Meski ada peningkatan, pembelajaran jarak jauh masih jauh dari efektif. Ancaman hilang belajar pun makin nyata, apalagi jika tidak ada upaya terstruktur untuk mengoptimalkan pembelajaran jarak jauh saat ini.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Pembelajaran jarak jauh di masa pandemi Covid-19 telah membuat para guru beradaptasi melakukan pembelajaran sesuai kondisi siswa. Hasilnya, ada peningkatan cara guru mengajar, demikian pula pembelajaran menjadi lebih bervariasi meski pembelajaran konvensional masih dominan.
Cara-cara pembelajaran semakin kreatif, semakin banyak guru memberikan materi secara interaktif, dan pembelajaran berbasis proyek. Hasil survei belajar dari rumah oleh Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diterima Kompas, Senin (12/10/2020), menunjukkan hal tersebut.
Survei dilakukan secara daring pada 8-15 Agustus 2020 dengan responden 384 guru dan 384 siswa di non daerah tertinggal dan di daerah tertinggal. Survei ini membandingkan kondisi belajar dari rumah (PJJ) pada semester II tahun ajaran 2019/2020 (periode pertama PJJ) dengan kondisi pada semester I tahun ajaran 2020/2021 (periode kedua PJJ).
Hasil survei menunjukkan, antara lain, semakin banyak guru memberikan materi secara interaktif melalui media daring (dalam jaringan). Pada periode pertama PJJ sebesar 59,5, pada periode kedua PJJ menjadi 85,7 persen. Meskipun begitu, interaksi ini masih jauh dari ideal karena umumnya menggunakan media sosial.
Karena itu meski ada peningkatan cara guru mengajar, pembelajaran masih jauh dari efektif, bahkan ada siswa yang tidak belajar karena kendala akses ke teknologi digital dan kendala kondisi geografis. Hal ini berpotensi membuat siswa tertinggal atau bahkan kehilangan pengalaman belajar (lost learning), juga penurunan kemampuan belajar karena paparan kegiatan belajar yang rutin semakin berkurang.
Survei menunjukkan, rata-rata lama interaksi guru-siswa menurun dari 9,3 jam per minggu menjadi 8,5 jam per minggu. Frekuensi belajar siswa meningkat, tetapi banyak siswa tidak belajar setiap hari (lima hari dalam seminggu). Dari 384 siswa yang disurvei, hanya 59,9 persen yang belajar setiap hari, 30,1 persen belajar 2-4 hari per minggu, 6,6 persen belajar seminggu sekali, dan sisanya tak tentu.
Sebagian besar guru yang disurvei pun tidak yakin metode belajar dari rumah (PJJ) tidak membuat murid tertinggal pelajaran. Dari 384 guru, hanya 45 persen guru yang yakin bahwa metode belajar dari rumah tidak membuat murid tertinggal pelajaran.
Ditambah lagi, 56,3 persen guru di nondaerah tertinggal dan 63,6 persen guru di daerah tertinggal tidak melakukan asesmen diagnostik atau penilaian untuk mengetahui capaian pembelajaran. Selain untuk mengetahui kerugian belajar yang dialami siswa, asesmen diagnostik juga penting untuk memacu siswa memahami materi yang diajarkan guru.
Pasti ada lost learning, juga potensi putus sekolah terutama di daerah tertinggal. Di Papua banyak sekolah berasrama yang memulangkan siswa ke rumah dan tidak bisa dikontrol mereka belajar atau tidak, mungkin mereka juga tidak kembali lagi setelah pandemi ini selesai. (Irsyad Zamjani)
”Pasti ada lost learning, juga potensi putus sekolah terutama di daerah tertinggal. Di Papua banyak sekolah berasrama yang memulangkan siswa ke rumah dan tidak bisa dikontrol mereka belajar atau tidak, mungkin mereka juga tidak kembali lagi setelah pandemi ini selesai,” kata Pelaksana Tugas Kepala Puslitjak Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud Irsyad Zamjani.
Keterampilan kognitif
Dampak paling nyata, lost learning bisa membuat siswa kurang siap melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Apalagi, meski Kemendikbud meminta guru tidak mengejar target pencapaian kurikulum, kata Leo Chandra, guru SMAN 2 Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sejumlah perguruan tinggi tetap mensyaratkan calon mahasiswanya mencapai ketuntasan kurikulum.
Menurunnya bahkan hilangnya keterampilan kognitif siswa akan berdampak pada masa depan mereka, yaitu rendahnya daya saing mereka ketika memasuki pasar kerja. Tenaga kerja yang kurang terampil, berdasarkan kajian Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang dipublikasi pada September 2020 juga berimplikasi pada laju pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
Kehilangan sepertiga tahun pembelajaran efektif akibat penutupan sekolah pada periode pertama PJJ akan menurunkan produk domestik bruto (PDB) suatu negara rata-rata 1,5 persen selama sisa abad ini. Kondisi ini terjadi di hampir semua negara, dengan angka kerugian ekonomi berkisar 504 miliar dollar AS di Afrika Selatan hingga 15,5 triliun dollar AS di China. Kerugian untuk Indonesia, sekitar 2,20 triliun dollar AS.
Jika gangguannya lebih besar, apalagi sampai sekarang belum ada kepastian kapan pandemi berakhir, kerugian ekonomi juga akan bertambah secara proporsional. Karena itu, butuh tindakan sistemik dan berkelanjutan untuk meningkatkan peluang pendidikan siswa pada masa pandemi ini dan pascapandemi nanti.
Pola strategi untuk merespons kondisi ini, kata peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anggi Afriansyah, harus struktural dengan menjalankan mesin birokrasi dari pusat hingga daerah. Saat ini pola strategi masih sangat individual di sekolah-sekolah dan bergantung pada infrastruktur yang dimiliki sekolah.
Ketika sekolah sudah dibuka kembali pun, menurut kajian OECD, tidak akan menghilangkan kerugian belajar akibat penutupan sekolah jika kualitasnya masih sama sebelum sekolah ditutup. Karena itu, kebijakan ekstra harus dilakukan, terutama membantu siswa yang selama ini terkendala PJJ untuk mengejar ketertinggalan mereka.
Dukungan pemerintah harus lebih baik dan terstruktur untuk mengefektifkan guru dan mendukung metode pembelajaran sesuai kondisi siswa. Kinerja sekolah juga harus lebih baik, pada akhirnya upaya guru harus lebih keras untuk mengembalikan pembelajaran yang hilang selama penutupan sekolah.