Diskusi penyiaran di RUU Cipta Kerja menonjolkan kepastian batas waktu migrasi analog ke digital yang akan diatur di peraturan pemerintah. Substansi ini perlu didalami, juga ketentuan penyiaran lainnya dalam RUU itu.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan transformasi sistem penyiaran menuju digital perlu memperhatikan realitas kondisi di lapangan. Pelaku industri, pegiat penyiaran, dan pemerintah perlu kembali duduk bersama membahas kajian.
Pasal 72 Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang telah disahkan DPR berbunyi beberapa ketentuan dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengalami perubahan. Ketentuan dalam Pasal 16, 25, 33, 55, 57, dan 58 diubah. Pasal 16 menyangkut lembaga penyiaran swasta, Pasal 25 lembaga penyiaran berlangganan, Pasal 33 tentang perizinan, Pasal 55 terkait sanksi administratif, serta Pasal 57 dan 58 mengenai ketentuan pidana.
Pasal 34 dinyatakan dihapus di RUU Cipta Kerja. Dalam UU NO 32/2002, pasal ini mengatur ketentuan izin penyelenggaraan perizinan tetap, perpanjangan izin penyelenggara tetap, kewajiban ikut uji coba masa siaran sebagai persyaratan dapat izin penyelenggara tetap. Lalu, pelarangan pindah tangan izin penyelenggara tetap, pencabutan, dan akhir masa izin penyelenggara tetap.
Kemudian, Pasal 72 RUU Cipta Kerja juga menambahkan satu pasal, yaitu 60A di antara Pasal 60 dan 62 UU No 32/2002. Pasal 60A Ayat (1) berbunyi, penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital.
Pasal 60A Ayat (2) berbunyi, migrasi penyiaran televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan penghentian siaran analog (analog switch off) diselesaikan paling lambat dua tahun sejak mulai berlakunya UU Cipta Kerja.
Pasal 60A Ayat (3) berbunyi, ketentuan lebih lanjut mengenai migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) diatur dalam peraturan pemerintah.
Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) periode 2019-2022 Syafril Nasution mengatakan, kehadiran RUU Cipta Kerja tidak bisa ditolak. Hanya saja, pelaksanaan ketentuan tersebut harus memperhatikan kondisi stasiun televisi yang sudah ada.
Kondisi mereka kini ’berat’ karena terdampak pandemi Covid-19. Kalau harus melaksanakan RUU Cipta Kerja, kondisi mereka semakin ’berat’. Ditambah lagi, saat ini, belum banyak masyarakat mengetahui dan paham penghentian siaran analog. (Syafril Nasution)
”Kondisi mereka kini ’berat’ karena terdampak pandemi Covid-19. Kalau harus melaksanakan RUU Cipta Kerja, kondisi mereka semakin ’berat’. Ditambah lagi, saat ini, belum banyak masyarakat mengetahui dan paham penghentian siaran analog,” ujar Syafril saat menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Senin (2/11/2020), di Jakarta.
Menurut dia, jumlah rumah tangga di Indonesia saat ini diperkirakan 77 juta. Sebagian besar di antaranya belum mempunyai perangkat televisi pendukung siaran digital.
Pengurus Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI) Mochamad Riyanto mengatakan, ATVNI mendukung digitalisasi penyiaran. ATVNI tidak keberatan dengan ketentuan 60A RUU Cipta Kerja. Pemirsa keluarga bisa menikmati langsung siaran. Namun, pemerintah perlu mempertimbangkan nasib pemirsa yang sampai sekarang belum menggunakan perangkat televisi digital.
”Tantangan pemerintah adalah pemenuhan perangkat televisi digital,” katanya.
Menurut Mochamad, saat ini, pelaku industri televisi berusaha memenuhi tanggung jawab mendistribusikan informasi akurat penanganan dan pencegahan pandemi Covid-19. Semua pelaku industri tidak mengeluh serta selalu mengusahakan modal berkembang.
Ketua Umum KPI Pusat Agung Suprio mengatakan, migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital akan mendatangkan beberapa keuntungan. Misalnya, diversifikasi konten dan dividen digital spektrum.
”Jika tidak ada aral melintang, migrasi ataupun transformasi sistem penyiaran ke digital selesai pada 2022. Bangsa kita telah tertinggal dalam hal teknologi penyiaran,” ujarnya.
Bersamaan dengan pelaksanaan amanat RUU Cipta Kerja itu serta proses revisi UU No 32/2002 yang masih berjalan, Agung berharap KPI dapat terlibat lebih banyak. Sebagai contoh, kewenangan KPI mengalami konten penyiaran bertambah, terutama dalam hal pengawasan konten.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Widodo Muktiyo menyampaikan, digitalisasi penyiaran bermanfaat untuk mengejar dividen digital spektrum serta keragaman konten, bahkan dari kreator kecil.
Dia menegaskan, RUU Cipta Kerja memberi kepastian kegiatan usaha penyiaran dan pelaksanaan tenggat waktu migrasi sistem penyiaran analog ke digital. Kini, pemerintah sedang membangun mekanisme kerja migrasi.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan, revisi UU No 32/2002 nantinya menjadi rujukan desain sistem industri penyiaran nasional. KPI Pusat dan Daerah ikut mengawal proses pembahasan revisi.
Berbeda
Secara terpisah, Ketua Bidang Penyiaran Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bayu Wardhana mempunyai pandangan berbeda. Sejak awal RUU Cipta Kerja dibahas, AJI dan Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) menilai pembahasannya tidak transparan dan tidak partisipatif melibatkan publik. Ketika sudah disahkan DPR, ada beberapa perubahan pasal terkait penyiaran yang membuat penyiaran semakin jauh dari demokratis dan sebenarnya tidak ada hubungan langsung dengan penciptaan lapangan kerja.
Dengan dihapuskannya Pasal 34 UU No 32/2002 di RUU Cipta Kerja, KPI tidak lagi menjadi lembaga yang mengeluarkan rekomendasi untuk sebuah perizinan. Dikembalikannya atau pemusatan wewenang ke pemerintah juga membuat peran KPI semakin tidak jelas. Padahal, dulu semangat pembentukan KPI untuk merepresentasikan publik dan lembaga negara untuk urusan penyiaran, bukan lembaga pemerintah.
Menurut dia, RUU Cipta Kerja juga hanya memberi kepastian hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang sebelumnya tercantum di UU No 32/2002. Sebagai contoh, substansi izin penyiaran bisa diperjualbelikan. Pasal 34 UU No 32/2002 dihapuskan yang artinya menghilangkan ayat yang melarang izin penyiaran tidak boleh diperjualbelikan. Praktik jual beli izin sudah sering dilakukan pebisnis televisi ataupun radio, meskipun ini melanggar UU No 32/2002 Penyiaran. Dengan UU Cipta Kerja, praktik seperti itu sah dilakukan.
Terkait pasal 60A RUU Cipta Kerja, kata Bayu, migrasi digital yang masih diperdebatkan single mux atau multimux tidak lagi dibahas di UU, tetapi akan diatur peraturan pemerintah. Padahal, migrasi digital bukan semata alih teknologi, melainkan menentukan lanskap bisnis televisi yang seharusnya dibahas di tingkat UU.