada Agustus lalu, mantan Pemimpin Redaksi Banjarhits.id Diananta Putra Sumedi dipidana menggunakan UU ITE karena karya jurnalistiknya.
Kebebasan wartawan dari kekerasan yang mendapat porsi tertinggi pada indikator lingkungan fisik dan politik dalam penghitungan IKP 2020 menunjukkan bahwa ini menjadi prasyarat mutlak kebebasan pers. Tak ada gunanya ada kebebasan pers jika wartawan tidak bebas melakukan pekerjaan dan kegiatan jurnalistik sesuai tuntutan profesinya.
Demikian juga kurangnya kesejahteraan wartawan dan rendahnya etika pers menghambat kebebasan pers. Kedua hal ini menjadi kendala wartawan menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas dan rawan terjadi pelanggaran profesionalisme wartawan.
Intervensi
Dari sisi lembaga atau perusahan pers, intervensi ekonomi dan politik masih menjadi ancaman nyata bagi kebebasan pers. Hasil survei IKP 2020 menunjukkan, masih ada tekanan pemilik perusahaan pers pada kebijakan redaksi, termasuk penentuan arah politik media.
Pers bukan hanya sebagai lembaga sosial yang menjalankan fungsi kontrol, melainkan juga merupakan lembaga ekonomi yang berorientasi pada keuntungan. Sayangnya, di era informasi saat ini, kepentingan ekonomi sering kali mengalahkan fungsi kontrol. Mengutip Djuroto dan Nina Winangsih Syam dalam Jurnal.unpad.ac.id pada 2011, pers idealis sudah bergeser menjadi pers bisnis.
Pers bisnis mengelola informasi sebagai komoditas yang dikemas dan diperjualbelikan. Orientasinya tidak lagi produk, tetapi pasar, yaitu bagaimana memenangkan persaingan di tengah banyaknya perusahaan pers yang tumbuh menjamur pasca reformasi. Ini yang antara lain memicu munculnya fenomena clickbait (umpan klik) di media daring untuk ”mengejar” iklan.
Di daerah, kepentingan ekonomi membuat sejumlah perusahaan pers di daerah bergantung pada pemerintah daerah. Hasil survei IKP 2020 menunjukkan, sumber pendapatan media di daerah sebagian besar berasal dari anggaran atau pendanaan dari pemerintah daerah.
Kondisi tersebut memengaruhi independensi ruang redaksi dan kualitas pengelolaan perusahaan pers. Terbukti, dari lima indikator kondisi lingkungan ekonomi, tata kelola perusahaan yang baik mendapat nilai terendah (70,85).
Intervensi politik juga menyebabkan tata kelola perusahaan pers menjadi kurang baik. Seperti pada pada Pemilu 2019 ketika politisi dan partai politik menjadikan sejumlah media massa sebagai kendaraan politik. Pemberitaan media menjadi kurang akurat, kurang berimbang, dan cenderung eksploitatif.
Campur tangan, ancaman, dan paksaan-paksaan tersebut membuat pers tidak merdeka untuk menjalankan peran dan fungsinya. Dan, pers yang profesional menjadi tuntutan untuk mewujudkan hal itu.