Pemerintah Rumuskan Syarat Menjadi Guru Besar dan Lektor Kepala
Pemerintah berkomitmen mengeluarkan peraturan terkait penyesuaian persyaratan jabatan akademis lektor kepala dan guru besar. Hal ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Merdeka Belajar untuk pendidikan tinggi.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah merumuskan regulasi terkait penyesuaian persyaratan jabatan guru besar dan lektor kepala. Kebijakan ini diambil sebagai tindak lanjut pelaksanaan kebijakan Merdeka Belajar untuk pendidikan tinggi.
Direktur Sumber Daya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Sofwan Effendi di sela-sela sosialisasi program Dosen Penggerak, Senin (9/11/2020), di Jakarta, mencontohkan bentuk penyesuaian persyaratan adalah hasil riset yang sudah dialihgunakan atau dipakai oleh masyarakat. Contoh bentuk lainnya adalah karya kepakaran yang digunakan pasar.
Penelitian dan menuliskan hasilnya tetap wajib bagi dosen. Penyesuaian persyaratan guru besar yang sedang kami matangkan peraturannya harus dilihat bahwa kami mendorong dosen masuk ke ranah praktis. (Sofwan Effendi)
”Penelitian dan menuliskan hasilnya tetap wajib bagi dosen. Penyesuaian persyaratan guru besar yang sedang kami matangkan peraturannya harus dilihat bahwa kami mendorong dosen masuk ke ranah praktis,” ujarnya.
Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru besar ataupun profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Untuk menduduki jabatan akademis itu, dosen harus memiliki kualifikasi doktor. Di universitas, institut, dan sekolah tinggi, pengangkatan guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebutan guru besar ataupun profesor hanya berlaku selama individu bersangkutan masih aktif sebagai pendidik di perguruan tinggi. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 46 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya, guru besar/profesor harus memiliki ijazah doktor, paling singkat tiga tahun setelah menerima ijazah doktor, karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi, dan memiliki pengalaman kerja sebagai dosen minimal 10 tahun.
Sementara kenaikan jabatan akademis dosen jadi lektor kepala, sesuai Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 46/2013, memiliki dua syarat utama. Pertama, ijazah doktor atau yang sederajat harus memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional yang terakreditasi. Kedua, ijazah magister atau yang sederajat harus mempunyai karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional yang terakreditasi.
”Kenyataan lain yang kami sadari juga adalah persyaratan wajib karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional terakreditasi susah terpenuhi meskipun persyaratan itu wajib. Sekitar 86,4 persen riset yang diajukan mesti mengulang, baik faktor dari pengelola jurnal maupun substansi penelitian dosen,” ujar Sofwan.
Saat bersamaan, lanjut dia, melalui kebijakan Merdeka Belajar, dosen harus memenuhi indikator kinerja umum berupa berkegiatan di luar kampus. Perguruan tinggi dituntut memenuhi indikator praktisi industri mengajar di kelas. Mereka bisa mengembangkan penelitian dan karya kepakaran lainnya dengan menggandeng mahasiswa ataupun mitra.
Selain itu, melalui kebijakan Merdeka Belajar episode Kampus Merdeka, perguruan tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa mengambil satuan kredit semester (SKS) sebanyak dua semester atau setara 40 SKS di luar kampusnya. Lalu, mahasiswa berhak mengambil SKS di program studi lain dalam kampus sebanyak satu semester dari total semester yang harus ditempuh. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menuntut dosen-dosen bergerak memfasilitasi hak mahasiswa tersebut, seperti mendampingi dan membimbing, mulai dari awal perencanaan hingga realisasi.
”Maka, kami menamakannya sebagai program dosen penggerak. Seluruh dosen di satu perguruan tinggi bisa menjadi penggerak. Meski demikian, kami berharap, pada masa awal penerapan kebijakan Merdeka Belajar, sekitar 30 persen dosen dan mahasiswa terlibat,” kata Sofwan.
Dia menambahkan, penyesuaian persyaratan dan ketentuan penilaian administrasi menjadi guru besar akan tertuang dalam peraturan yang kini masih dirumuskan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi terus berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Harapannya, peraturan terkait penyesuaian persyaratan bisa segera ditetapkan.
Mengutip Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Kemendikbud, jumlah dosen laki-laki yang aktif mencapai 166.679 orang, sedangkan dosen perempuan yang aktif 129.061 orang. Dilihat dari sisi jenjang pendidikan tertinggi, jumlah dosen aktif berlatar magister tercatat 207.586 orang, strata satu 30.612 orang, doktor 42.825 orang, diploma empat 2.313 orang, spesialis (sp-1) 3.093 orang, profesi 2.431 orang, dan tanpa jenjang 5.844 orang.
Memotivasi dosen
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro saat dihubungi terpisah mengatakan, penyesuaian persyaratan dan penilaian jadi guru besar atau profesor sudah seharusnya segera dilakukan. Penyesuaian akan mengakomodasi sejumlah dosen yang memiliki karya-karya bukan melulu berbasis karya ilmiah, melainkan punya nilai tambah tinggi.
”Kebijakan itu memberikan peluang dosen semakin berkembang sesuai hasrat dan keahliannya. Dosen yang rajin dan tekun berkarya akan diuntungkan,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Budi Djatmiko mengatakan, di luar negeri, persyaratan menjadi guru besar atau profesor didasarkan pada portofolio, riset, dan karya inovasi. Ketiga syarat ini bersifat pilihan dan sudah lama berjalan di negara-negara lain.
Setiap dosen berbeda karakter dan hasrat (passion). Sebagai gambaran, ada dosen tertentu memiliki hasrat suka meneliti sehingga jam mengajar di kelas menjadi sedikit. Ada juga dosen yang mempunyai hasrat riset tertentu dan menghasilkan produk untuk dipatenkan.
Budi memperkirakan, persentase dosen yang menduduki jabatan guru besar berkisar 2-3 persen. Persyaratan administratif menjadi guru besar cenderung rumit. Di luar karya ilmiah yang diterbitkan jurnal internasional bereputasi, ada kriteria teknis lain yang cenderung menyulitkan dosen. Ada pula anggaran yang harus pemerintah keluarkan untuk sertifikasi.
”Guru besar atau profesor bisa dikatakan penghargaan kepada dosen. Ada beberapa dosen tertentu yang memilih tidak mengejar penghargaan itu dan memilih terus menghasilkan karya inovasi atau riset. Ada pula beberapa orang peduli dengan penghargaan itu,” ujarnya.
Menurut Budi, kebijakan Merdeka Belajar membawa konsekuensi praktisi atau profesional dari industri semakin banyak mengajar di perguruan tinggi. Pemerintah semestinya telah memikirkan cara pengelolaan dan apresiasi kepada mereka.
Sebagai sebuah penghargaan, dia memandang sudah saatnya penyesuaian persyaratan dan mekanisme administratif lainnya terkait guru besar ataupun profesor dilakukan. Apalagi, pemerintah menginginkan banyak inovasi baru bermunculan.