Meski Jauh dari Sejahtera, Guru Honorer Jadi Andalan di Pedalaman NTT
Meski masih jauh dari kesejahteraan, jumlah guru honorer yang mengajar di pedalaman Nusa Tenggara Timur sangat banyak. Padahal, mereka hanya diupah Rp 100.000-Rp 1 juta per bulan.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Meski masih jauh dari kesejahteraan, jumlah guru honorer yang mengajar di pedalaman Nusa Tenggara Timur hampir setara dengan guru pengawai negeri sipil atau PNS. Padahal, para guru honorer ini hanya diupah Rp 100.000 hingga Rp 1 juta per bulan. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, guru honorer juga menjadi peternak dan bertani.
Ketua Dewan Pendidikan Nusa Tenggara Timur (NTT) Simon Riwu Kaho di Kupang, Sabtu (21/11/2020), mengatakan, bicara tentang guru honorer di NTT ibarat mengurai benang kusut. Gelar pahlawan tanpa tanda jasa itu lebih cocok diberikan kepada guru honorer ketimbang guru PNS atau aparatur sipil negara (ASN) yang mendapat perhatian khusus pemerintah, tetapi enggan mengajar di pedalaman.
”Guru honorer ini mendominasi jumlah guru di pedalaman NTT. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) 2019, jumlah guru SD sebanyak 5.345 orang dengan rincian guru ASN 3.382 orang dan guru swasta sebanyak 1.963 orang. Untuk guru SMP, 1.358 orang di antaranya guru ASN dan 508 orang lainnya guru swasta. Di tingkat SMA, guru ASN sebanyak 239 orang dan guru swasta 363 orang. Sementara guru SMK terdiri dari 145 guru ASN dan 152 guru swasta,” kata Riwu Kaho.
Guru-guru swasta identik dengan guru honorer, baik yayasan maupun komite orangtua siswa. Jumlah guru honorer SD,SMP, SMA, dan SMK sebanyak 4.405 orang dengan 3.083 orang mengajar di pedalaman dan 1.322 orang mengajar di kota.
Riwu Kaho mengatakan, ia telah mengunjungi hampir semua sekolah di pedalaman NTT, termasuk sekolah swasta. Di ujung timur Pulau Flores atau sebelah timur Larantuka, misalnya, seorang guru honorer SD hanya diupah Rp 100.000 per bulan oleh komite sekolah. Sementara itu, guru honorer dengan upah tertinggi ada di tingkat SMA, yakni di salah satu sekolah negeri terpencil di Kecamatan Pahungu Lodhu, Kabupaten Sumba Timur, sebesar Rp 800.000 per bulan setelah 10 tahun mengajar.
”Di Kecamatan Elar Selatan, Manggarai Timur, salah satu sekolah dasar hanya memiliki dua guru swasta, menangani 155 siswa. Satu guru mengajar kelas I, II, II dan guru yang lain mengajar kelas IV, V, dan VI. Sementara di Ruteng, kota Kabupaten Manggarai, sebanyak 129 guru menumpuk di satu sekolah dasar negeri dan jumlah 129 guru ini semuanya guru ASN. Ini memang sangat diskriminatif antara sekolah di kota dan sekolah pedalaman di NTT,” katanya.
Kebanyakan guru ASN menumpuk di kota dengan alasan mengikuti suami atau istri yang sedang tugas di kota. Alasan sebenarnya, mereka menghindari keterbatasan hidup di pedalaman, seperti jaringan internet, listrik, akses jalan buruk, air bersih, jauh dari pusat perbelanjaan, dan tidak ada televisi.
Pemda sepakat bahwa alasan seperti ini kurang bijaksana. Guru ASN telah mendapat gaji bulanan, ditambah uang sertifikasi, serta dukungan sarana dan prasarana yang memadai di kota.
”Harus ada aturan khusus. Guru negeri yang ditempatkan di pedalaman, apabila tetap menolak pergi maka gaji, uang sertifikasi atau tunjangan lain dipotong untuk guru honor di pedalaman. Pemda bisa atur itu,” ujarnya.
Pada masa pandemi Covid-19, kondisi pendidikan di NTT makin terpuruk. Mutu pendidikan tertinggal jauh. Belajar jarak jauh dengan sistem daring sama sekali tidak membantu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa.
Kebanyakan sekolah di pedalaman NTT memilih mengajar tatap muka karena kasus Covid-19 belum ada di pedalaman. Di sana, para guru dan siswa juga kesulitan kuota pulsa data, tidak semua siswa memiliki ponsel Adnroid, dan jaringan internet buruk.
Beberapa kali ia menyampaikan kepada pemda dan Kemendikbud agar guru-guru honorer di wilayah Indonesia tengah dan timur diberi kebijakan khusus guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Upah Rp 100.000 sampai dengan Rp 1 juta itu sangat tidak layak.
Alfeus Afando (35), guru honorer di SDN Mewet, Pulau Adonara, Flores Timur, mengatakan, ia mengajar sejak 2006 dengan upah Rp 210.000 per bulan. Sampai Juni 2020, setelah ada kebijakan pemerintah bahwa dana bantuan operasional sekolah bisa untuk membayar guru honorer, ia diupah Rp 1.070.000 per bulan. Akan tetapi, ketersediaan pakaian seragam dan kelengkapan mengajar lain diusahakan sendiri.
Mencukupi kebutuhan istri dan dua anak, selama 14 tahun itu, ia beternak kambing dan mengupayakan tanaman hortikultura. Ia juga menjadi pengelola Koperasi Obor Mas di Desa Mewet dengan anggota 70 orang. Usaha sampingan ini dijalankan di luar jam sekolah sistem tatap muka, yakni sore hari, hari Minggu, dan hari libur. ”Saya sosialisasikan kepada masyarakat, bagaimana keuntungan menabung di koperasi. Usaha sawi dan tomat, pedagang datang ambil di tempat dengan harga Rp 15.000 per kilogram,” katanya.
Wakil Kepala SMAN Adonara Tengah, Flores Timur, Tomas Arakian Boli mengatakan, jumlah guru honorer di sekolah negeri itu 21 orang, guru negeri tujuh orang, termasuk satu tenaga tata usaha dan satu tenaga perpustakaan. Boli sendiri berstatus guru honorer meski menjabat wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Ia digaji Rp 800.000 per bulan, sementara guru honorer lain diupah Rp 200.000-Rp 700.000 oleh komite sekolah.
Ia mengakui, mutu pendidikan di pedalaman NTT, seperti Pulau Adonara, masih jauh tertinggal dibandingkan pendidikan di kota di NTT. Kesejahteraan guru honorer sangat memprihatinkan.
”Dengan honor Rp 200.000-Rp 800.000 per bulan seperti ini, kami tidak bisa buat apa-apa. Harga bahan pokok terus naik. Beras, misalnya, termurah Rp 13.000 per kg, minyak goreng Rp 11.000 per botol 250 gram, gula pasir Rp 17.000 per kg. Itu pun menggunakan jasa ojek ke pasar Rp 50.000 pergi-pulang,” katanya.
Setiap guru melakukan usaha sampingan, seperti beternak ayam dan kambing serta menanam jagung dan umbi-umbian di pekarangan rumah di luar jam pelajaran.
Belajar langsung
Pada masa pandemi, sekolah-sekolah di Adonara Tengah tetap belajar tatap muka. Senin dan Kamis dijadwalkan untuk kelas X, Selasa dan Jumat kelas XI, sedangkan Rabu dan Sabtu kelas XII. Tidak ada pembelajaran sistem daring.
Sebanyak 28 guru dan 209 siswa di sekolah itu belum mendapatkan bantuan kuota data internet dari pemerintah. Padahal, sekolah sudah mengajukan ke kementerian, tetapi belum dapat sampai hari ini.
Pandemi Covid-19 ini membuat mutu pendidikan di pedalaman makin terpuruk. Sebelum pandemi Covid-19 saja, mutu pendidikan sudah buruk, apalagi ditambah pandemi saat ini. ”Kami upayakan agar siswa bisa baca, tulis, menghitung, menganalisis masalah, dan (bisa) berkompetisi dengan sekolah-sekolah sekitar,” kata Tomas.