Kekerasan seksual berbasis daring terus mengancam anak-anak, terutama anak-anak perempuan. Bahkan pada masa pandemi, anak-anak perempuan sangat rentan mengalami pelecehan di dunia maya.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Masa pandemi Covid-19, yang mengharusnya semua pihak di rumah, membuat anak-anak menjadi amat dekat dengan aktivitas daring. Kendati memiliki kebebasan berekspresi di dunia daring, anak muda, terutama anak perempuan, di Indonesia sangat rentan kekerasan berbasis jender daring. Bahkan, kekerasan seksual secara daring bisa membungkam anak-anak perempuan.
Hasil Riset Plan Internasional tentang Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang dialami anak perempuan dan kaum muda perempuan, dalam State of The World Girls Report 2020 (SOTWG), menunjukkan dampak serius dari KBGO. Sebagian besar anak mengalami ancaman kekerasan seksual.
Riset yang menyasar 14.000 anak perempuan di 31 negara, termasuk Indonesia (500 anak Indonesia), menemukan, lebih dari setengah anak perempuan yang menjadi responden atau 7.000 anak pernah mengalami kekerasan atau pelecehan secara daring.
”Satu dari empat anak perempuan responden yang mengalami pelecehan daring merasa tidak aman secara fisik. Serangan kepada identitasnya sebagai anak perempuan dan terhadap konten yang mereka angkat,” ujar Nazla Mariza, Direktur Influencing Yayasan Plan International Indonesia, Jumat (9/10/2020), pada acara #Girlstakeover2020 Webinar Perayaan Hari Anak Perempuan Internasional dengan tema ”Freedom Online: Kebebasan Berekspresi dan Terbebas dari Kekerasan Berbasis Gender Online”.
Kendati memberikan dampak amat serius, hingga kini masyarakat belum begitu peduli dengan KBGO. Aksi kekerasan oleh satu orang atau lebih kepada orang lain yang menyerang identitas jender atau seksual, atau memaksakan norma jender, dengan menggunakan internet atau teknologi seluler bisa menyasar semua orang.
Selain ancaman kekerasan dan pelecehan seksual, pencurian data, penyebaran foto atau video pornografi, KBGO juga berupa ancaman melukai, memata-matai (stalking), menghina (bullying), penghinaan fisik (body shaming), ujaran kebencian (hate speech), dan lain-lain.
Satu dari empat anak perempuan responden yang mengalami pelecehan daring merasa tidak aman secara fisik. Serangan kepada identitasnya dan terhadap konten yang mereka angkat.
Dari riset tersebut ditemukan, perempuan 27 kali lebih sering mengalami kekerasan secara daring, bahkan dari usia 15 tahun. Riset menemukan dari 500 responden anak di Indonesia, 395 anak mengalami jenis KBGO berganda, dan 15 responden mengalami seluruh jenis KBGO. Mereka umumnya sudah mengenal pelaku.
Atas hasil riset itu, Plan International memberikan rekomendasi ke berbagai pihak. Misalnya, pentingnya perlindungan hukum bagi anak dan kaum muda perempuan yang menjadi target KBGO dan menyediakan kontak darurat (helpline), dan pelatihan bagi penegak hukum tentang KBGO yang sensitif pada anak dan kaum muda perempuan. Selain itu, perlu edukasi dan kampanye ke berbagai lapisan masyarakat tentang KBGO, mekanisme pelaporan, dan perlindungan hukum.
Asisten Deputi Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) Valentina Ginting menyatakan, sejak tahun 2018, pihaknya sudah melihat fenomena kekerasan seksual nonkontak, yang terjadi dalam dunia daring, saat melakukan survei kekerasan seksual berbasis daring.
Survei menemukan hampir 35 persen anak laki-laki pernah terlibat dalam kegiatan pornografis. Sementara kekerasan seksual yang dialami anak-anak pelakunya paling adalah orang yang dikenal, bahkan 47 persen adalah teman sebaya. Untuk itu, Kementerian PPPA membuka layanan melalui pusat pangilan 129 untuk memudahkan layanan bagi perempuan dan anak.
Terkait kebebasan berekspresi di ranah daring, sebelumnya, pada 5 Oktober 2020, Plan Indonesia menggelar #Girlstakeover: Sehari Jadi Pemimpin 2020. Pada acara itu, lima anak perempuan dari sejumlah daerah yang terpilih dari 600 anak mengambil alih akun media sosial para tokoh serta menyuarakan kebebasan berekspresi di ranah daring. Kelima anak perempuan tersebut adalah Patrichia (Papua), Devie (Maluku Utara), Phylia (Nusa Tenggara Timur), Salwa (Kalimantan Timur), dan Fayanna (Jawa Barat).
Adapun akun lima tokoh yang berkomitmen memberikan ruang bagi lima anak perempuan untuk bersuara di media sosial mereka adalah Najwa Shihab (pendiri Narasi), Hannah Al Rashid (pegiat isu kesetaraan jender dan aktris), Angkie Yudistia (Staf Khusus Presiden), Muhammad Farhan (anggota DPR), dan Budiman Sudjatmiko (Ketua umum Gerakan Inovator 4.0 Indonesia).