Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat, Dibutuhkan Penyikapan Cepat
Konferensi Perempuan Timur 2020 menghasilkan sejumlah rekomendasi, di antaranya agar negara hadir dan melepaskan perempuan dari kekerasan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara perlu memberikan perhatian terhadap penyelenggaraan layanan untuk perempuan korban kekerasan, terutama dalam situasi pandemi Covid-19. Kini, kerentanan perempuan akan kekerasan semakin besar dan akses keadilan semakin terkendala sehingga dibutuhkan penyikapan cepat. Selain itu, diperlukan dipertimbangkan infrastruktur pendukung agar kebijakan terkait pandemi tidak justru membebani para korban.
Kehadiran negara menjadi penting karena sinergi multipihak dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan, khususnya untuk wilayah timur, hingga masa pandemi masih menemui tantangan.
Pemerintah dan penegak hukum diharapkan serius menyikapi kondisi tersebut, di antaranya melihat potensi dan kebijakan pada instansi yang dapat menjawab tantangan dan berinisiatif dalam berkolaborasi.
Demikian suara perempuan di wilayah Indonesia timur dalam 11 Rekomendasi Konferensi Perempuan Timur (KPT) 2020, yang berlangsung secara virtual pada 26-27 Agustus 2020. Rekomendasi dibacakan Maria Filiana Tahu, Direktur Yayasan Amnaut Bife Kuan (Yabiku), Nusa Tenggara Timur, dan anggota Forum Pengada Layanan (FPL) bagi Perempuan Korban Kekerasan, pada penutupan KPT IV, Kamis (27/8/2020).
”Kementerian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) juga diharapkan dapat mengawal pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual untuk mendekatkan akses keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan,” ujar Filiana yang membacakan rekomendasi dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Ia didampingi Ketua Panitia KPT 2020 Lusia Palulungan bersama Yustina Fendritta dari Dewan Pengarah Nasional FPL.
KPT 2020 dengan tema ”Memetik Buah dari Sinergi Multipihak untuk Pembangunan Berkeadilan di Kawasan Timur Indonesia” yang dibuka Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati itu seharusnya berlangsung di Makassar. Namun, karena pandemi Covid-19, acara digelar secara virtual.
Konferensi diselenggarakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Forum Pengada Layanan (FPL) bagi Perempuan Korban Kekerasan, dan Yayasan Bakti (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia), didukung Program Mampu (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan).
Saat membuka konferensi, Menteri PPPA menyatakan, pandemi Covid-19 memberikan tantangan lain bagi perempuan, yaitu risiko peningkatan kekerasan terhadap perempuan. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA), selama 29 Februari-14 Agustus 2020 terdapat 1.988 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengan 2.017 korban. Adapun 62,67 persen merupakan korban pada kasus kekerasan dalam rumah tangga.
KPT 2020 juga merekomendasikan pentingnya penguatan sinergi pendataan kasus kekerasan terhadap perempuan oleh lembaga layanan, Komnas Perempuan, dan Kementerian PPPA agar menghasilkan potret situasi kekerasan terhadap perempuan secara nasional. Hal itu dapat menjadi rujukan untuk melahirkan program dan kebijakan yang tepat.
Sejumlah pembelajaran baik dan inovasi dari sejumlah daerah, seperti Kabupaten Timor Tengah Selatan (NTT) dan Kabupaten Maros (Sulsel), yang muncul dalam KPT 2020 juga perlu diangkat ke tingkat nasional dan direplikasi di daerah lain. Selain Kementerian PPPA, rekomendasi tersebut juga ditujukan kepada kementerian/lembaga yang terkait dengan perlindungan perempuan.
”Komnas Perempuan mendukung rekomendasi KPT 2020. Kami berharap Kementerian PPPA; Kementerian Sosial; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; serta Kementerian Dalam Negeri sebagai pihak yang disebut dalam rekomendasi tersebut dapat menindaklanjuti sehingga program pemenuhan hak perempuan dapat terpenuhi,” ujar komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang.
Lusia menyatakan, selama dua hari KPT 2020 yang diikuti secara daring oleh 1.000-2.000 peserta, tampil para pelaku pembangunan dan aktor perubahan, seperti pemerintah lokal dan pusat, organisasi masyarakat sipil, hingga penggerak komunitas di akar rumput.
Mereka berbagi dan bertukar pengalaman dan gagasan, praktik-praktik baik dan inovasi berbagai aksi kolektif, serta model pemberdayaan gerakan perempuan Indonesia timur. Mereka juga membahas pencegahan kekerasan terhadap perempuan (kekerasan seksual) serta advokasi kebijakan dan inovasi program untuk pembangunan berkelanjutan.
”Semua capaian dan pembelajaran kerja sama multipihak yang disampaikan, dibahas, dan didiskusikan dalam konferensi dapat menjadi pengetahuan dan praktik baik untuk diimplementasikan dalam kerja-kerja pemberdayaan dan dalam pengabdian di wilayah masing-masing,” kata Lusia.
Berlangsung secara daring, konferensi tersebut menjadi ajang berbagi dan bertukar pengalaman dalam empat sesi webinar. Konferensi daring tersebut juga diramaikan dengan panggung budaya yang menampilkan seni tari dan musik tradisional serta pasar karya perempuan dari Indonesia timur.