Pelibatan Masyarakat Kunci Penanganan Anak Tidak Sekolah
Penanganan anak tidak sekolah atau anak putus sekolah terkendala sistem pendataan yang beragam sehingga berpotensi tumpang tindih, bahkan ada anak yang tidak terdata.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Besarnya jumlah anak tidak sekolah yang mencapai 4,3 juta anak menjadi tantangan terbesar dalam penuntasan program wajib belajar 12 tahun. Pelibatan masyarakat sejak pendataan hingga pendampingan menjadi kunci untuk menyediakan layanan pendidikan yang terjangkau bagi mereka.
Dari 4,3 juta anak putus sekolah, sekitar 190.000 (0,7) persen merupakan anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) dan sekitar 1,1 juta (8,3 persen) merupakan anak usia sekolah menengah pertama (13-15 tahun). Faktor ekonomi menjadi penyebab utama (56 persen) anak putus sekolah, baik karena orangtua tidak mampu membiayai maupun karena harus bekerja membantu orangtua.
Direktur Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Amich Alhumami mengatakan, anak tidak sekolah sebagian besar berasal dari kelompok keluarga tidak mampu dan daerah perdesaan. ”Strategi pencegahan dan penanganan anak tidak sekolah harus melibatkan semua pihak,” katanya dalam webinar Inovasi Kebijakan dan Program Penanganan Anak Tidak Sekolah: Praktik Baik dari Daerah, Jumat (18/12/2020).
Selama ini, penanganan anak tidak sekolah atau anak putus sekolah terkendala sistem pendataan yang beragam sehingga berpotensi tumpang tindih, bahkan ada anak yang tidak terdata. Data yang ada juga belum dapat menjelaskan dengan jelas keberadaan anak tidak sekolah berdasarkan nama dan alamat (by name by address).
Tanpa data, kita tidak tahu siapa saja yang belum terjangkau. Peran pemerintah desa dan masyarakat untuk mengumpulkan data sangat penting karena merekalah yang paling tahu kondisi daerahnya. (Ana Winoto)
”Tanpa data, kita tidak tahu siapa saja yang belum terjangkau. Peran pemerintah desa dan masyarakat untuk mengumpulkan data sangat penting karena merekalah yang paling tahu kondisi daerahnya,” kata Ana Winoto, Team Leader Kompak (Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan).
Kompak merupakan program kemitraan Pemerintah Australia dan Indonesia untuk mengurangi kemiskinan. Kompak bekerja sama dengan Bappenas memberikan pendampingan ke pemerintah daerah untuk penanganan anak tidak sekolah dengan melibatkan masyarakat mulai dari pendataan anak tidak sekolah, pendampingan, hingga pemantauan anak-anak yang berhasil kembali ke sekolah, baik di sekolah formal maupun informal.
Inovasi
Hasilnya, empat daerah melakukan inovasi penanganan anak tidak sekolah sesuai kearifan lokal dan kondisi daerah. Di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, ada Gerakan KUDU Sekolah, di Kabupaten Brebes (Jateng) ada Gerakan Kembali. Sedangkan di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, ada program Sapu Bersih Drop Out atau Siber DO serta di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, ada program Kelas Perahu.
Inovasi-inovasi tersebut, kata Nurman Siagian, Education Manager Kompak, berhasil mengembalikan anak-anak ke sekolah lagi. Gerakan KUDU Sekolah, misalnya, berhasil mengembalikan 989 anak ke sekolah atau 101 persen dari target. Gerakan Kembali Bersekolah berhasil mengembalikan lebih dari 5.000 anak ke sekolah atau sekitar 88 persen dari target.
”Sedangkan Kelas perahu, targetnya target zero anak melaut. Dari tahun ajaran 2016/2017 hingga 2019/2020 terjadi penurunan dari 7,8 persen menjadi 1,8 persen,” katanya.
Nufliyanti, Kepala Subbidang Pendidikan Bappeda/Litbang Kabupaten Pekalongan, menceritakan, pihaknya melibatkan pemerintah desa dan kecamatan untuk mendata anak tidak sekolah. Pendataan ini mengacu pada basis data terpadu untuk penanggulangan kemiskinan dan data pokok pendidikan.
Berdasarkan data tersebut, aparat desa dan koordinator wilayah pendidikan mendatangi rumah anak tidak sekolah untuk membujuk mereka kembali ke sekolah. ”Satu anak bisa tiga kali (kunjungan) dan tidak bisa dilakukan satu orang karena anak-anak itu punya kondisi psikologis yang berbeda-beda. Pendekatan yang dilakukan pun bermacam-macam,” kata Nufliyanti.
Selanjutnya, kata Nufliyanti, anak anak yang mau dikembalikan ke sekolah dimediasi dengan satuan pendidikan yang mereka inginkan. Hasilnya, 989 anak berhasil dikembalikan ke sekolah. Gerakan ini juga termasuk untuk menjangkau anak-anak berkebutuhan khusus. Pemerintah kabupaten telah menambah sekolah inklusi, di jenjang SD dari tujuh sekolah menjadi 22 sekolah dan di jenjang SMP dari 3 sekolah menjadi 20 sekolah.
Kepala Bappeda/Litbang Kabupaten Pekalongan Yulian Akbar mengatakan, program yang dilaksanakan sejak 2018 ini juga melibatkan perguruan tinggi dan dunia usaha (pentahelix). ”Tidak bisa persoalan pendidikan dilihat dari kacamata pendidikan semata, perlu kerja sama sektor lain, harus multisektor,” katanya.
Pencegahan
Adapun program Kelas Perahu di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan menyasar anak-anak nelayan. Banyak anak dari keluarga nelayan yang sering kali harus meninggalkan sekolah karena harus membantu orangtuanya mencari ikan di laut. Banyak dari mereka yang akhirnya benar-benar putus sekolah.
Kepala Bidang Guru dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Rukmini, inisiator program ini, mengatakan, pendataan tidak hanya untuk mengetahui nama dan alamat anak, tetapi juga waktu yang mereka gunakan untuk melaut. Data waktu melaut diperlukan untuk menyusun buku panduan untuk pembelajaran anak di perahu atau selama mereka melaut membantu orangtuanya.
Anak-anak yang harus membantu orangtuanya melaut tetap dapat belajar selama melaut dengan diberi lembar kerja siswa (LKS) dan bimbingan awal sebelum melaut. Siswa dapat belajar mandiri dengan mengerjakan LKS di sela-sela melaut yang hasilnya diserahkan kepada guru saat siswa kembali mengikuti pembelajaran di sekolah.
Rukmini mengatakan, kolaborasi dengan pemerintah desa dan kecamatan dilakukan dalam memberikan pengertian pentingnya hak anak bersekolah. Program ini juga melibatkan swasta dalam bentuk program tanggung jawab sosial.