”Homeschooling”, Diakui Undang-Undang, Diragukan di Lapangan
Sekolah rumah atau ”homeschooling” membawa semangat menguatkan kembali orangtua sebagai pendidik utama anak. Keberadaannya bukan untuk menandingi layanan pendidikan formal.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengakui praktik sekolah rumah atau homeschooling. Namun, kenyataannya, hingga sekarang pengakuan legal itu belum berjalan optimal sampai ke tingkat daerah.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan, setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. UU ini mengakui pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan formal diselenggarakan institusi sekolah. Pendidikan nonformal dilaksanakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, ataupun pelengkap pendidikan formal.
Adapun pendidikan informal, sesuai UU No 20/2003, diselenggarakan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) Anastasia Rima menjelaskan, jika mengacu pada ketentuan perundang-undangan itu, negara mengakui kemerdekaan proses anak memperoleh pendidikan dari sekolah rumah. Kelulusan anak dianggap setara oleh negara, apabila mereka ikut ujian yang ditunjuk pemerintah.
Hal yang diwajibkan (negara) adalah ujian, bukan proses pendidikan. Namun, keberadaan kami (sekolah rumah) di masyarakat masih sering dianggap harus diformalkan.
”Hal yang diwajibkan (negara) adalah ujian, bukan proses pendidikan. Namun, keberadaan kami (sekolah rumah) di masyarakat masih sering dianggap harus diformalkan,” ujarnya saat menghadiri Konferensi Sekolah Rumah 2020, Kamis (5/11/2020), di Jakarta.
Peraturan pemerintah daerah yang mengakui legalitas proses pendidikan dari sekolah rumah belum banyak. Dia mencontohkan Peraturan Pemerintah Daerah Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2018 yang isinya membolehkan peserta didik pada jenjang pendidikan dasar pindah jalur dari informal ke nonformal atau formal setelah mendapat pengakuan hasil belajar dari lembaga yang ditetapkan pemerintah. Peraturan ini berdampak positif terhadap pelaku sekolah rumah meskipun realisasi pelaksanaan belum maksimal.
Selain itu, sejumlah orangtua masih banyak salah kaprah memaknai hakikat sekolah rumah yang ingin menguatkan kembali keluarga sebagai pendidik utama. Misalnya, mereka hanya fokus memberikan akademik sama seperti sekolah formal tanpa peduli minat bakat anak.
Di tingkat pemerintah pusat, Anastasia memandang terjadi inkonsistensi kebijakan. Misalnya, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 129 Tahun 2014 tentang Sekolah Rumah mengamanatkan peserta homeschooling masuk ke pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) agar mendapat pengakuan.
Berdasarkan data Asah Pena, saat ini terdapat sekitar 40 komunitas pelaku sekolah rumah. Komunitas berfungsi sebagai ruang memahami bersama pedagogi pendidikan dan saling membimbing antarpelaku.
Ketidakpuasan terhadap sekolah
Dosen Pendidikan Masyarakat Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Elih Sudiapermana, mengatakan, perkembangan sekolah rumah di dunia cenderung meningkat tajam. Fenomena ini ditengarai oleh ketidakpuasan terhadap sekolah formal karena kegiatan dan gurunya dipandang tidak memperhatikan perbedaan potensi ataupun permasalahan peserta didik secara individual.
Menurut dia, ada pula perkembangan penelitian mengenai orangtua yang memegang peran utama sebagai guru, motivator, dan fasilitator pembelajaran berpengaruh kuat terhadap pembentukan karakter dan prestasi anak. Sekolah rumah memiliki kelebihan untuk mengembangkan kemandirian anak belajar karena orangtua punya ruang gerak yang lebih leluasa.
”Apabila masih terjadi dikotomi proses pendidikan anak, amanat UU No 20/2003 berarti perlu dikuatkan kembali,” kata Elih.
Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbud Samto menegaskan, pemerintah bukan mengatur kelangsungan sekolah rumah, melainkan mengakomodasi pelakunya. Pemerintah melalui Kemendikbud telah mengembangkan modul kurikulum nasional yang substansinya disesuaikan dengan konteks pendidikan kesetaraan.
”Jika mutu lulusannya mau diakui, mereka harus mengikuti norma yang berlaku. Ujian kesetaraan bagi pelaku sekolah rumah di Indonesia mengacu ke standar kompetensi yang terangkum di kurikulum nasional,” ujarnya.
Samto mengatakan, penanganan diskriminasi dan pengotak-ngotakan proses pendidikan formal, nonformal, dan informal memerlukan kerja bersama. Dia mengakui, sebagian besar pejabat dari tingkat pusat sampai daerah adalah lulusan layanan pendidikan formal. Kemerdekaan proses belajar belum dipahami secara menyeluruh.