Menjadi lanjut usia tak menghalangi mereka tetap bekerja. Uang tidak selalu jadi perkara utama. Keinginan untuk mewujudkan eksistensi diri juga menjadi kebutuhan lansia.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
Barangkali mimpi sebagian besar warga Ibu Kota sudah tergenggam di tangan Rikun (62). Sebut saja rumah di Jakarta, anak yang sudah mandiri, atau menapakkan kaki di Tanah Suci. Walakin, Rikun enggan memarkir gerobak mi ayamnya di rumah sepanjang hari.
Uap dari panci menguar saat Rikun membuka tutupnya. Tangannya yang mulai berkerut tetap terampil menjaring mi yang sudah tanak. Sekejap saja mi berpindah ke mangkuk-mangkuk yang sudah dibubuhi bumbu. Tak lupa potongan ayam menjadi pasangan yang sempurna.
Di masa pandemi ini, pembeli yang singgah ke gerobak mi ayam Rikun tidak sebanyak sebelumnya. Akan tetapi, ia enggan menikmati hari tua di rumah. Transferan rupiah dari kedua anaknya yang sudah bekerja pun tidak menghentikan langkah untuk menanti pembeli mi ayam di Jalan Kemanggisan Raya, Palmerah, Jakarta Barat.
Gerobak mi ayam itu saksi bisu jatuh-bangunnya Rikun. Mangkuk demi mangkuk menghidupi keluarganya. Sekolah kedua anaknya hingga jenjang sarjana pun terbiayai dari racikan tangan Rikun. Begitu pula susunan batu bata rumahnya yang terbangun dari kesetiaan Rikun menantikan pembeli.
”Saya tidak mau menjalani masa tua hanya dari anak-anak. Selama masih sehat, saya akan terus bekerja,” ujar kakek satu cucu ini, Kamis (15/10/2020) siang.
Di masa pandemi ini, pembeli yang singgah ke gerobak mi ayam Rikun tidak sebanyak sebelumnya. Akan tetapi, ia enggan menikmati hari tua di rumah. Transferan rupiah dari kedua anaknya yang sudah bekerja pun tidak menghentikan langkah untuk menanti pembeli mi ayam di Jalan Kemanggisan Raya, Palmerah, Jakarta Barat.
Pak Tua asal Kebumen, Jawa Tengah, ini masuk ke Jakarta tahun 1970. Berbekal ijazah sekolah dasar, ia memulai karier sebagai karyawan restoran dengan gaji Rp 5.000 sebulan. Setelah 10 tahun menjadi anak buah orang, dia memutuskan berdikari.
Tahun 1980, pedagang mi ayam belum sebanyak sekarang. Bagi Rikun, ini masa panen. Dia bisa menghabiskan 10 kilogram mi per hari. Ditakar dengan kondisi hari ini, 10 kg mi pada masa itu setara dengan omzet Rp 1 juta.
Tiga tahun menjelang Soeharto lengser dari kepemimpinan nasional, tabungannya sudah menumpuk. Dia pun membeli rumah seluas 50 meter persegi di Kemanggisan Ilir, Palmerah, seharga Rp 18,5 juta.
”Setelah beli rumah, masih ada sisa tabungan Rp 12 juta. Uangnya saya gunakan untuk beli sawah di Kebumen seluas 136 ubin. Sawah itu sekarang digarap oleh tiga orang, adik dan dua kakak istri saya,” ujarnya.
Masa kejayaan ada batasnya. Setelah Reformasi, lanjutnya, penghasilan sebagai pedagang mi tergerus. Jika biasanya menghabiskan 10 kg mi per hari, kini Rikun cuma bisa menghabiskan 2 kg mi. Situasi ini tak berubah hingga saat ini.
Namun, dia masih bisa menyisihkan penghasilan sedikitnya Rp 1 juta per bulan. Tahun 2016, dia dan istri berangkat umrah. Ini pertama kalinya dia naik pesawat dan mengurus paspor. ”Kalau ngurus paspor, harus punya tiga kata di nama. Saya bingung waktu itu karena nama saya cuma satu kata. Akhirnya saya tambahkan nama bapak dan kakek. Jadi di paspor nama saya Rikun Sawirja Slamet, ha-ha-ha,” kenangnya.
Tak hendak menanti ajal
Selain Rikun, ada Abdurahman (79) yang bekerja sebagai juru parkir di Pasar Palmerah. Struktur tulang punggungnya sudah bengkok. Pendengarannya tak berfungsi baik. Tak jarang, lawan bicara mesti berteriak di telinganya.
Dia tinggal bersama salah satu anaknya di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Pria asal Makassar, Sulawesi Selatan, ini memiliki empat anak. Empat cucunya juga sudah bekerja. Baik anak maupun cucunya bolak-balik melarang Abdurahman bekerja. Namun, pria berdarah Bugis ini punya pandangan lain.
”Kalau di rumah saja, mau ngapain, nunggu mati? Mending di pasar, banyak yang bisa dilihat. Saya memang sudah tua, tetapi alhamdulillah gigi belum banyak yang copot,” ujarnya sambil memamerkan giginya yang kuning itu.
Di Pasar Palmerah, dia meniup peluitnya tak kurang dari 10 jam. Dari peluh yang menetes di antara pukul 08.00-18.00 itulah Abdurahman mengantongi Rp 50.000. Uang sebenarnya bukan masalah baginya. Keturunannya rutin mencukupi jajannya.
”Bukan soal uangnya, tetapi kerjaan saya apa kalau di rumah saja. Saya juga sehat. Paling sakit kepala,” tambahnya.
Cita-cita yang menyemangati
Rakimin (60) masih setia menjual es potong di Jalan Kebon Jeruk Baru, Jakarta Barat. Bekerja membuatnya tetap sehat di usia senja. ”Dorong gerobak terus tiap hari, gimana enggak sehat,” katanya setengah berkelakar.
Merantau, lanjut Rakimin, bukan hal aneh lagi bagi orang di kampungnya, Klaten, Jawa Tengah. Di sana, memiliki lahan garapan sendiri adalah kemewahan. Dia dan keluarga tak punya kemewahan itu.
Tahun 1980, ia nekat melajukan gerobaknya di kota. Tahun demi tahun terlampaui hingga mereka menyandang predikat lanjut usia. Namun, usia hanya angka. Mereka enggan berhenti. Begitu pula Rakimin. ”Teman saya umurnya sudah 70 tahun, tapi dia tetap mencari nafkah di Jakarta,” ucapnya.
Dari berjualan es potong ditambah penghasilan istri sebagai buruh konfeksi di Klaten, mereka mampu menguliahkan anak semata wayang. Kini, sang anak menjadi pegawai honor di salah satu institusi pemerintah di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Usia pun tak menghentikan seseorang menyimpan cita-cita. ”Saya akan masih bekerja hingga cukup modal untuk bikin usaha di kampung. Rencananya mau ternak kambing,” ujar Rakimin.
Kisah Rikun, Abdurahman, atau Rakimin terselip di antara warga Indonesia. Cerita tentang semangat para lansia bakal terus menggema seiring fase penduduk menua yang tengah ditapaki Indonesia.
Populasi menua ditandai dengan jumlah penduduk lansia yang angkanya lebih dari 10 persen dari total jumlah penduduk.
Menurut Statistik Penduduk Lanjut Usia 2019, Indonesia memiliki 25,64 juta lansia berumur lebih dari 60 tahun atau 9,6 persen dari total jumlah penduduk. Lansia sehat dan ekonominya baik dianggap sebagai landasan terbaik karena mereka bisa mandiri dan produktif (Kompas, 15/10/2020).
Penyanyi Iwan Fals dalam lagu ”Pak Tua” bercerita tentang pak tua yang terkena sakit jantung, ginjal, encok, dan rentan masuk angin. ”Pak Tua sudahlah. Engkau sudah terlihat lelah. Oh, ya...,” demikian Iwan.
Namun, ketiga lansia di atas menolak menyerah. Mereka tetap bekerja sampai batas terjauh yang dimungkinkan oleh tubuh mereka yang kian ringkih.