Proses politik di DPR terkait penyiaran ini telah berorientasi pada kebijakan politik pasar yang menguntungkan monopoli dan memperbesar intervensi negara, tetapi justru menafikan kepentingan publik.
Oleh
FATHORRAHMAN HASBUL
·5 menit baca
Persetujuan untuk mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja oleh DPR memicu reaksi, bahkan resistensi dari masyarakat luas. Sektor perburuhan atau ketenagakerjaan adalah salah satu yang paling banyak disoroti. Di luar sektor ketenagakerjaan, UU ini sesungguhnya juga bias terhadap sejumlah sektor lain, salah satunya dalam sektor penyiaran. UU Penyiaran tampak ”dipangkas” sedemikian rupa.
Beberapa aturan dalam UU ini telah membonsai tumbuhnya demokratisasi penyiaran yang selama ini telah menjadi cita-cita bersama. Kritik keras, antara lain, dilontarkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). AJI menilai draf UU Cipta Kerja yang disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang pada 5 Oktober lalu menghambat proses demokratisasi penyiaran.
Alih-alih memperkuat hak publik dalam lanskap penyiaran di Indonesia, draf tersebut justru mengebiri secara pelan peran-peran publik dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang sebetulnya saat ini masih sangat terbatas.
AJI menilai draf UU Cipta Kerja yang disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang pada 5 Oktober lalu menghambat proses demokratisasi penyiaran.
Beberapa masalah yang disorot di antaranya terkait ketentuan UU yang memperbolehkan penyiaran jaringan bersiaran nasional secara total. Hal ini tentu saja sangat kontraproduktif karena televisi nasional atau yang kerap kita sebut sebagai televisi jaringan wajib menayangkan sedikitnya 10 persen siaran lokal atau sekitar 2,4 jam dari total siaran nasional dan kemudian sedikitnya 60 persen untuk radio (P3 dan SPS Pasal 68 Ayat 1) serta 30 persen dari total tersebut ditayangkan saat prime time.
Faktanya, nyaris tidak ada televisi jaringan di Indonesia yang menjalankan amanat ini. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, jika merujuk pada data hasil pemantauan KPID antara 2014 dan 2019, rata-rata siaran lokal televisi jaringan hanya memenuhi durasi 20 menit hingga 2 jam, padahal seharusnya 2,4 jam per hari (10 persen) (Rahayu, 2019).
Aturan yang kemudian memasung proses lokalisme dalam dunia penyiaran ini sejatinya telah menghambat proses pemrograman acara yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat lokal. Padahal, kehadiran konten-konten lokal berperan dalam memfasilitasi publik untuk melakukan pertukaran gagasan di tingkat lokal.
Namun, ketika UU tersebut menafikan lokalisme, maka sesungguhnya telah mencederai semangat demokratisasi penyiaran itu sendiri.
Media demokratis
Dalam sebuah negara demokratis, berbeda dengan media cetak, media penyiaran memiliki aturan yang jauh lebih ketat. Kebijakan dalam dunia penyiaran harus menjamin konsep keadilan dan keterbukaan, baik bagi masyarakat sebagai pengguna jasa penyiaran maupun bagi pelaku penyiaran, termasuk di dalamnya muatan konten lokal dan keberagamannya (Masduki, 2007).
Dalam sebuah negara demokratis, berbeda dengan media cetak, media penyiaran memiliki aturan yang jauh lebih ketat.
Media penyiaran demokratis memiliki tiga corak utama (Dominick, 2001). Pertama, ia harus independen dari campur tangan pemerintah dan monopoli pasar. Independensi ini murni berpijak pada kepentingan masyarakat luas. Kedua, mempunyai pertanggungjawaban profesional terhadap masyarakat secara umum.
Ketiga, menjamin keberagaman, baik dari sisi konten maupun kepemilikan. Dengan demikian, ketika tayangan tersebut menafikan siaran lokal, sesungguhnya telah menghambat proses pertanggungjawaban profesional penyiaran kepada publik perihal hak publik mendapatkan konten siaran lokal secara lengkap dan ekstensif.
Pada titik yang berbeda, masalah lain muncul ketika regulasi itu menempatkan peran KPI yang dipangkas dalam kaitannya dengan proses perizinan. Pasal 34 yang mengatur soal peran KPI dalam urusan perizinan penyiaran dihilangkan. Dihapusnya pasal tersebut juga menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran, yaitu 10 tahun untuk televisi dan 5 tahun untuk radio. Larangan izin penyiaran juga dipindahtangankan kepada pihak lain sehingga monopoli siaran akhirnya bersifat ”kekal” dipegang oleh korporasi yang itu-itu saja.
Lagi-lagi, aturan ini tentu saja menyalahi konsep demokratisasi penyiaran. Salah satu demokratisasi penyiaran adalah dia harus bersih dari campur tangan monopoli pasar yang terlalu ofensif.
Masalah kepemilikan ini merupakan salah satu simpul yang utama serta menjadi indikator dari cacatnya sebuah transformasi dunia penyiaran. Monopoli siaran perlu diatur karena gelombang elektromagnetik bersifat terbatas sehingga tidak bisa dimonopoli oleh korporasi tertentu. Semangat ini sesungguhnya untuk menempatkan kembali media penyiaran sebagai bagian dari eksistensi masyarakat tanpa kemudian mengabaikan kepentingan bisnis di dalamnya.
Masalah kepemilikan ini merupakan salah satu simpul yang utama serta menjadi indikator dari cacatnya sebuah transformasi dunia penyiaran.
Kebijakan politik pasar
Masalah krusial lain adalah adanya aturan dalam UU Cipta Kerja yang memberikan wewenang migrasi digital sepenuhnya kepada pemerintah. Aturan ini tentu saja sangat problematik karena seharusnya diatur dalam undang-undang, bukan peraturan menteri.
Digitalisasi praksisnya lebih layak dan proporsional dimasukkan dalam konteks UU Penyiaran.
Di titik ini, pemerintah tidak berdiri untuk menguatkan UU Penyiaran dengan semakin memperluas akselerasi dan peran KPI, tetapi justru ia semakin mempersempit ruang gerak KPI sebagai lembaga negara independen yang ajek, yang kemudian hanya terkonsentrasi pada televisi analog.
Padahal, persoalan migrasi digital tidak sebatas alih teknologi, tetapi juga perubahan tata kelola penyiaran yang jauh lebih kompleks. Ketika pemerintah melakukan ini, maka jelas bahwa ia hendak melakukan intervensi dalam urusan-urusan penyiaran.
Di sisi lain, UU Cipta Kerja juga mengubah sejumlah aturan, seperti menghapus sanksi pidana larangan iklan rokok dan minuman keras. Hal ini tentu saja cukup problematis karena persoalan standar pelanggaran siaran sudah cukup jelas termaktub dalam P3 dan SPS. Aturan ini seharusnya mengilhami sebuah bangunan UU yang jauh lebih baik dalam urusan sanksi dengan menerapkan standar seberat-beratnya bagi lembaga penyiaran yang nakal.
Tampaknya proses politik di DPR terkait penyiaran ini telah berorientasi pada kebijakan politik pasar (market political policy) yang menguntungkan monopoli dan memperbesar intervensi negara, tetapi justru menafikan kepentingan publik untuk mendapatkan informasi sebagaimana amanat konstitusi dalam UUD 1945 Pasal 28F.
Fathorrahman Hasbul, Peneliti Media dan Komunikasi Politik; Alumnus Magister Ilmu Komunikasi UGM.