Anak Berkebutuhan Khusus Amat Rentan Terserang Virus Korona
Penerapan protokol kesehatan amat ketat menjadi mutlak selama pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus dalam masa wabah Covid-19 (Coronavirus disease 2019) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2).
Oleh
AMBROSIUS HARTO/AGNES SWETTA PANDIA
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Penerapan protokol kesehatan amat ketat menjadi mutlak selama pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus dalam masa wabah Covid-19 (Coronavirus disease 2019) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2).
Wabah Covid-19 yang telah menjadi pandemi global menyerang Indonesia sejak awal Maret 2020. Pertengahan bulan itu sampai sekarang, pemerintah masih menutup ruang pembelajaran tatap muka di sekolah reguler, termasuk bagi anak berkebutuhan khusus.
Selain anak berkebutuhan khusus, murid dan pelajar memanfaatkan ruang maya atau internet untuk pembelajaran dengan harapan menekan potensi penularan virus korona antarmanusia. Di sisi lain, pembelajaran dalam jaringan (online) tidak bisa diterapkan kepada anak berkebutuhan khusus.
”Yang diberikan bukan pembelajaran, melainkan terapi kepada anak berkebutuhan khusus dengan penerapan protokol kesehatan amat ketat,” kata Agil Torresia, pemilik Yayasan Athalia’s Blessing, mitra sekolah penyedia guru pendamping khusus, di Surabaya, Minggu (13/9/2020).
Sebelum wabah menyerang, guru pendamping atau disebut Agil sebagai shadow teacher menemani proses belajar mengajar anak berkebutuhan khusus di sekolah sampai kampus reguler, termasuk yang inklusi. Selain itu, mendampingi secara privat di rumah dan atau terapi.
”Karena wabah, pendampingan hanya diberikan di rumah atau di tempat kami,” kata Agil.
Menurut Agil, pendampingan mutlak diberikan kepada anak berkebutuhan khusus karena situasi yang diderita. Anak-anak ini memerlukan intervensi spesifik dalam menerangkan dan mengajak mereka belajar untuk berkembang. Di masa wabah, teknik pendampingan menyesuaikan dengan protokol kesehatan meski tantangan amat berat.
Yang diberikan bukan pembelajaran, melainkan terapi kepada anak berkebutuhan khusus dengan penerapan protokol kesehatan amat ketat. (Agil Torresia)
Rata-rata anak berkebutuhan khusus awalnya sulit menerima jika guru bermasker atau berpelindung wajah. Alasannya, mereka memerlukan ekspresi wajah pendamping. Selain itu, jaga jarak benar-benar sulit diterapkan.
”Pelan-pelan, protokol kesehatan dijalankan dan setiap pekan kami jalankan tes untuk memastikan seluruh guru pendamping tidak terjangkit virus korona,” kata Agil.
Juli Gracia, pemilik AGCA Center, terapi dan sekolah anak berkebutuhan khusus, mengatakan, pendampingan terhadap mereka harus dilakukan one on one atau satu anak satu guru dalam ruangan bersirkulasi udara bagus. Pendampingan bisa di rumah atau di tempat terapi.
”Penerapan protokol kesehatan amat ketat mutlak ditempuh karena anak berkebutuhan khusus pada dasarnya sudah rentan,” kata Juli.
Memiliki penyakit
Anak berkebutuhan khusus memiliki penyakit bawaan atau komorbid. Situasi inilah yang mematikan jika tertular virus korona. Apalagi, karakteristik penularan virus korona sejauh ini kebanyakan dari orang tanpa gejala yang tidak mengeluh sakit atau asimptomatik. Jika menular ke kalangan rentan termasuk anak berkebutuhan khusus, virus korona menjadi amat berbahaya.
”Sebelum ada wabah, orangtua dan pendamping harus ekstra hati-hati. Saat ini, lebih keras hati-hatinya,” kata Juli.
Lembaga harus terus memastikan kondisi kesehatan para guru pendamping tidak terjangkit virus korona. Dengan demikian, lembaga terpaksa menjalankan tes usap secara rutin setidaknya setiap pekan. Padahal, biaya tes usap mandiri memberatkan.
”Tanpa tes, bagaimana kami bisa meyakinkan orangtua anak berkebutuhan khusus bahwa guru sehat. Di sisi lain, tanpa pendampingan, proses pembelajaran mereka sulit berkembang bahkan bisa terjadi kemunduran,” kata Julia.
Agil dan Julia berharap ada intervensi kebijakan dari pemerintah untuk membantu lembaga pendamping anak berkebutuhan khusus dalam penyediaan tes usap rutin bagi guru-guru. Dengan demikian, anak berkebutuhan khusus yang mutlak memerlukan pendampingan terjamin keamanannya dari risiko tertular virus korona dalam diri guru pendamping yang asimptomatik.
Menurut Lis Hendro Gunawan, orangtua dari Eka Dika (20), meski pandemi, anaknya rutin ke sekolah untuk belajar sekaligus menjalani terapi. Sekolah benar-benar menerapkan protokol kesehatan bagi siswa yang datang ke sekolah. Jumlahnya sangat terbatas dan jam belajar paling lama satu jam.
Ketua Dharma Wanita Persatuan Kota Surabaya yang juga mengembangkan sekolah bagi anak berkebutuhan khusus ini terus koordinasi dengan ahli kesehatan dan Pemerintah Kota Surabaya, agar sekolah khusus anak ini bisa berlangsung dengan metode tatap muka.
Syaratnya pengelola harus benar-benart mematuhi protokokol kesehatan dan orangtua pun berkomitmen tidak mengajak anak tersebut beraktivitas di tempat lain, kecuali sekolah dan rumah.