Pelestarian naskah kuno di Sumatera Barat, yang berusia ratusan tahun, mendesak dilakukan karena menghadapi ancaman kerusakan. Digitalisasi menjadi salah satu pilihan untuk melestarikan isi naskah.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asiaatau Dreamsea mendigitalisasi naskah kuno koleksi tiga surau di Kabupaten Solok dan Kota Solok, Sumatera Barat. Upaya mengabadikan naskah dalam format digital itu sebagai antisipasi rusaknya naskah akibat termakan usia ataupun risiko ancaman lainnya.
Ketiga surau yang koleksi naskahnya didigitalisasi adalah Surau Parak Pisang dan Surau Cupak di Kabupaten Solok serta Surau Latiah di Kota Solok. Total naskah kuno yang bakal dialihmediakan itu sekitar 110 naskah dengan puluhan ribu halaman. Digitalisasi berlangsung sekitar sebulan pada 14 Juli-12 Agustus 2020.
”Naskah secara fisik berpotensi rusak atau hilang, baik karena termakan usia, bencana, maupun dimakan serangga. Sebelum itu terjadi, kami selamatkan dulu isinya dengan digitalisasi,” kata Manajer Data Dreamsea Muhammad Nida Fadlan ketika dihubungi dari Padang, Rabu (15/7/2020).
Dreamsea merupakan program yang bertujuan melestarikan naskah Asia Tenggara yang dalam kondisi terancam rusak (endangered) karena alasan apa pun dan memiliki nilai penting (affected) dalam konteks masyarakat Asia Tenggara. Program ini berlangsung pada 2017-2022.
Program tersebut dilaksanakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan Centre for the Study of Manuscript Cultures (CSMC) University of Hamburg Jerman atas dukungan Arcadia Fund, lembaga filantropi asal London, Inggris.
Nida melanjutkan, digitalisasi naskah kuno ini merupakan yang kedua kali dilakukan di Sumbar. Pada 22 Maret 2019 hingga 19 April 2019, digitalisasi dilakukan terhadap naskah kuno koleksi Surau Simauang, Kabupaten Sijunjung. Total ada 88 naskah atau 21.175 halaman naskah yang dialihmediakan.
Dalam digitalisasi di tiga surau di Solok, Dreamsea bekerja sama dengan Jurusan Sastra Minangkabau Universitas Andalas, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) cabang Sumbar, UIN Imam Bonjol Padang, dan IAIN Batusangkar. Kegiatan dimulai dari Surau Parak Pisang, Nagari Sumani, Kecamatan X Koto Singkarak.
Sekretaris Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara Pramono mengatakan, dalam dua hari pertama kegiatan, sudah dua naskah yang didigitalisasi dengan total sekitar 1.200 halaman. Tim sedang dalam pembersihan manuskrip sebelum melakukan alih media.
Menurut Pramono, naskah-naskah kuno koleksi ketiga surau ini ditulis sekitar abad ke-19 dan ke-20. Naskah berisi teks tentang keagamaan, sejarah, sastra, pengetahuan tradisional (pengobatan), dan sebagainya.
Hampir seluruh naskah di Minangkabau dalam kondisi yang mencemaskan akibat ancaman kerusakan.
Pramono melanjutkan, hampir seluruh naskah di Minangkabau dalam kondisi yang mencemaskan akibat ancaman kerusakan. Upaya pelestarian, salah satunya dengan digitalisasi, perlu segera dilakukan.
”Naskah-naskah yang ditemukan sekarang (di Surau Parak Pisang) dalam kondisi bagus, masih dibaca, dan kertasnya utuh, tetapi terus mengalami kerusakan karena umurnya sudah ratusan tahun. Naskah-naskah yang ditemukan sudah rusak pun cukup banyak. Upaya digitalisasi mendesak dilakukan. Kita sedang berkejaran dengan kerusakan naskah yang terus berlangsung,” kata Pramono.
Pramono menjelaskan, kerusakan naskah dipicu oleh berbagai faktor, yaitu fisiologis (fisik dan usia naskah), mekanis (bencana alam dan benda lain), dan biologis (serangga dan mikroorganisme lain). Selain itu, ketidaktahuan pemilik naskah tentang cara merawat dan menyimpan naskah juga mempercepat kerusakan naskah.
Kondisi tersebut, lanjut Pramono, diperparah dengan sikap peneliti naskah di Indonesia yang lebih mementingkan teks daripada persoalan preservasi dan konservasi naskah. Oleh karena itu, diperlukan temuan model yang dapat menjadi acuan untuk pelestarian (preservasi) dan penyelamatan (konservasi) naskah-naskah koleksi masyarakat di Sumatera.
Pramono menambahkan, selain di Sijunjung dan Solok, koleksi naskah kuno juga terdapat di beberapa surau di Kabupaten Pasaman, Pesisir Selatan, dan Kabupaten Agam. Naskah-naskah tersebut ke depannya juga perlu segera dilestarikan agar tidak punah.
Menurut Nida, umumnya naskah kuno di Sumbar ditulis pada abad ke-18 hingga ke-20 dan banyak ditemukan di surau-surau. Periode waktu itu seiring dengan masa kejayaan surau di Minangkabau.
Repositori digital
Nida menjelaskan, sejak 2018, Dreamsea sudah mendigitalisasi sekitar 2.329 manuskrip dengan total 129.554 halaman dari 57 pemilik di Asia Tenggara. Hingga 2022, Dreamsea memiliki target mendigitalisasi sekitar 250.000 halaman manuskrip di seluruh Asia Tenggara.
Naskah dialihmediakan itu diunggah ke perpustakaan/repositori digital milik Dreamsea dan bisa diakses siapa pun secara gratis. ”Naskah bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti akademik dan pelestarian budaya,” kata Nida.
Dreamsea juga membantu pemilik naskah dalam membersihkan naskah serta mendampingi dan mengadvokasi cara perawatan naskah. Pemilik naskah yang didigitalisasi, kata Nida, juga mendapatkan salinan digital naskah dalam hard disk yang diberikan Dreamsea.
Kata Nida, dalam upaya digitalisasi naskah, Dreamsea menunggu laporan dari masyarakat. Syarat naskah yang didigitalisasi adalah terancam rusak (endangered) dan isinya penting (affected). ”Kalau ada masyarakat yang punya informasi keberadaan naskah dan isinya penting, mari kita lestarikan. Kami bantu secara gratis,” ujar Nida.
Keberadaan naskah, lanjut Nida, merupakan bukti masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara sebagai masyarakat terpelajar. Naskah di Indonesia mulai semarak ditulis sekitar abad ke-16 hingga abad ke-20. Jadi, sejak lima abad lampau, masyarakat Indonesia sudah memiliki tingkat intelektual tinggi karena sudah menulis dan melek huruf.
Masyarakat juga bisa belajar dari teks yang terdapat di dalam naskah kuno. Nida menyebutkan, banyak di antara manuskrip yang ditemukan berisi catatan peristiwa, seperti wabah dan gempa. Dari catatan itu, masyarakat bisa belajar tentang bagaimana masyarakat zaman dulu bisa beradaptasi dengan wabah dan gempa.
”Isi teks naskah yang ditemukan beragam. Semua aspek kehidupan manusia ada di manuskrip. Tidak hanya urusan keagamaan. Hal-hal bersifat remeh, seperti catatan hutang dan catatan kelahiran anak, semuanya ada. Jadi, zaman dulu tidak hanya masyarakat kalangan atas yang menulis, tetapi sampai ke kalangan bawah,” kata Nida.