Media Perlu Edukasi Publik, Literasi Digital Sangat Penting
Peran media dalam mengedukasi masyarakat tentang ancaman kekerasan berbasis jender daring. Tujuannya agar lebih berhati-hati ketika berinteraksi melalui media digital, supaya tidak menjadi korban.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Peserta aksi membawa tulisan tentang untuk menghentikan kekerasan seksual saat bersama buruh perempuan dari berbagai kelompok menggelar aksi memperingati Hari Perempuan Internasional di Taman Aspirasi, seberang Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (8/3/2020). Dalam aksinya mereka menyuarakan sejumlah hal terkait penyetaraan hak perempuan. Terutama penghapusan kekerasan dan pelecehan berbasis gender di dunia kerja.
JAKARTA, KOMPAS – Kendati kasus kekerasan berbasis jender melalui media digital/daring terus meningkat, hingga kini praktik kekerasan tersebut belum banyak disadari oleh masyarakat. Padahal kekerasan berbasis daring merupakan bentuk kejahatan baru dengan perantara teknologi informasi yang umumnya menyasar tubuh perempuan sebagai obyek pornografi.
Oleh karena itu peran media dalam mengedukasi masyarakat tentang ancaman kekerasan berbasis jender daring. Tujuannya agar lebih berhati-hati ketika berinteraksi melalui media digital, supaya tidak menjadi korban. Masyarakat perlu mengetahui bahwa kejahatan berbasis jender daring yang menggunakan berbagai konten seperti foto atau video secara daring akan berdampak panjang, karena jejak digital sulit dihilangkan.
Demikian rangkuman pendapat yang terungkap dalam diskusi grup fokus “Mengenali Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS)” yang digelar Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Jumat (28/8/2020) secara daring.
Komisioner Komnas Perempuan Dewi Kanti mengungkapkan semenjak tahun 2018 Komnas Perempuan menerima sejumlah laporan kasus kekerasan berbasis jender daring. Pada tahun 2018 ada 97 kasus yang dilaporkan, dan tahun 2019 meningkat menjadi 281 laporan. Bahkan pada tahun 2020, periode Januari-Mei 2020 laporan yang masuk mencapai 354 kasus.
Luasnya akses dalam dunia maya juga memungkinkan adanya pihak lain yang menjadi pelaku kekerasan, bahkan orang yang belum dikenal sebelumnya juga bisa menjadi pelaku. (Dewi Kanti)
“Jadi bentuk kekerasan yang dilaporkan cukup beragam dan sebagian besar masih dilakukan oleh orang-orang terdekat seperti pacar, mantan pacar, dan suami korban. Luasnya akses dalam dunia maya juga memungkinkan adanya pihak lain yang menjadi pelaku kekerasan, bahkan orang yang belum dikenal sebelumnya juga bisa menjadi pelaku,” papar Dewi.
Bentuk kekerasan antara lain penyebaran konten foto/video dengan cara mengirimkan atau mempertontonkan video berkaitan dengan aktivitas seksual. Pelaku biasanya mengancam menyebarkan konten-konten tersebut untuk kepentingan eksploitasi seksual, dendam, hingga penipuan.
Kompas/Priyombodo
Peserta aksi mengenakan pakaian bernada protes dalam aksi damai memperingati hari perempuan Sedunia (International Women\'s Day) 2020 bersama Aliansi Gerakan Perempuan Anti Kekerasan (Gerak Perempuan) di jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (8/3/2020). Aksi tersebut menuntut pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, dan rativikasi konvensi ILO 190 tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan dunia kerja.
Jabodetabek
Adapun korban dari laporan yang masuk ke Komnas Perempuan paling banyak berasal dari wilayah Jakarta Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Mengenai istilah kejahatan berbasis jender daring, menurut Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi hingga kini masih ada beberapa istilah yang digunakan. Ada yang menggunakan kekerasan berbasis gender online (KBGO), ada juga yang menggunakan kekerasan berbasis gender siber (KBGS).
“Ada usulan kekerasan berbasis gender digital. Ke depan kita harus menyepakati istilah-istilah yang akan digunakan,” katanya.
Dalam diskusi yang dipandu Nenden Sekar Arum dari Safenet, Amina menyatakan KBGS adalah kekerasan berbasis jender yang difasilitasi teknologi, dan merupakan kejahatan siber dengan korban perempuan yang seringkali berhubungan dengan tubuh perempuan yang dijadikan obyek pornografi. Teknologi informasi menjadi alat atau perantara bagi pelaku untuk menginjar target perempuan korban, umumnya motivasinya balas dendam. Karena itulah sangat penting literasi digital kepada publik, salah satunya dilakukan oleh media.
Adapun motivasi pelaku bermacam-macam, mulai dari balas dendam, cemburu, agenda politik, kemarahan, agenda ideologi, hasrat seksual, kebutuhan keuangan, dan menjaga status sosial. Tujuannya antara lain untuk menyakiti secara psikologi atau secara fisik, dengan perantara situs jejaring sosial, situs kencan, situs hiburan, dan komunikasi daring secara personal.