Pandemi Covid-19 jangan sampai memengaruhi tumbuh kembang anak-anak. Kendati berada di rumah, semua pihak harus memastikan anak-anak berada dalam situasi aman dan nyaman, serta bebas dari berbagai kekerasan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Hari Anak Sedunia atau Hari Anak Universal 2020 yang berlangsung pada masa pandemi Covid-19 menjadi momentum untuk mengingatkan semua pihak bahwa persoalan anak di Tanah Air masih menjadi pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan. Bahkan, masa pandemi memperparah situasi kekerasan terhadap anak-anak baik fisik, psikis, maupun seksual, yang sebelum pandemi pun pada tingkat memprihatinkan.
Terbatasnya akses pendidikan dan layanan kesehatan, termasuk kesulitan pangan, di masa pandemi Covid-19 semakin memperlebar kesenjangan antara anak-anak di wilayah terpencil, kepulauan, dan pelosok. Termasuk, anak-anak dari keluarga rentan baik di perdesaan maupun perkotaan, dengan anak-anak dari keluarga mampu.
Selain rentan tertular virus korona baru dan kehilangan orangtua, sejumlah anak-anak juga terganggu pendidikannya serta terancam putus sekolah. Ada pula anak-anak perempuan dari keluarga miskin dan kelompok rentan menjadi korban perkawinan anak karena orangtuanya terpuruk secara ekonomi. Bahkan, sejumlah anak rentan menjadi pekerja anak demi menopang ekonomi keluarga.
Di sisi lain, kemudahan mengakses jaringan internet melalui gawai selama masa pandemi membuat sejumlah anak rentan terpapar pornografi, bahkan rentan menjadi korban kekerasan berbasis jender online (KBGO) terutama eksploitasi seksual secara daring. Anak-anak remaja, baik perempuan maupun laki-laki, menjadi incaran para pelaku kejahatan seksual daring yang terhubung dengan jaringan internasional.
Situasi sulit bahkan dialami anak-anak disabilitas dan berkebutuhan khusus. Tidak mudah bagi mereka untuk melewati masa-masa di rumah di saat kebijakan pembatasan sosial dan belajar dari rumah.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, menyatakan keprihatinannya karena kekerasan dari rumah mendominasi sepanjang tahun pertama pandemi dibanding tempat kekerasan lainnya. Perlindungan anak yang selama 24 jam yang selama ini diterapkan dengan berbagi peran, yakni 8 jam anak berada di layanan pendidikan, 8 jam di lingkungan, dan 8 jam di rumah, sudah tidak bisa lagi berjalan. Selama pandemi, semua tumpuan perhatian ada pada orangtua.
”Orangtua zaman sekarang harus siap berperan lebih karena tidak bisa dibagi dengan bidang hak lainnya. Krisis perlindungan anak dan krisis dunia di masa pandemi bisa dilewati jika orang tua mampu menjalankan pemenuhan hak hak anak dari rumah,” paparnya.
Di luar bencana nonalam, ancaman dan dampak bencana alam juga menghantui tumbuh kembang anak-anak di Indonesia. Hingga kini sejumlah anak masih tinggal di wilayah rawan bencana, seperti di wilayah Sulawesi Tengah, lebih dari dua tahun ratusan anak korban bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi tinggal di hunian sementara yang tidak layak.
Dampak masif
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengakui, masa pandemi Covid-19 merupakan salah satu tantangan nyata yang saat ini. Bencana tersebut memberikan dampak masif bagi berbagai aspek kehidupan, terutama anak-anak. Untuk mencegah persebarannya, berbagai upaya dikeluarkan oleh pemerintah, seperti kebijakan untuk belajar dari rumah dan imbauan untuk tetap di rumah.
”Tidak dapat dipungkiri rutinitas kehidupan sehari anak-anak pun menjadi berubah, yang memberikan tantangan baru, seperti ancaman stres pada anak, pendidikan yang kurang efektif, bahkan isu kekerasan pada anak,” ungkap Bintang Darmawati pada Hari Anak Sedunia 2020 sekaligus Peringatan 30 Tahun Indonesia Meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA), Jumat (20/11/2020) di Bali.
Di tengah situasi saat ini, menurut Bintang, pemerintah menyadari dan memahami bahwa kualitas pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak tidak dapat dikesampingkan dalam kondisi apa pun. Pembangunan inklusif yang mengedepankan hak-hak anak harus tetap menjadi prioritas utama. Hal ini pula yang menjadi dasar pengambilan berbagai kebijakan oleh pemerintah.
”Meskipun sulit, saya yakin bahwa di balik tantangan pasti ada peluang. Apalagi, KHA berhasil menjadi pedoman bagi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia dalam melewati berbagai krisis, baik yang disebabkan oleh bencana, konflik, maupun hal-hal lainnya. Sejarah telah membuktikan bahwa semangat dalam pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak yang tertuang dalam KHA merupakan pondasi kokoh yang tidak lekang oleh waktu,” ujar Bintang. Ia meminta semua pihak memastikan rumah menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak.
Implementasi kebijakan masih jadi PR
Selama 30 tahun terakhir, selain meratifikasi dua protokol opsional KHA, yaitu Protokol Opsional KHA mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata dan Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak, sebenarnya sejumlah kebijakan terkait perlindungan anak telah dilahirkan pemerintah, termasuk perubahan-perubahan sejumlah regulasi untukmendukung pembangunan nasional yang inklusif dan ramah anak, sesuai dengan mandat KHA.
Misalnya, amendemen kedua terhadap UUD 1945 di tahun 2000, dengan memasukkan Pasal 28B Ayat (2) yang berbunyi, ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Kemudian mengesahkan Undang-Undang (UU) tentang Perlindungan Anak dengan 2 (dua) pilar utama, yaitu pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak.
Sebelum pandemi Covid-19, setahun yang lalu, pemerintah Bersama DPR merevisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur usia minimum perkawinan baik bagi laki-laki maupun perempuan menjadi sama 19 tahun, dari sebelumnya, usia minimum perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun. Langkah tersebut untuk mencegah praktik perkawinan anak di Tanah Air yang tak kunjung berhenti.
Kendati demikian, implementasi dari berbagai regulasi tersebut masih menjadi pekerjaan rumah. Isu-isu pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak harus terus disosialisasikan kepada masyarakat. Bahkan, menciptakan rumah yang aman dan nyaman bagi anak-anak, terutama di masa pandemi menjadi sebuah tantangan tersendiri.
Hari Anak Sedunia 2020 juga digelar berbagai lembaga, seperti Unicef Indonesia yang menggelar pertemuan daring mengundang untuk menyoroti dampak krisis iklim dan degradasi lingkungan dan menata kembali dunia yang lebih hijau dan lebih berkelanjutan, dengan menghadirkan Duta Nasional Unicef Indonesia Nicholas Saputra bersama sejumlah anak muda pembuat perubahan lingkungan.
Begitu juga Save the Children Indonesia, selain menampilkan pentas seni anak-anak, sejumlah tokoh perempuan, seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan pembawa acara Najwa Shihab, juga hadir berdialog dengan anak-anak. Migrant Care menggelar bincang sore yang membahas tantangan pemenuhan hak anak berhadapan dengan kejahatan transnasional dan upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.
Semua mengusung pesan perlindungan bagi anak-anak termasuk di masa pandemi Covid-19 saat ini. Mewujudkannya akan kian menjadi tantangan yang tak mudah meski tak mustahil bila dikerjakan bersama.