Mengapa Pelajar di Indonesia Sulit Berpikir Kritis
Sejumlah guru mendorong siswa berpikir kritis dengan mendiskusikan tema aktual dan materi pelajaran yang mengundang perdebatan. Namun, ternyata tak mudah mengajak siswa sekolah di Indonesia berpikir kritis.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berpikir kritis memungkinkan siswa merespons sebuah persoalan dengan berbagai sudut padang. Siswa harus dibiasakan berpikir kritis sejak dini. Selain sekolah, keluarga dan masyarakat juga bertanggung jawab untuk mendorong siswa agar berpikir kritis.
Namun, tak mudah mengajari siswa sekolah di Indonesia agar mau berpikir kritis. Selain gurunya yang enggan mengajak siswa untuk berpikir kritis dalam proses pembelajaran dan bahkan cenderung membatasi pertanyaan murid, sejumlah siswa juga dinilai kurang bergairah dalam belajar. Di luar sekolah, masyarakat juga terkadang menilai cara berpikir kritis siswa sebagai bentuk protes.
Mario, guru Sejarah di salah satu SMA di Bengkulu, menyatakan, kendala terbesar dalam pembelajaran di sekolahnya adalah minimnya gairah belajar siswa. Ada yang sering absen dan banyak juga yang terlambat datang. Mario merespons minimnya gairah belajar siswa dengan mendiskusikan hal-hal yang masih kontroversial dalam sejarah Indonesia.
”Misalnya, dengan menyatakan Indonesia sebenarnya tidak dijajah 3,5 abad. Di tingkat akademisi, ini sudah lama diperdebatkan. Tetapi, ini hal baru dan mengguncang bagi siswa yang sejak SD sudah sering mendengar negara kita dijajah 3,5 abad. Saya juga mengajak diskusi soal sejarah 1965. Jadi, sisi sejarah yang masih kontroversial itu bisa membuat mereka terlibat diskusi,” ujarnya, Minggu (22/11/2020).
Selain itu, dia juga menjelaskan tentang betapa gentingnya status sebagai siswa SMA. Belajar dengan penuh gairah, katanya, adalah syarat mutlak jika ingin diterima di universitas. Tuntutan kurikulum pun mengharuskan siswa sudah mulai bisa berpikir dan mengambil kesimpulan secara mandiri.
”SMA, kan, satu-satunya pilihan adalah lanjut ke perguruan tinggi. Yang mereka punya hanya pengetahuan. Kalau keahlian untuk bekerja, kan, cuma ada di SMK. Sementara untuk lanjut ke perguruan tinggi, mereka sudah harus bisa berpikir dan membuat kesimpulan secara mandiri. Dalam konteks ini, berpikir kritis menjadi penting agar tak kesulitan belajar di perguruan tinggi,” ujarnya.
Menurut guru Bahasa Indonesia di Santo Yoseph, Jakarta, Yunita Dwi Rahmayani, siswa kritis membuat kelas menjadi hidup. Diskusi menjadi interaktif karena ada umpan balik dari siswa. Nita mendorong sikap kritis siswa dengan membahas tema-tema aktual.
”Di Jakarta, kan, ada unjuk rasa beberapa waktu lalu. Pesertanya ada juga dari SMP dan SMA, tuh. Sangat mungkin ada teman-temannya yang ikut. Lalu, aku minta penilaian mereka tentang unjuk rasa itu,” ucapnya.
Yang paling penting, kata Nita, siswa tidak boleh dibatasi dalam berpendapat. ”Kalau dibatasi malah nanti mereka malu menyampaikan pendapat di kemudian hari karena takut salah. Kalau ada pendapat yang agak ’liar’, kita bisa periksa lebih lanjut, apa yang mendasari pendapatnya itu. Jadi, diskusi tidak buru-buru dihentikan,” katanya.
Penulis filsafat yang juga kritikus sastra, Martin Suryajaya, menjelaskan, berpikir kritis bukan asal berbeda dengan orang lain (contrarian). Berpikir kritis adalah kemampuan untuk menimbang secara mandiri manfaat atau kekurangan suatu argumen dan memutuskan apakah argumen tersebut layak dipercaya.
Di tingkat masyarakat, bersikap kritis kadang kala diartikan sebagai protes. Padahal, inti dari bersikap kritis adalah kemampuan untuk memilah argumen berdasarkan perbandingan dari berbagai spektrum pemikiran. Orang berpikir kritis, kata Martin, tidak mau terpenjara oleh sebuah paradigma. Ia bisa sangat fleksibel dalam mendekati masalah.
Berpikir kritis adalah kemampuan untuk menimbang secara mandiri manfaat atau kekurangan suatu argumen dan memutuskan apakah argumen tersebut layak dipercaya.
Di sistem pendidikan nasional, lanjutnya, berpikir kritis bisa dimulai sejak SMA. Instrumennya adalah dengan memasukkan materi pengantar filsafat ke kurikulum. Ini sudah dilakukan di Jerman dan daerah Eropa lainnya.
”Filsafat membuat kita mempertanyakan lagi pengetahuan umum yang kita dapat dari berbagai sumber, entah itu agama, masyarakat, ataupun keluarga. Ini yang mendorong kita untuk berpikir kritis,” ujarnya.
Pengajar di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang, Alim Harun Pamungkas, menjelaskan, berpikir kritis di sekolah sangat metodologis. Ini, misalnya, dengan membiasakan siswa untuk tidak terampil menjawab, tetapi terampil bertanya. Menurut Alim, terampil bertanya ini yang cenderung terkikis seiring siswa naik tingkat ke sekolah lanjut.
”Dari SD hingga perguruan tinggi itu intensitas bertanya siswa menjadi lebih sedikit. Waktu SD banyak tanya. Berangkatnya pun dari rasa ingin tahu yang besar. Seiring dewasa, pertanyaan menjadi semacam ritus formal untuk sekadar mendapat atensi dan nilai bagus dari guru. Tidak lagi didorong oleh rasa ingin tahu,” ujarnya.
Sedikitnya ada dua hal yang membuat hal ini terjadi. Pertama, sikap guru yang membatasi pertanyaan siswa. Guru mulai resah jika ada siswa bertanya agak liar. Lalu, pertanyaan dibatasi. Ini menimbulkan beban psikologis bagi siswa. ”Siswa jadi takut salah dan menghambat mereka untuk berani mempertanyakan apa pun,” jelasnya.
Selanjutnya, pendidikan nasional memang tak secara eksplisit bertujuan membentuk manusia kritis. Undang-undang, kata Halim, menugaskan institusi pendidikan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
Definisi manusia Indonesia seutuhnya itu serasa sudah terpenuhi dengan mendorong siswa untuk menjawab atau pintar. ”Jadi, kalau disigi dari UU, memang butuhnya itu siswa yang bisa menjawab, bukan yang mempertanyakan segala sesuatu,” lanjutnya.
Dia menambahkan, berpikir kritis bagi siswa bisa terbentuk jika dimulai sejak kanak-kanak dan terus dirawat hingga jenjang sekolah berikutnya. Jika tidak, siswa yang bergabung di perguruan tinggi akan kesulitan.
”Di tingkat perguruan tinggi, mereka sudah harus bisa memberikan respons terhadap sesuatu. Pertanyaannya, bagaimana memiliki respons yang baik sementara ia tak belajar bertanya? Belajar ala kadarnya, terampil bertanya tidak, mengerti yang akan direspons pun tidak. Kompleks memang,” ucapnya.
Padahal, dia melanjutkan, perubahan dari kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) ke Kurikulum 2013 membuka ruang bagi siswa untuk berpikir kritis. Namun, masalahnya, masyarakat terlalu bergantung pada sekolah untuk mengerjakan hal ini.
”Kalaupun ada orangtua bertanya, pertanyaannya sebatas ’apa yang tadi diajarkan guru di sekolah’. Jadi, situasi hadap masalah di sistem pendidikan kita memang terlalu bertumpu ke sekolah. Padahal, sumber daya manusia sekolah juga terbatas. Kita sudah sampai di tahap pasrah sepasrah-pasrahnya dalam menyerahkan masa depan anak-anak kita kepada sekolah,” ucapnya.
Menurut Halim, poros pendidikan tidak hanya di sekolah. Peran masyarakat dan keluarga pun dibutuhkan. ”Pada level kebijakan, kemampuan sekolah itu, ya, yang sesuai dengan tuntutan kurikulum. Dukungan untuk berpikir kritis ini sebetulnya bisa disumbang oleh lembaga pendukung sekolah, seperti di lembaga nonformal dan informal. Tetapi, ini belum berjalan,” ujarnya.