Keterlibatan pelajar dan mahasiswa dalam aksi unjuk rasa menyuarakan pendapat terhadap regulasi menuai pro kontra. Perbedaan pandangan tersebut semestinya disikapi secara positif.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aksi unjuk rasa pelajar dan mahasiswa memprotes Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menuai pro dan kontra. Ada yang beranggapan mereka sebatas ikut-ikutan bersuara, tetapi ada pula yang menilai aksi tersebut bagian dari gerakan anak muda menyampaikan gagasan serta kepedulian terhadap masa depan negara.
Fatiha Khoirotunnisa Elfahmi, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa (BEM Rema) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) 2020, mengatakan, dirinya bersama sesama mahasiswa ikut unjuk rasa bukan karena ikut-ikutan. Dia turut berdemonstrasi dengan kesadaran penuh untuk mengkritik pembahasan RUU Cipta Kerja yang tidak transparan.
Menurut dia, sejak Februari 2020, BEM Rema UPI menggelar beberapa kali diskusi membedah RUU Cipta Kerja. Salah satu hal yang mereka kritik saat itu adalah hilangnya frasa ”nirlaba” dalam pengelolaan pendidikan. Setiap kali ada diskusi, Fatiha mengaku mencoba mengundang legislator, tetapi mereka enggan.
Ketika ada imbauan rektorat untuk menjaga suasana kampus kondusif, lalu menyuarakan kritik lewat media daring, banyak mahasiswa menjadi takut mengalami persekusi. Saat demonstrasi beberapa hari lalu, lima dari sekitar 500 mahasiswa yang ikut berdemonstrasi ditahan polisi.
Kami turun ke jalan bukan ikut-ikutan. Kami bergabung dengan pekerja/buruh yang selama ini sudah tertindas dengan peraturan.(Fatiha Khoirotunnisa Elfahmi)
”Kami turun ke jalan bukan ikut-ikutan. Kami bergabung dengan pekerja dan buruh yang selama ini sudah tertindas dengan peraturan,” ujarnya saat menghadiri acara ”Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Edukasi: Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Kampus”, Minggu (18/10/2020), di Jakarta.
Budi Nurdiyanto, Menteri Luar Negeri Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Negeri Semarang 2020, menyampaikan pandangan senada. Saat memutuskan ikut unjuk rasa, kelompok mahasiswa seperti dirinya memikirkan masa depan setelah lulus dan UU Cipta Kerja sudah berlaku.
Dia menyadari banyak warga menyorot keterlibatan pelajar dan mahasiswa saat demonstrasi RUU Cipta Kerja semata-mata reaktif. Sejumlah media massa bahkan berpandangan senada. Dia menyayangkan hal itu. Menurut dia, warga dan media massa semestinya membantu menekankan pembahasan yang bermasalah.
”Kami tahu bahaya Covid-19. Kami turut demonstrasi karena kami berusaha merawat integritas kampus. Kampus menjadi penerang di tengah peradaban, bukan malah menjadi bagian politik praktis,” katanya.
Faisal Rahman, siswa SMA Labschool Jakarta, meyakini ada sejumlah pelajar hanya ikut-ikutan unjuk rasa mengkritik RUU Cipta Kerja beberapa waktu lalu. Perilaku mereka seperti itu bisa digolongkan mob mentality atau mentalitas ikut-ikutan. Hal itu tidak terlalu berbahaya meskipun perilaku itu belum benar.
Menurut Faisal, pelajar tidak memahami utuh RUU Cipta Kerja tidak bisa disebut malas. Ada berbagai macam faktor yang memengaruhi, seperti lingkungan mereka tidak mendukung dan kurang berkecukupan informasi.
”Argumen kebanyakan warga agar anak muda, seperti pelajar dan mahasiswa, tidak usah ikut-ikutan berpendapat soal RUU Cipta Kerja itu salah kaprah. Apakah kami anak muda tidak boleh memikirkan masa depan kami? Para pelajar dan mahasiswa nantinya juga akan masuk dunia kerja,” tutur Faisal.
Paham konteks
Marzuki Alie, Rektor Universitas Indo Global Mandiri, menyampaikan, kebebasan berpendapat dan berekspresi diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga tidak melarang sivitas akademika berpendapat.
Saat peristiwa unjuk rasa mengkritik RUU Cipta Kerja beberapa waktu lalu, dia mengetahui sejumlah mahasiswanya ikut. Dia mengimbau mahasiswa untuk mengantisipasi bahaya Covid-19.
”Sejak awal, saya percaya mahasiswa tidak mau ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu. Mereka tahu konteks ikut turun ke jalan dan unjuk rasa. Mereka paham letak masalah, yaitu ketidaktransparan pembahasan,” ujarnya.
Marzuki meyakini mahasiswa sadar akan perjalanan masa depan. Mereka dipastikan sudah memiliki gambaran setelah lulus, seperti kondisi pasar kerja dan peran anak muda untuk pembangunan.
”Kekhawatirannya bukan menyangkut isu pendidikan, melainkan menyangkut kluster-kluster lain dalam RUU Cipta Kerja dan bagaimana dampaknya terhadap kehidupan generasi muda mendatang,” katanya.
Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru Satriwan Salim mengatakan, lulusan sekolah menengah, terutama SMK, menjadi salah satu penyumbang angka pengangguran tertinggi di Indonesia. Ketika sejumlah pelajar paham konteks RUU Cipta Kerja, mereka dipastikan akan memikirkan pengaruh regulasi itu terhadap masa depan mereka.
Dari kejadian unjuk rasa mengkritik RUU Cipta Kerja beberapa waktu lalu, saat sejumlah pelajar ikut serta, Satriwan memandang semestinya siswa tersebut dibina, bukan diancam dan diperlakukan secara represif seperti kasus beberapa pemerintah daerah yang mengeluarkan gertakan.
Selama ini, pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pencegahan Keterlibatan Peserta Didik dalam Aksi Unjuk Rasa yang Berpotensi Kekerasan. Dalam poin 1 huruf d disebutkan, sekolah bisa melaksanakan kegiatan pembelajaran yang dapat menyalurkan pemikiran kritis, bakat, dan kreativitas masing-masing.
Lalu, dalam poin 2 disebutkan, kepala dinas provinsi dan kabupaten/kota memberikan pendampingan dan pembinaan kepada peserta didik yang terdampak dalam aksi unjuk rasa.
”Hal lain yang harus disorot adalah kesadaran pelajar saat terlibat unjuk rasa. Apakah ada orang lain, seperti guru, memprovokasi atau tidak?” katanya.
Satriwan berpendapat, kesadaran kritis harus selalu muncul di ruang belajar antara pendidik dan peserta didik. Dialog dua arah harus berlangsung secara merdeka karena ini bagian dari proses demokrasi. Ini juga berlaku dalam konteks RUU Cipta Kerja.
Tidak melarang
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam mengatakan, dalam surat imbauan yang ia keluarkan pada 9 Oktober tidak tertulis kata larangan unjuk rasa. Selama proses pembahasan RUU Cipta Kerja, dia kerap menerima masukan sivitas akademika, lalu dia teruskan ke Badan Legislasi DPR. Beberapa rapat Badan Legislasi terbuka dan bisa diikuti.
Pascademonstrasi mengkritik RUU Cipta Kerja, Nizam menerima laporan sekitar 123 mahasiswa positif Covid-19. Sekitar 34 orang di antaranya berasal dari Jakarta.
Dia menyayangkan kejadian tersebut. Pada saat bersamaan, dia mendapat laporan, pada tahun ini ada sekitar 300.000 sarjana baru, tetapi jumlah lapangan kerja yang tersedia hanya mampu menampung sekitar 10.000 orang.
”Cita-cita bersama kita adalah sejahtera. Menciptakan lapangan kerja butuh investasi. Sementara negara kita dikenal banyak pungutan liar yang menyulitkan investasi masuk,” kata Nizam.
Nizam menyampaikan, Kemendikbud sudah meluncurkan program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka yang memungkinkan mahasiswa magang, belajar di luar kampus, pertukaran ke program studi lain, pengabdian ke desa, dan penelitian. Pemerintah pun telah menyiapkan skema pendanaan untuk riset. Program itu seharusnya bisa lebih dimanfaatkan optimal oleh sivitas akademika.