Cegah Anak Putus Sekolah Saat Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 memberi catatan penting bagi Hari Pendidikan kali ini. Beberapa daerah di Indonesia rentan mengalami kenaikan angka putus sekolah di tengah pandemi.
Pandemi Covid-19 memberi catatan penting bagi Hari Pendidikan kali ini. Beberapa daerah di Indonesia rentan mengalami kenaikan angka putus sekolah di tengah pandemi. Akselerasi kebijakan di bidang pendidikan dan insentif yang tepat sasaran dibutuhkan agar semua anak dapat melanjutkan pendidikan saat memasuki tahun ajaran 2020/2021, Juli mendatang.
Melihat sebaran wilayah, terdapat beberapa daerah yang dapat mengalami peningkatan angka putus sekolah selama pandemi Covid-19. Indikatornya adalah tingginya angka putus sekolah sebelum pandemi hingga besarnya dampak ekonomi di suatu wilayah akibat pembatasan sosial yang dilakukan.
Daerah pertama yang berpotensi mengalami kenaikan angka putus sekolah ialah Provinsi Papua. Pada kondisi normal sebelum pandemi, Papua merupakan daerah dengan angka putus sekolah tertinggi di Indonesia untuk jenjang SD dan SMA.
Angka putus sekolah adalah perbandingan antara jumlah pelajar putus sekolah dan jumlah pelajar pada jenjang yang sama tahun sebelumnya. Pada 2019, angka putus sekolah di Papua mencapai 0,99 untuk pelajar SD.
Jika tidak diantisipasi sejak dini, bisa saja angka putus sekolah meningkat di Papua karena kendala ekonomi dari orangtua pelajar. Apalagi, Papua menjadi salah satu daerah dengan jumlah kasus positif Covid-19 tertinggi di Indonesia timur selain Sulawesi Selatan. Artinya, upaya penanggulangan kasus Covid-19 melalui pembatasan sosial bisa saja turut memukul kondisi ekonomi keluarga dari pelajar di daerah itu.
Selain Papua, peningkatan angka putus sekolah juga berpotensi terjadi di Maluku Utara. Sebelum pandemi Covid-19, pada tahun 2019, angka putus sekolah untuk jenjang SMP dan SMK di daerah ini adalah yang tertinggi di Indonesia. Sebanyak dua dari 100 pelajar SMP di Maluku Utara tak dapat melanjutkan proses belajar di bangku sekolah. Pada tahun yang sama, tiga dari 100 pelajar SMK di Maluku Utara juga harus putus sekolah.
Jika tidak diantisipasi sejak dini, bisa saja angka putus sekolah meningkat di Papua karena kendala ekonomi dari orangtua pelajar.
Kini, Maluku Utara masih berperang melawan Covid-19. Jika pembatasan sosial dilakukan, orang-orang yang bekerja pada sektor informal akan terdampak dan dapat memberi efek domino bagi pendidikan anak di wilayah itu.
Kota dan desa
Selain daerah-daerah yang memiliki angka putus sekolah tinggi sejak sebelum pandemi, potensi peningkatan angka putus sekolah juga terdapat pada daerah episentrum Covid-19 hingga wilayah pedesaan.
DKI Jakarta adalah salah satu daerah yang memiliki potensi kenaikan angka putus sekolah seiring dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan. Pada tahun 2019, terdapat 2.924 pelajar putus sekolah di Jakarta dari jenjang SD, SMP, SMA, hingga SMK di sekolah negeri ataupun swasta
Dengan kondisi saat ini, jumlah pelajar putus sekolah bisa saja bertambah jika tak diantisipasi. Apalagi, menurut catatan Kementerian Ketenagakerjaan, hingga 20 April lalu, terdapat 499.318 pekerja di Jakarta yang kehilangan pekerjaan. Jika tidak diberi insentif berupa biaya pendidikan, pekerja yang dirumahkan akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan biaya pendidikan anak jelang tahun ajaran baru.
Daerah lain yang berpotensi mengalami kenaikan angka putus sekolah adalah daerah-daerah yang telah melakukan PSBB. Bagi pekerja informal, kondisi ini ibarat memakan buah simalakama. Pada satu sisi, tidak semua pekerja informal menerima bantuan.
Di sisi lain, mereka tetap tidak dapat bekerja akibat kebijakan PSBB sehingga dapat berdampak pada tidak tersedianya biaya pendidikan anak. Potensi putus sekolah karena faktor ekonomi di pedesaan juga patut diperhitungkan.
Permintaan bahan pangan yang berkurang dari perkotaan akibat tutupnya restoran dan hotel bisa saja berdampak pada penghasilan keluarga di pedesaan, khususnya petani dan peternak. Kondisi ini juga dapat memberi efek domino pada pendidikan anak di pedesaan.
Kebijakan
Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menjamin keberlanjutan pendidikan bagi pelajar di Indonesia. Salah satu kebijakan yang dilakukan adalah mencairkan bantuan pada program bidik misi dan Kartu Indonesia Pintar (KIP), April lalu.
Bantuan ini diberikan kepada pelajar yang termasuk pada kategori penduduk miskin atau rentan miskin. Bantuan diberikan bagi pelajar SD senilai Rp 450.000, pelajar SMP Rp 750.000, dan pelajar SMA Rp 1 juta.
Selain itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengizinkan penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk membeli paket internet bagi guru dan pelajar. Hal ini merupakan kebijakan penting mengingat tidak semua pelajar memiliki akses internet yang leluasa ketika berada di rumah. Mereka membutuhkan biaya yang lebih besar untuk mengikuti pelajaran melalui konferensi video.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengizinkan penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk membeli paket internet bagi guru dan pelajar.
Walakin, di balik sejumlah bantuan yang telah diberikan, insentif pendidikan jelang memasuki tahun ajaran baru pada Juli mendatang perlu diberikan, baik bagi pelajar di sekolah negeri maupun swasta. Insentif berupa biaya buku, pakaian sekolah, hingga iuran lain dalam pendaftaran siswa baru menjadi hal yang perlu dipertimbangkan.
Apalagi, menurut catatan Badan Pusat Statistik, tingkat inflasi sektor pendidikan dari tahun ke tahun pada Maret lalu mencapai 3,77 persen. Artinya, ada kenaikan kebutuhan biaya pendidikan dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun sebelumnya.
Selain itu, pembaruan data diperlukan hingga tingkat desa. Data keluarga yang kehilangan penghasilan perlu dimiliki secara akurat agar tak ada anak yang mengalami kendala keuangan dalam melanjutkan pendidikan.
Kerja sama
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) telah memberikan sejumlah solusi untuk mencegah dampak negatif dari Covid-19 bagi pelajar, salah satunya melalui komunikasi efektif. Komunikasi antara orangtua dan guru adalah kunci yang sangat efektif untuk mengontrol kondisi anak selama belajar dari rumah.
Pihak sekolah, keluarga, masyarakat, hingga pemerintah daerah perlu bahu-membahu untuk mencegah anak putus sekolah pada suatu wilayah. Selain itu, masyarakat juga memiliki peran penting untuk memastikan anak tidak mengalami kekerasan selama pandemi Covid-19 yang berujung pada putus sekolah.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah pernikahan usia dini bagi anak perempuan. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik dalam Susenas 2018, menikah menjadi alasan bagi 12,09 persen anak perempuan berusia 7-17 tahun untuk putus sekolah. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan anak laki-laki pada kategori usia yang sama (0,43 persen). Kondisi ini tentu perlu menjadi perhatian untuk menekan angka putus sekolah di Indonesia.
Bagaimanapun, semangat belajar generasi muda tentu harus dijaga di tengah pandemi Covid-19. Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap 2 Mei tentu tak hanya menjadi perayaan seremonial belaka, tetapi dapat juga menjadi alarm untuk menjamin hak pendidikan semua anak Indonesia dalam kondisi apa pun sesuai amanat UUD 1945. (LITBANG KOMPAS)