Ribuan Pelajar di NTT Belum Mendapatkan Kuota Data Gratis dari Pemerintah
Masih ada ribuan pelajar di Nusa Tenggara Timur dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas yang belum mendapatkan kuota data internet gratis dari pemerintah untuk belajar dalam jaringan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Masih ada ribuan pelajar di Nusa Tenggara Timur dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas yang belum mendapatkan kuota data gratis dari pemerintah untuk belajar dalam jaringan. Sejumlah siswa terpaksa tetap belajar secara luar jaringan agar bisa mengikuti kegiatan belajar dari sekolah.
Menurut Ketua Dewan Pendidikan NTT Simon Riwu Kaho, di Kupang, Selasa (13/10/2020), hingga kini ribuan siswa SD-SMA atau sederajat di NTT belum mendapat paket data itu. Hal ini terjadi karena keterlambatan laporan data siswa dan nomor ponsel siswa serta karena keterbatasan tenaga untuk entri data pokok pendidikan siswa.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kupang Dumul Djami membenarkan masih cukup banyak siswa SD-SMP di Kota Kupang belum mendapat kuota internet itu.
”Benar mereka belum mendapatkan kuota data itu. Pemerintah masih memasukkan data pokok pendidikan (dapodik) siswa, baik SD maupun SMP atau sederajat. Proses masih berjalan, maka siswa dan orangtua mohon bersabar. Informasinya bantuan paket data ini sampai Desember 2020,” kata Djami.
Kepala Sekolah Dasar Inpres Liliba Kota Kupang Yohanes Tukan, di Kupang, Selasa (13/10/2020), mengatakan, dari 980 pelajar di sekolah itu, baru 685 yang sudah mendapat paket data. Tahap pertama 30 siswa, kedua 160 siswa, dan ketiga 495 siswa. Semuanya dikirim pada Oktober 2020.
Benar mereka belum mendapatkan kuota data itu. Pemerintah masih memasukkan data pokok pendidikan siswa, baik SD maupun SMP atau sederajat. Informasinya bantuan paket data ini sampai Desember 2020. (Dumul Djami)
Sampai hari ini masih ada 295 siswa belum mendapatkan paket data untuk Oktober 2020. Dapodik setiap pelajar sudah dikirim ke Jakarta, lengkap dengan nomor ponsel setiap siswa. ”Kalau ada yang tidak beres, misalnya nomor ponsel salah atau tidak digunakan lagi, akan keluar tanda merah pada nama siswa itu. Sebaliknya, jika sudah benar akan muncul centang hijau,” kata Tukan.
Ia mengatakan, sebelum kegiatan belajar daring di rumah, para siswa dan orangtua sudah bertemu di sekolah. Mereka mendapat penjelasan mengenai aplikasi Google Classroom dari sekolah. Ada siswa atau orangtua siswa cepat memahami, tetapi ada pula yang lambat.
Belajar luring
Jika sampai di rumah mengalami kesulitan, mereka akan lapor ke sekolah agar bisa belajar melalui luar jaringan (luring). Mereka bisa mengambil bahan dari sekolah untuk disalin, belajar di rumah, kemudian siswa secara berkelompok didatangi guru untuk mendapatkan penjelasan. Selama belajar tatap muka, semua yang hadir wajib mematuhi protokol kesehatan, yakni jaga jarak dan pakai masker.
Pelajar mendapatkan paket data dari pemerintah 30 GB, setara dengan Rp 75.000 per siswa per bulan. Sementara guru-guru 50 GB atau Rp 100.000 per orang. Namun, baru satu guru PNS yang mendapatkan paket data dari 25 guru PNS. Total guru di sekolah itu 70 orang.
Ia berharap 295 dan 24 guru yang belum mendapatkan paket itu segera terealisasi. ”SD Inpres Liliba merupakan SD favorit di Kota Kupang saja belum semuanya mendapatkan paket data internet tersebut, apalagi SD lain,” katanya.
Kepala Sekolah Dasar Fatubena Kota Kupang Marthen Missa mengatakan, jumlah siswa SD di pinggir Kota Kupang itu 175 orang, semuanya belum mendapat kuota data. Karena kesulitan paket data, semua siswa di sekolah itu belajar secara luring.
Hal serupa disampaikan Agus Boelan, guru SD Inpres Belo yang juga di pinggir Kota Kupang. Dari 557 siswa di sekolah itu, semuanya belum mendapatkan paket data. Data siswa dan nomor ponsel sudah dikirim ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kupang.
Berhubung sekolah dasar di pinggir Kota Kupang sebagian besar belum mendapat paket data, maka sekolah menerapkan belajar luring. Cara ini juga untuk mencegah penyebaran Covid-19 dan tidak semua siswa serta orangtua paham soal belajar daring.
”Kalau ada paket data pun belum tentu ada ponsel pintar atau komputer jinjing atau laptop. Paling dalam satu keluarga hanya satu ponsel pintar sehingga jika ada 2-3 anak dalam keluarga belajar daring, itu sulit,” ujar Boelan.
Sekolah di pinggiran Kota Kupang selama ini menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar secara luring. Siswa datang mengambil bahan di sekolah, menyalin (fotokopi), dan belajar di rumah. Jika ada kesulitan, mereka menghubungi guru melalui telepon, kemudian didatangi guru.
Kepala Sekolah Menengah Pertama 11 Kota Kupang Warmansyah mengatakan, jumlah siswa keseluruhan 930 orang. Pihak sekolah telah membangun kerja sama dengan Telkomsel dan XL. Dua operator telekomunikasi ini memberikan nomor kartu perdana kepada siswa kelas VII sebanyak 137 orang secara gratis.
Sementara nomor ponsel siswa kelas VIII dan IX baru dimasukkan dalam data pokok pendidikan siswa untuk dikirim ke Jakarta. ”Kerja sama dengan Telkomsel dan XL itu hanya promosi kartu perdana kepada 136 siswa, selanjutnya mereka mendapatkan paket data dari Jakarta untuk belajar daring,” katanya.
Ia mengatakan, sampai saat ini belum ada keluhan dari siswa atau orangtua siswa mengenai paket data itu. Kemungkinan para siswa telah menerima paket data internet tersebut.
Tahap pertama
Wakil Kepala Bidang Kurikulum SMAN Adonara Tengah, Flores Timur, Thomas Arakian mengatakan, jumlah siswa sekolah itu 210 orang, yang sudah mendapatkan paket kuota internet tahap pertama 63 siswa, sisa 147 siswa belum mendapat paket kuota. Jumlah 147 siswa itu mengikuti belajar secara luring.
Ia mengatakan, sekolah di pedalaman, seperti Adonara, mengadapi berbagai kesulitan di tengah pandemi Covid-19 ini. Dari 25 guru yang ada, hanya 5 guru PNS. Sisanya 20 guru, termasuk Thomas Arakian, adalah guru honor komite.
”Kami guru komite juga kesulitan mendapatkan honor karena orangtua siswa pun tidak mendapatkan uang secara rutin di tengah pandemi Covid-19 ini. Dua bulan terakhir honor guru 20 guru komite Rp 300.000-Rp 700.000 per bulan, belum diterima. Hasil pertanian dan perkebunan orangtua siswa, anggota komite sulit dipasarkan. Dengan kondisi ini, sulit bagi guru honor mengajar dengan tenang,” kata Thomas.