Peran Ganda Orangtua dengan Anak Berkebutuhan Khusus Selama Pandemi Covid-19
Selama pandemi, orangtua menjadi pahlawan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK), yakni dengan merangkap sebagai terapis, pendidik, dan pendamping. Sebagian besar ABK memiliki gangguan sensorik dan harus diterapi berkala.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bagi sejumlah orangtua dengan anak berkebutuhan khusus, pandemi berarti banyak hal. Salah satunya kehilangan akses melakukan terapi secara langsung. Sejumlah klinik terpaksa ditutup hingga waktu yang belum ditentukan.
Di saat inilah orangtua menjadi pahlawan super anak berkebutuhan khusus (ABK), yakni dengan merangkap tugas sebagai terapis, pendidik, serta pendamping. Sebagian besar ABK atau disabilitas memiliki gangguan sensorik dan harus diterapi berkala. Jika lama tidak terapi, perkembangan dan kondisi psikologis anak akan terpengaruh (Kompas, 4/6/2020).
Diana Magdalena (30), ibu dari ABK dengan autism spectrum disorder (ASD), mengatakan, perannya sebagai ibu, istri, dan pekerja kantoran kini bertambah. Ia mendampingi anaknya terapi virtual seminggu sekali.
”Anak diberi tugas oleh terapisnya. Lalu, kami orangtua yang membimbing anak melakukan tugas itu sambil bermain. Kegiatan terapi direkam dengan video, dikirim, lalu dinilai oleh terapisnya. Setelahnya, orangtua dan terapis melakukan panggilan video untuk evaluasi,” kata Diana saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (29/7/2020).
Pada dasarnya, menurut Diana, terapi dilakukan setiap hari di rumah sambil bermain. Orang-orang dewasa di rumah berusaha menyisipkan kegiatan serupa terapi di sela-sela aktivitas harian.
Untuk itu, sejumlah perabotan rumah tangga diubah menjadi media terapi. Bantal-bantal sofa ditumpuk agar anaknya yang berusia dua tahun bisa belajar memanjat. Matras pun ia gulung menjadi terowongan untuk dilewati anaknya.
Mendidik ABK diakuinya susah-susah gampang. Diana harus cermat mengelola emosi agar sabar dan terhindar dari stres. Kadang ia menitipkan anaknya kepada orangtua dan pengasuh di rumah untuk beristirahat sejenak.
”Orangtua perlu istirahat sejenak agar tidak stres. Saya juga beberapa kali mencuri waktu untuk me time (menikmati waktu pribadi), misalnya untuk masak, membuat kue, tidur, dan ke kantor. Sebenarnya, lebih berat mengasuh ABK dibandingkan melakukan pekerjaan kantor,” ujar Diana.
Dibantu teknologi
Primaningrum (52), ibu dari salah satu anak penyandang tunanetra, mengatakan, dirinya juga menjalani peran ganda selama pandemi. Ia kerap membantu anaknya yang duduk di bangku SMP untuk mengolah materi belajar dengan bantuan teknologi. Hanya dengan itu anaknya bisa mengikuti pelajaran dengan baik selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) daring berlangsung.
Primaningrum kerap menyalin pelajaran yang dikirimkan guru secara daring, dan menempelkannya di program Microsoft Word. Materi itu kemudian diubah menjadi audio melalui aplikasi screen reader (pembaca layar).
”Tantangannya adalah beradaptasi dengan cara belajar yang baru. Tapi, anak saya bisa mengatasinya. Tugas-tugas ia lakukan sendiri. Saya hanya membantu mengolah materi,” kata Primaningrum.
Salah satu tantangan lain, anaknya jadi membutuhkan waktu lebih lama dibanding teman-temannya untuk menyelesaikan tugas. Sebab, ia harus menunggu materi yang diberikan selesai diolah menjadi audio terlebih dulu. Kadang, anaknya terlambat mengirim tugas dari tenggat waktu yang diberi guru.
Orangtua perlu istirahat sejenak agar tidak stres. Saya juga beberapa kali mencuri waktu untuk me time.
Selain audio, Primaningrum juga membantu anaknya mencetak materi pelajaran dengan mesin cetak Braille. Selain pendampingan, menurut Primaningrum, penting juga untuk memberi pengertian ke anak soal kondisi dunia terkini.
Unicef menyatakan bahwa ada beberapa catatan untuk mendukung pendidikan bagi ABK di masa pandemi. Pertama, memberi informasi agar anak bisa memahami kondisi saat ini. Kedua, menetapkan target pembelajaran. Ketiga, kolaborasi antara orangtua dan guru. Keempat, pendampingan oleh orangtua. Kelima, mencatat setiap perkembangan yang berhasil diraih anak selama belajar di rumah.
Permintaan terapi turun
Co-Founder Sabri Learning Process, sebuah konsultan ABK berusia dini yang berbasis di Surabaya, Jawa Timur, Anggi Pratama Rinshaputri (30), mengatakan, permintaan orangtua untuk menerapi AKB menurun pada masa awal pandemi. Jumlah AKB yang ditangani sebelum pandemi sekitar 40 anak. Kini, yang ditangani hanya sekitar 20 anak.
Menurut dia, sebagian orangtua memilih untuk menerapi anaknya sendiri di rumah untuk menghindari potensi penularan Covid-19. Namun, belakangan permintaan terapi perlahan meningkat. Ini karena pemerintah melonggarkan pembatasan sosial dan bersiap menjalani normal baru.
Untuk orangtua yang ingin terapi tetap berjalan, Anggi menyediakan program home training, yaitu terapi jemput bola. Terapis akan datang ke tempat tinggal AKB dan melakukan terapi selama satu jam. Anggi mengatakan, program itu dilakukan dengan protokol ketat.
”Kami punya program home training (pelatihan di rumah). Terapis kami datang ke rumah klien dengan protokol keamanan ketat. Terapis wajib datang dengan jaket dan masker. Begitu tiba, ia wajib melepas jaket dan mengganti maskernya dengan yang baru sebelum masuk ke rumah. Setelahnya, terapis dan anak perlu mencuci tangan bersama untuk membiasakan anak terhadap perilaku hidup sehat,” kata Anggi.
Ia menambahkan, badan konsultannya juga membuat lokakarya virtual bagi para orangtua ABK. Ia juga membuat grup percakapan daring untuk saling berbagi informasi. Orangtua ABK bisa menceritakan kendala yang dialami selama mendidik anak di rumah, lalu tim Anggi akan merespons dan memberi masukan.