Pembelajaran jarak jauh membuat perundungan yang selama ini terjadi di sekolah rawan berpindah ke dunia maya. Dampaknya akan lebih berat pada korban, dan pelaku pun lebih berpotensi mengulangi perbuatannya.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penutupan sekolah dan pembelajaran dilakukan secara jarak jauh efektif menjaga jarak sehat pada komunitas sekolah dari paparan Covid-19. Namun di sisi lain ada hal yang tidak dapat dijaga jarak sehatnya di masa pandemi ini, yaitu perundungan.
Kasus perundungan yang selama ini terjadi di sekolah saat pembelajaran tatap muka, kini mendapat tempat di dunia maya. Penggunaan gawai dan akses internet yang meningkat termasuk untuk berinteraksi dengan teman sebaya, berkorelasi pada kasus perundungan siber (cyberbullying).
“Saya menangani dua kasus perundungan siber, anak-anak itu (korban) sudah mengalami perundungan saat sekolah tatap muka. Ketika pandemi (sekolah ditutup), pelaku melanjutkannya di dunia maya. Anak ini (korban) mengunggah foto, di-bully, apapun postingan dia jadi bahan celaan,” kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Pendidikan Retno Listyarti ketika dihubungi, Kamis (5/11/2020).
Selama ini pun kasus perundungan di sekolah merupakan fenomena gunung es, lebih banyak yang tidak dilaporkan.
Kasus yang ditangani Retno saat ini memang hanya dua, tetapi kasus riil yang terjadi bisa jadi banyak dan tidak dilaporkan. Sejauh ini belum ada laporan penelitian mengenai perundungan siber selama pandemi di Indonesia. Selama ini pun kasus perundungan di sekolah merupakan fenomena gunung es, lebih banyak yang tidak dilaporkan.
Laporan Global Education Monitoring (GEM) 2019 dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menyebutkan, 21 persen (sekitar 2,7 juta) anak usia 13-15 tahun di Indonesia terlibat perundungan di sekolah pada 2009-2012. Sedangkan laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) tahun 2015 menyebutkan, 40 persen anak Indonesia mengalami perundungan di sekolah.
Secara global, berdasar data GEM 2019, satu dari 10 siswa mengalami perundungan di dunia maya (perundungan siber). Di masa pandemi ini, dengan banyak siswa menghabiskan waktu untuk mengakses internet, perundungan siber diperkirakan meningkat.
Laporan L1ght, perusahaan rintisan yang menangani toksisitas daring, ujaran kebencian di antara anak-anak dan remaja meningkat 70 persen sejak pembelajaran daring (observatory.tec.mx, 20/10).
Sebelum pandemi satu dari lima anak usia 10-18 tahun di Amerika Serikat menjadi korban kekerasan melalui dunia maya. Survei terhadap 500 orangtua di AS oleh Security.org menunjukkan, 21 persen responden menyatakan anak-anak mereka dilecehkan secara siber, dan 56 persen di antaranya melaporkan terjadi perundungan enam bulan terakhir.
Lebih berat
Dibandingkan perundungan secara langsung, perundungan siber bisa berdampak lebih berat atau parah pada korban. Dengan sifat internet yang sangat terbuka dan masif, perundungan siber bisa mendorong orang lain (netizen) turut melakukan perundungan terhadap korban. Semakin lama dan masif perundungan, luka psikologis korban bisa lebih lama dan lebih sulit disembuhkan.
“Untuk pelaku, itu bisa memberikan kepuasan yang lebih besar karena efeknya yang masif dan jangka panjang. Pelaku juga lebih sulit dikendalikan karena tidak melihat langsung dampaknya pada korban, moral dan nuraninya menjadi kurang tergerak. Ini bisa mendorong dia (pelaku) melakukan lagi,” kata Debrie Pristinella, dosen Psikologi Pendidikan Universitas Katolik Atmajaya Jakarta.
Menurut Retno, sekolah harus dilibatkan untuk menyelesaikan kasus perundungan siber yang dilakukan maupun dialami siswanya. “Dalam kasus yang saya tangani, sekolahnya (korban dan pelaku) sama. Saya libatkan sekolah untuk menyelesaikan ini supaya nanti kalau (sekolah) tatap muka tidak terjadi balas dendam,” kata dia.
Adapun untuk mengantisipasi dan mengatasi perundungan siber, menurut Retno, guru bimbingan konseling (BK) harus dilibatkan. Guru BK harus diberi kesempatan mengadakan pertemuan dengan siswa secara daring untuk memberikan literasi digital, termasuk terkait edukasi mengenai apa itu perundungan siber serta dampak dan konsekuensinya.
“Sebaiknya ada sesi curhat bagi anak-anak, sekolah bisa juga mengundang psikolog. Pembelajaran jarak jauh ini sudah memberi tekanan pada anak-anak, apalagi jika terjadi perundungan,” kata Retno.