”Tiang Negara” yang Sedang Diuji
Sebelum pandemi Covid-19, perempuan sudah rentan mengalami kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Pada masa pandemi, situasi kekerasan semakin meningkat. Beberapa perempuan memilih bungkam meski menderita.
Kekerasan terhadap perempuan hingga kini masih kerap dianggap sebagai isu pinggiran, bukan sesuatu yang serius. Bahkan, meskipun sudah ada Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sejak 16 tahun lalu, kekerasan dalam rumah tangga tetap saja terjadi, bahkan masih dianggap sebagai ranah privat. Belum lagi, kekerasaan seksual, yang semakin hari semakin canggih modusnya, menghancurkan kehidupan perempuan dan anak-anak.
Kenyataan tersebut menunjukkan, meskipun berbagai kebijakan yang melindungi dan memenuhi hak perempuan—khususnya perempuan korban kekerasan—telah dilahirkan, kekerasan terhadap perempuan secara persisten terus terjadi. Bahkan, jumlah kekerasan terhadap perempuan dalam 20 tahun terakhir terlihat nyata sangat jauh melampaui penyikapan terhadap penanganan dan pemenuhan hak korban.
Bahkan, dari Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2020, selama 12 tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat hingga hampir 800 persen. Pada tahun 2008, jumlah laporan kekerasan yang masuk di Komnas Perempuan sebanyak 54.425 kasus, tetapi pada tahun 2019 mencapai 431.471 kasus.
Komnas Perempuan juga menemukan, jumlah laporan kekerasan terhadap anak perempuan tahun 2019 meningkat 2.341 kasus (sekitar 65 persen) dibandingkan tahun 2018 (1.417 kasus). Dari semua jenis kekerasan yang dialami anak perempuan, inses merupakan yang paling tinggi (770 kasus) dan kekerasan seksual (571 kasus).
Baca juga : Perempuan-perempuan yang Berjuang di Tengah Pandemi Covid-19
Di masa pandemi Covid-19, pencatatan laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mengalami penurunan seiring pembatasan sosial. Kendati demikian, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengingatkan, angka tidak dilaporkan bisa jadi jauh lebih besar. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) periode Januari-Oktober 2020, terlihat laporan kasus mengalami fluktuasi. Kekerasan fisik, psikis, dan seksual paling banyak dialami perempuan dewasa.
Namun, persentase korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tetap menempati peringkat tertinggi, rata-rata di atas 50 persen. Bahkan laporan kasus KDRT pada bulan April, Mei, dan Agustus di atas 60 persen.
Kajian Respons Cepat Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Penanganan Covid-19 guna Meningkatkan Ketahanan Nasional yang dilakukan Tim Komnas Perempuan yang diketuai Maria Ulfa Ansor dan Lemhannas yang diketuai Sudaryono, Juni-Agustus 2020, menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu masalah genting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berkontribusi pada pelemahan ketahanan nasional.
Ancaman laten
Meski jumlah pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari waktu ke waktu, budaya menyangkal dan menyalahkan korban menyebabkan isu kekerasan terhadap perempuan tetap menjadi ancaman laten, terutama bagi rasa aman perempuan.
Selain itu, menurut Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyanti, kekerasan terhadap perempuan yang berakar pada diskriminasi berbasis jender, sebuah konstruksi berpikir masyarakat yang membedakan peran dan posisi perempuan dan laki-laki hingga, kini masih lekat dengan masyarakat.
”Kondisi ini menjadi penghalang bagi para perempuan untuk dapat berkiprah secara optimal di tengah potensinya yang besar untuk turut memajukan kehidupan bangsa dan negara,” ujar Andy pada peluncuran Kajian Respons Cepat Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Penanganan Covid-19 guna Meningkatkan Ketahanan Nasional, Senin (16/11/2020).
Di sisi lain, kekerasan terhadap perempuan merupakan isu empuk untuk menjadi bahan kampanye demi melemahkan kepercayaan masyarakat kepada institusi penegak hukum dan pemerintahan. Situasi ini ikut mengurangi daya rekat masyarakat dan pemerintah untuk bersama-sama bekerja mencapai cita-cita negara Indonesia sebagaimana amanat konstitusi, UUD 1945.
Melihat situasi dan kondisi tersebut, terutama urgensi untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan sebagai isu ketahanan nasional, beberapa waktu lalu Komnas Perempuan bekerja sama dengan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) melakukan Kajian Respons Cepat Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Penanganan Covid-19 guna Meningkatkan Ketahanan Nasional.
”Perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mempunyai peran yang sangat strategis. Perempuan adalah tiang negara, negara akan menjadi kokoh jika tiangnya kokoh,” ujar Deputi Pengkajian Strategik Lemhannas Reni Mayerni.
Baca juga : Perempuan Memikul Beban Terberat Saat Krisis
Karena itu, peran penting perempuan di berbagai bidang, baik dalam rumah tangga maupun di sektor publik, tidak dapat diabaikan dalam memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia ((NKRI). Bahkan, hal itu sangat menentukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi, di tengah upaya dan kiprah perempuan bagi bangsa Indonesia, hingga saat ini masih sering terjadi pelanggaran tindak kekerasan, khususnya terhadap perempuan. Bahkan, dalam situasi pandemi Covid-19 pun, kasus dan jenis kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat.
Alarm
Potensi perempuan dalam menghadapi dampak Covid-19 berupa diskriminasi dan kekerasan cukup tinggi. Terbukti di sejumlah tempat dilaporkan peningkatan beban pekerjaan rumah tangga dan angka KDRT selama masa pandemi saat ini.
Reni mengibaratkan kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat seperti deret ukur, termasuk kasus kekerasan seksual, sedangkan kapasitas penanganan tumbuh seperti deret hitung. Jarak yang dalam dan lebar jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang terlapor dengan daya respons dan dukung dalam penanganannya menjadi alarm karena kasus kekerasan seksual dua tahun terakhir ini naik rata-rata lebih dari 100 persen.
”Karena itu, bukanlah sesuatu yang mengada-ada jika Lemhannas menyambut baik ketika Komnas Perempuan mengajak kerja sama untuk menyatakan darurat kekerasan terhadap perempuan,” ungkap Reni.
Dari Kajian Respons Cepat Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Penanganan Covid-19, tim Komnas Perempuan dan Lemhannas menemukan, kendati data pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat pada masa pandemi, seperti yang dicatat oleh sejumlah kementerian/lembaga dan lembaga layanan masyarakat, penanganan kasus masih menghadapi berbagai persoalan dan tantangan. Selain infrastruktur, sumber daya dari lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan juga sangat terbatas.
Berlangsungnya kekerasan terhadap perempuan akan berdampak besar pada hak konstitusional atas kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera. Apabila dibiarkan, kondisi ini akan dapat membahayakan integritas dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
Dari hasil analisis atas kajian respons cepat tersebut, penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam penanganan Covid-19 dapat dilakukan melalui pencegahan terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan, penindakan pelaku kekerasan, dan perlindungan perempuan korban kekerasan.
Kajian tersebut juga merekomendasikan sejumlah usulan langkah yang perlu dilakukan oleh kementerian/lembaga. Gugus Tugas Penanganan Covid-19, misalnya, perlu membangun pendekatan afirmasi dalam hal pencegahan dan perlindungan menyikapi kerentanan perempuan, terutama dukungan bagi perempuan petugas medis, perempuan lansia, perempuan disabilitas, dan perempuan miskin.
Adapun Kementerian PPPA, selain menguatkan gerakan pendidikan kesetaraan jender dalam keluarga, juga perlu melakukan diseminasi informasi payung hukum berkenaan dengan kekerasan terhadap perempuan, dan memastikan protokol terkait penanganan kekerasan terhadap perempuan dijalankan dengan baik. Selain itu, yang juga penting adalah mengembangkan koordinasi pendokumentasian dan pendataan kasus kekerasan terhadap perempuan.
”Kementerian PPPA diharapkan memastikan akses layanan berkualitas dan berperspektif inklusif dalam pendampingan untuk perempuan korban kekerasan yang mengantisipasi potensi kenaikan pelaporan kekerasan, segera mempercepat hadirnya protokol perlindungan untuk pendamping pengada layanan atau Perempuan Pembela HAM,” kata Maria yang juga menyampaikan rekomendasi untuk sejumlah kementerian terkait.
Bersama rekomendasi tersebut, Komnas Perempuan dan Lemhannas mendorong regulasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dibahas dan disahkan. Sebab, hingga kini belum ada payung hukum atas penanganan kekerasan seksual dan perlindungan serta pemulihan hak-hak korban.
Baca juga : Memburuk, Situasi KDRT yang Dialami Perempuan di Dunia
Kajian tersebut mendapat apresiasi dari Jaleswari Pramodhawardani (Deputi V Kantor Staf Presiden), Vennetia R Danes (Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA), Vinitia Susanti (Tim Pakar Satgas Covid-19), serta Meiwita Paulina Budiharsana (Guru Besar Universitas Indonesia).
”Perlu untuk membuat peta zonasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan KDRT untuk dibandingkan dengan peta zonasi kasus Covid-19 supaya penanganannya dapat lebih terukur dan terarah,” kata Vennetia.
Kajian Komnas Perempuan dan Lemhannas, juga sejumlah lembaga, seharusnya semakin mengingatkan semua untuk bersama-sama serius melindungi perempuan dari berbagai kekerasan. Sebab, ketika perempuan terpuruk, menjadi korban kekerasan berlapis (terutama beban berlipat ganda pada masa pandemi), ujungnya akan berdampak besar pada Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Dan, tentu saja, perempuan tidak bisa berdiri tegak menjadi tiang negara.