Digitalisasi Manuskrip Belum Seragam dan Masih Tercerai-berai
Digitalisasi membantu pelestarian dan pemajuan kebudayaan manuskrip. Akan tetapi, di balik proses digitalisasi masih ada sejumlah persoalan teknis, seperti sistem penyimpanan, utilisasi, dan etika akses.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya digitalisasi manuskrip telah marak berkembang. Akan tetapi, mekanisme alih media ini berbeda-beda dan datanya pun cenderung menyebar di berbagai sumber penyimpanan digital arsip sejarah.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring ”The Utilization of Digital Database of Manuscripts Treasures for The Advancement of Indonesian Culture”, Kamis (12/11/2020), di Jakarta. Diskusi ini bagian dari Konferensi Internasional lintas Disiplin tentang Kebudayaan Indonesia atau ICONIC 2020.
Sumber penyimpanan digital meliputi, antara lain, Khasanah Pustaka Nusantara milik Perpustakaan Nasional RI, Digital Repository of Endangered and Affected Manuscript in Southeast Asia atau DREAMSEA yang dikelola oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan CSMC University of Hamburg, serta Manuskrip Nusantara dari Puslitbang Lektur Kementerian Agama.
Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Munawar Holil mengatakan, urgensi pembentukan ”bank data” manuskrip yang telah didigitalisasi sudah lama dibicarakan. Adanya ”bank data” bertujuan memudahkan kebutuhan rekapitulasi dan akses untuk utilisasi pemajuan kebudayaan.
Kasus yang sering terulang adalah manuskrip tertentu mengalami digitalisasi beberapa kali dari lembaga berbeda. Pemilik naskah biasanya bersedia, tetapi kejadian seperti itu berpotensi menimbulkan kerusakan. (Munawar Holil )
”Kasus yang sering terulang adalah manuskrip tertentu mengalami digitalisasi beberapa kali dari lembaga berbeda. Pemilik naskah biasanya bersedia, tetapi kejadian seperti itu berpotensi menimbulkan kerusakan,” ujarnya.
Menyebarnya sumber-sumber penyimpanan, kata Munawar, sering kali disertai dengan format data yang beragam. Kasus seperti ini biasanya dikeluhkan saat ada riset.
Sekretaris Umum Manassa Pramono mengatakan, di tingkat pemerintah daerah sering kali tidak mengetahui data jumlah dan judul manuskrip yang telah ataupun belum berhasil didigitalkan. Sementara praktik jual-beli naskah kuno dan faktor bencana alam yang sewaktu-waktu kerap terjadi.
Kalaupun telah berhasil didigitalkan, utilisasi manuskrip di daerah masih kurang. Misalnya, saat ini terdapat lebih dari 400 judul manuskrip digital Minangkabau, tetapi baru puluhan judul yang dimanfaatkan untuk riset ilmiah, lalu disimpan di perpustakaan.
”Manuskrip mengandung pesan keragaman budaya. Dalam UU No 5/2017, manuskrip termasuk salah satu obyek pemajuan kebudayaan. Utilisasi manuskrip digital bisa beraneka bentuk, seperti keperluan diplomasi lintas negara,” kata Pramono.
Filolog manuskrip Sunda Aditia Gunawan berpendapat senada. Tujuan utama digitalisasi manuskrip adalah memudahkan akses dan utilisasi. Namun, kemudahan mengakses saat ini tidak disertai dengan utilisasi yang maksimal.
Dia mengakui bahwa kebanyakan pemanfaatan manuskrip digital adalah riset, lalu dipublikasikan berbentuk media cetak. Ini kembali menyulitkan akses serta utilisasi yang lebih bernilai tambah.
Manuskrip berwujud digital bisa dipakai untuk keperluan materi industri kreatif. Perpustakaan Nasional RI kini telah mendigitalkan dan menyimpan lebih dari 2.000 judul naskah kuno. Beberapa di antaranya telah dikembangkan jadi komik dan film animasi.
Senada dengan pandangan Munawar, Aditia juga mengatakan, urgensi metadata manuskrip yang secara teknis punya format sama. Hal ini akan memudahkan akses dan pertukaran data.
”Di luar negeri, humaniora semakin berkembang dengan penyesuaian-penyesuaian di era digital. Selain akselerasi utilitas, pembicaraan internasional telah mengarah kepada kode etik dan hak kekayaan intelektual,” ujarnya.