Betapa Pentingnya Data Akurat Kondisi Sekolah di Masa Pandemi
Sejumlah pegiat pendidikan dan kesehatan meragukan keakuratan data kondisi sekolah dan perkembangan kasus Covid-19. Keraguan ini timbul ketika kebijakan pembelajaran yang diputuskan dianggap tidak tepat sasaran.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketiadaan data kondisi satuan pendidikan dan perkembangan kasus Covid-19 yang akurat akan menyulitkan perumusan kebijakan pembelajaran yang tepat sasaran. Jika hal ini dibiarkan, hak kesehatan dan keselamatan hidup anak akan semakin terancam.
”Sebelum pandemi Covid-19, kondisi satuan pendidikan sangat beragam, bahkan dalam satu kabupaten/kota sekalipun. Ketika pandemi berlangsung, kemajemukan tersebut semakin terlihat. Penyeragaman kebijakan akan menghilangkan potensi,” ujar Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo Sitepu saat menghadiri Obrolan Kawal Episode 2: Amankah Pembukaan Sekolah Tatap Muka, Sabtu (30/8/2020) malam, di akun Youtube Cisdi TV.
Dia memandang, di tengah pandemi Covid-19, dinas pendidikan semestinya mempunyai data akurat tentang kondisi sekolah. Data akurat yang dia maksud meliputi kesiapan sarana-prasarana protokol kesehatan, profil siswa, kondisi belajar mereka, dan realitas keadaan orangtua. Data tersebut bisa dipakai untuk mereorganisasi tugas guru dan metode pembelajaran.
Kehadiran data akurat tersebut juga harus dipahami sebagai upaya mementingkan kesehatan dan keselamatan anak. Dalam situasi pandemi Covid-19, ketiadaan data yang akurat berarti semua daerah harus dimaknai sebagai zona merah Covid-19.
Pandemi bukan keadaan biasa-biasa saja. Keputusan pembukaan kembali sekolah tidak adil jika diserahkan kepada orangtua dan satuan pendidikan.
”Pandemi bukan keadaan biasa-biasa saja. Keputusan pembukaan kembali sekolah tidak adil jika diserahkan kepada orangtua dan satuan pendidikan. Dinas harus punya pemahaman cukup berdasarkan data akurat kondisi sekolah,” katanya.
Henny berpendapat, anggaran belanja pemerintah daerah sudah saatnya difokuskan untuk mengatasi persoalan yang muncul dari pemetaan data kondisi sekolah. Dia yakin, ketika hasil datanya akurat, permasalahan pembelajaran selama pandemi Covid-19 bukan semata-mata keterbatasan akses jaringan telekomunikasi seluler dan mahalnya biaya beli pulsa.
Penasihat Jender dan Pemuda untuk Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dian S Saminarsih mengatakan hal senada. WHO berkali-kali menekankan pentingnya kecukupan jumlah tes dan penelusuran penyebaran sebagai indikator surveilanspenyebaran Covid-19. Data tersebut berfungsi untuk mengetahui tingkat keganasan persebaran Covid-19.
”Apabila hasil data akurat, pemangku kepentingan di sektor lain bisa mengambil keputusan dengan tepat dan tidak menyesatkan. Sektor pendidikan, misalnya,” ujarnya.
WHO belum mengeluarkan kebijakan pembukaan dan penutupan sekolah. WHO menyerahkan hal itu kepada setiap negara. Dia mengatakan, WHO menyadari bahwa ada sejumlah negara maju yang tidak punya kendala infrastruktur jaringan akses telekomunikasi sehingga pembelajaran metode daring berjalan lancar. Sejumlah negara lain, seperti Indonesia, mengalami kondisi sebaliknya.
Dian mengatakan, WHO menganjurkan anak-anak tidak bepergian selama masa pandemi Covid-19 meskipun anak yang bersangkutan merasa sehat dan tidak punya penyakit bawaan. Ini karena anak-anak memiliki potensi menularkan dan tertular Covid-19.
Menurut dia, perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak akan memiliki peran lebih kompleks pada saat pandemi Covid-19. Mereka merupakan pengasuh utama anak meskipun ada suami.
Apabila perempuan dari kelompok itu bekerja, beban mereka semakin kompleks. Apalagi jika keluarga inti tidak punya pengasuh anak, istri dan suami harus memutuskan pembagian peran siapa yang harus tetap di rumah mengasuh dan mendampingi anak belajar.
”WHO sekarang sedang mengumpulkan ahli kesehatan dan pendidikan untuk meneliti berbagai macam isu yang terjadi selama masa pandemi Covid-19,” kata Dian.
Mengutip laman Covid19.go.id, peta sebaran per 30 Agustus 2020 menunjukkan, jumlah kasus positif yang terkonfirmasi mencapai 172.053 orang, dalam perawatan 40.525 orang, sembuh 124.185 orang, dan meninggal 7.343 orang. Jumlah terduga (suspect) mencapai 77.951 orang.
Solusi ”pemadam kebakaran”
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo juga menyampaikan urgensi data akurat profil siswa dan kondisi belajarnya selama pandemi Covid-19. Dia meyakini, banyak siswa mempunyai gawai, tetapi tidak punya kuota data seluler; lalu punya gawai, tetapi akses jaringan telekomunikasi terbatas; serta tidak punya gawai dan biaya beli paket kuota, tetapi akses jaringan telekomunikasi bagus.
”Semua anak wajib mendapat layanan pembelajaran selama masa pandemi Covid-19,” katanya.
Menurut Heru, upaya pemerintah mengalokasikan Rp 7,2 triliun untuk subsidi pulsa siswa dan guru ibarat taktik pemadam kebakaran. Petugas pemadam langsung menyiram dengan air yang banyak. Api luar langsung mati, tetapi bara di dalam masih ada.
Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Hari Nur Cahya Murni, Minggu (30/8/2020), mengatakan, revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19 yang dikeluarkan Mendikbud, Menteri Kesehatan, Menteri Agama, dan Mendagri telah mengatur kewenangan tiap kementerian/lembaga.
Dia meyakini, data pemetaan satuan pendidikan di setiap zona Covid-19 telah dimiliki Kemendikbud dan Kementerian Agama. Mengenai kesiapan protokol kesehatan di setiap satuan pendidikan, dinas kesehatan berperan memantau.
”Kami berhubungan langsung dengan kepala daerah tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota. Merekalah yang kemudian berkoordinasi dengan dinas pendidikan di daerah masing-masing,” ujar Hari.