Antisipasi Kekerasan Berbasis Jender Dimulai dari Keluarga dan Sekolah
Keluarga dan sekolah memiliki peran penting mencegah semakin maraknya kasus kekerasan berbasis jender daring.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Tindakan edukasi dan preventif kekerasan berbasis jender perlu dilakukan sejak anak usia dini. Upaya tersebut dimulai dari keluarga dan sekolah.
Kepala Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hendarman menyampaikan hal itu dalam webinar "Anti Kekerasan Berbasis Jender", akhir November 2020, di Jakarta. Kekerasan berbasis jender bukan isu sederhana dan bisa menjadi bahaya laten. Rumah bisa jadi lokasi kekerasan berlangsung. Dengan kata lain, dia ingin mengatakan, pelaku kekerasan dimungkinkan berasal dari anggota keluarga.
Kekerasan terhadap anak bisa berupa fisik, psikis, dan berbasis jender yang kini semakin marak karena pengaruh media daring dan \'menghantui\'.(Hendarman)
"Kekerasan terhadap anak bisa berupa fisik, psikis, dan berbasis jender yang kini semakin marak karena pengaruh media daring dan \'menghantui\'. Angka kasus kekerasan berbasis jender dari berbagai sumber organisasi peduli hak-hak perempuan, seperti Komnas Perempuan, begitu tinggi. Ini harus diangkat oleh dunia pendidikan," ujar dia.
Upaya masyarakat sipil mendorong pemerintah menegakkan hukum kepada pelaku kekerasan berbasis jender harus didukung orangtua. Edukasi dan tindakan preventif kekerasan berbasis jender diberikan sejak usia anak masih dini. Misalnya, seorang ayah mau membantu anak perempuannya masih kecil membuka baju. Ayah bersangkutan mulai dengan kata "maaf". Ini bertujuan agar sejak kecil, anak perempuan sadar dan paham bahwa tidak boleh orang lain menyentuh tubuhnya tanpa izin.
Untuk satuan pendidikan, Hendarman berpesan agar kepala sekolah dan guru mengingat kembali substansi Peraturan Mendikbud (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Permendikbud ini juga mengatur sanksi yang bisa dikenakan terhadap peserta didik yang melakukan tindakan kekerasan, atau sanksi terhadap satuan pendidikan dan kepala sekolah jika masih terdapat praktik kekerasan di lingkungan sekolahnya.
Selain itu, sekolah juga diwajibkan memasang papan layanan pengaduan tindak kekerasan pada serambi satuan pendidikan yang mudah diakses oleh peserta didik, orang tua/wali, guru/tenaga kependidikan, dan masyarakat. Isi papan layanan pengaduan meliputi laman pengaduan sekolahaman.kemdikbud.go.id, pesan singkat ke 08119769293, telepon 02157903020 atau 0215703303, faksimile 0215733125, surel ke laporkekerasan@kemdikbud.go.id, nomor kontak kantor polisi terdekat, dinas pendidikan, dan sekolah.
Bersama Kementerian Pendayagunaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kemdikbud mengembangkan sekolah ramah anak. Ini juga bagian edukasi dan preventif kekerasan berbasis jender.
"Ayo gerak bersama melawan kekerasan berbasis jender. Ini yang selalu kami ulangi," tutur Hendarman.
Saat dikonfirmasi ulang Senin (14/12/2020), di Jakarta, Hendarman menyebut Kemendikbud telah membuka Unit Layanan Terpadu (ULT) untuk korban kekerasan seksual melalui ult.kemdikbud.go.id dan pusat panggilan 177. ULT itu juga menyediakan bantuan psikolog.
Dampingi anak
Pengusaha dan artis Indra Brasco yang kini mempunyai empat orang anak juga menyadari bahaya kekerasan berbasis jender yang kini semakin marak terjadi ruang media sosial. Dia menyebut keluarganya punya peraturan bahwa anak di bawah usia 13 tahun tidak boleh mempunyai akun media sosial. Kalaupun, anak menginginkan bermain media sosial, seperti TikTok, itupun memakai akun orangtua.
Indra mempunyai anak perempuan yang sekarang berusia 17 tahun. Dia memperbolehkan si anak punya akun pribadi media sosial dengan serangkaian ketentuan yang dibuat Indra bersama istri. Dia juga seringkali mengajak anak bertukar pikiran tentang kasus-kasus kekerasan berbasis jender daring yang terjadi di media sosial.
"Saya ingin anak perempuan paham bahwa kekerasan ya kekerasan. Tidak boleh dipandang biasa-biasa saja, apalagi kekerasan berbasis jender daring," kata dia.
Indra juga memiliki anak laki-laki yang akan beranjak remaja. Kepada anak itu, Indra mengaku berusaha menanamkan pesan-pesan menghargai rekan dan teman perempuan, misalnya dimulai dari bertutur kata. Jadi, ketika si anak semakin dewasa dan kelak menikah, dia sudah paham.
Direktur SMA Kemendikbud Purwadi Sutanto saat dihubungi terpisah, mengklaim, selama masa pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena pandemi Covid-19, pihaknya berkoordinasi dengan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS). Tujuannya adalah menginformasikan langkah pencegahan kekerasan kepada anak, termasuk yang berbentuk kekerasan berbasis jender daring. Selain melapor ke dinas pendidikan setempat, satuan sekolah yang menemukan kasus bisa mengadu langsung ke Kemendikbud agar segera ditindaklanjuti.
"Kami mengakui bahwa pelaporan kasus kekerasan kepada dinas pendidikan masih lambat ditindaklanjuti," kata dia.
Koordinator Pembinaan Peserta Didik SMP Direktorat SMP Kemendikbud Maulani Mega Hapsari menyampaikan, sepanjang pandemi Covid-19, edukasi anti kekerasan dilakukan melalui dua program pendidikan karakter. Program pertama adalah norma standar prosedur kriteria (NPSK) yang mencakup pembuatan buku panduan anti kekerasan, infografis, dan video animasi. Produk tersebut dikampanyekan melalui media sosial dan dinas-dinas pendidikan.
Program kedua yaitu pembinaan jarak jauh ekstrakurikuler dengan tema anti kekerasan. Sasaran utama adalah siswa dan guru. Tema itu disosialisasikan sampai delapan angkatan. Pihak Direktorat SMP Kemendikbud menghadirkan aparat kepolisian, psikolog, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
"Kalau dari sisi kami, kami mengejar penguatan adovokasi serta pendampingan dinas pendidikan di daerah agar mereka dapat melaksanakan pembinaan ataupun cepat menindaklanjuti kasus kekerasan apapun yang melibatkan warga satuan pendidikan," tutur dia.