Belum Ada Solusi Matang Pembelajaran Jarak Jauh
Belum ada solusi matang mengatasi semua permasalahan pendidikan yang muncul selama pembelajaran jarak jauh di tengah pandemi Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS — Impitan ekonomi selama pandemi Covid-19 memperparah kesenjangan akses terhadap pendidikan. Penyelesaian persoalan ini membutuhkan pendekatan multidimensi.
Berdasarkan hasil survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) yang dirilis Selasa (18/8/2020), di Jakarta, sekitar 72 persen dari 2.201 responden merasa kondisi ekonomi rumah tangganya sekarang lebih buruk dibandingkan dengan sebelum pandemi Covid-19. Sekitar 20 persen responden merasa tidak ada perubahan dan 8 persen merasa lebih baik.
Sentimen negatif terhadap kondisi perekonomian mencapai 92 persen pada 12-16 Mei 2020, setelah itu menurun sampai 72 persen pada akhir Juni 2020. Kemudian, sentimen negatif kembali meningkat sampai 80 persen pada survei 5- 8 Agustus 2020.
Sampel sebanyak 2.201 responden dipilih secara acak dari koleksi sampel acak survei tatap muka yang telah dilakukan SMRC sebelumnya. Usia responden di atas 17 tahun. Jumlah ini dianggap proporsional menurut provinsi untuk mewakili pemilih nasional.
Survei dilakukan melalui sambungan telepon. Margin of error survei diperkirakan lebih kurang 2,1 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Baca juga : Salah Kaprah Pembelajaran Jarak Jauh
Manajer Kebijakan Publik Saiful Mujani Research & Consulting Tati D Wardi mengatakan, sekitar 5 persen dari total responden berstatus masih sekolah atau kuliah. Dari jumlah itu, mayoritas mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) metode daring dan mengeluhkan banyak masalah yang mengganggu belajar.
Sementara 70 persen dari total responden mengaku mempunyai anggota keluarga yang masih bersekolah atau kuliah, setidaknya satu orang. Di antara responden itu menceritakan ada anggota keluarga mengikuti PJJ metode daring dan ada pula tidak mengikuti PJJ sama sekali.
Dari semua responden yang punya anggota keluarga masih sekolah/kuliah, mayoritas menyebut merasa berat membiayai PJJ metode daring. Sekitar 47 persen di antara mereka mengeluarkan biaya beli paket data internet lebih dari Rp 100.000 per bulan untuk mengikuti PJJ metode daring.
Tati menyebutkan, dari total responden yang disurvei, sekitar 76 persen di antaranya sudah memiliki kemudahan mengakses internet dan 24 persen tidak mempunyai akses. Kemudahan mengakses internet diakui responden yang tinggal di perkotaan, seperti di DKI Jakarta dan Banten, berusia lebih muda, berpendidikan tinggi, dan berpendapatan besar.
Survei juga menemukan, sekitar 20 persen responden dengan pendapatan, pendidikan rendah, dan tinggal di pedesaan tidak memiliki kemudahan mengakses internet. Mereka termasuk kelompok warga yang mempunyai kesulitan mengikuti PJJ metode daring.
”Kelompok warga dari kelas menengah ke bawah jangan sampai semakin tertinggal pendidikan. Kebijakan yang diambil pemerintah juga berhati-hati karena harus melihat kebutuhan hak kesehatan juga,” katanya.
Pembangunan infrastruktur
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian memandang target pembangunan infrastruktur telekomunikasi semestinya lebih ambisius. Hingga sekarang, dia belum melihat keseriusan sinergi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk menyelesaikan permasalahan kesenjangan infrastruktur telekomunikasi. Padahal, infrastruktur ini prasyarat utama untuk akses kelancaran PJJ metode daring.
Pemerintah bersinergi dengan operator telekomunikasi swasta mempercepat pembangunan dengan beberapa pilihan skema yang bisa diambil, seperti kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Pemerintah juga bisa mengoptimalkan dana kewajiban pelayanan universal yang diambil dari iuran pendapatan bruto operator untuk memeratakan pembangunan infrastruktur telekomunikasi.
Upaya pemerintah daerah mencari solusi atas permasalahan kesenjangan akses infrastruktur telekomunikasi pun sporadis. Kalaupun ada, pemerintah daerah lebih cenderung membantu menyubsidi biaya beli pulsa seluler. Misalnya, Pemerintah Provinsi Kalimatan Timur.
Dia mengatakan, realitanya, jumlah warga yang tidak memiliki akses ke internet lebih besar. Survei Saiful Mujani Research & Consulting hanya menyasar responden yang bisa ditelepon.
Persoalan lain adalah kepemilikan gawai. Hetifah memandang perlunya pendataan detail mengenai persoalan itu di setiap sekolah di daerah. Dinas pendidikan sampai tingkat kabupaten/kota semestinya bisa mengupayakan pendataan, lalu disetor ke nasional.
Menurut dia, upaya pengadaan gawai secara nasional harus serius dan dieksekusi dalam waktu cepat lintas kementerian/lembaga. PJJ jangka panjang tanpa gawai membuat pembelajaran tidak nyaman.
”Survei saja belum cukup. Pendataan perlu menyasar nama dan alamat sehingga pendistribusian bantuan lebih tepat sasaran,” kata Hetifah.
Anggota Ombudsman RI, Ahmad Suaedy, secara terpisah, mengatakan, pihaknya menerima sejumlah pengaduan masalah PJJ dari orangtua murid dan guru. Pengaduan meliputi, antara lain, keterbatasan akses jaringan telekomunikasi, waktu orangtua bekerja mendampingi, dan durasi belajar antarmata pelajaran sangat padat.
Senada dengan Hetifah, Ahmad menyampaikan, Ombudsman RI menyarankan pemerintah segera menyediakan jaringan internet gratis. Pemerintah juga diharapkan menyediakan gawai yang bisa digunakan siswa ataupun guru yang amat membutuhkan selama PJJ.
Sementara itu, Manager of Institutional Research di Sampoerna University Dorita Setiawan berpandangan, pandemi Covid-19 mendatangkan masalah ganda bagi satuan pendidikan. Selain akses layanan telekomunikasi dan gawai, masalah tak kalah penting lainnya adalah kurikulum.
Baca juga : Kurikulum Darurat Tak Cukup Selesaikan Pembelajaran Jarak Jauh
Pengelola satuan pendidikan tetap perlu melatih guru ataupun dosen meskipun sudah memiliki sistem manajemen pembelajaran (LMS). Mereka dilatih agar bisa memanfaatkan LMS serta media daring lainnya untuk pendukung PJJ.
”Apa pun metode pembelajaran yang diambil sekarang memiliki risiko bagi peserta didik. Salah satu risikonya adalah psikososial, kejiwaan, dan kesehatan. Maka, kami harap pemerintah juga memetakan potensi risiko dan pendekatan solusi,” ujar Dorita.
Multidimensi
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno mengakui permasalahan selama PJJ tidak bisa diselesaikan dengan satu dimensi pendekatan. Tetap meneruskan pembelajaran dengan segala keterbatasan yang ada pun tidak akan menghasilkan keluaran yang optimal.
Dia menjelaskan, Kemendikbud telah mengeluarkan beberapa solusi. Permasalahan kesulitan finansial memenuhi kebutuhan pulsa misalnya. Kemendikbud membolehkan dana bantuan operasional sekolah dipakai sebagai solusi.
Persoalan siswa terbebani banyak tugas dari guru diselesaikan dengan mengeluarkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020. Dalam surat edaran ini, sekolah diimbau fokus pada pembelajaran bermakna, bukan mengejar ketuntasan kurikulum.
Lalu, desakan sejumlah kelompok guru agar ada kurikulum darurat diterima oleh kementerian. Kemendikbud melakukan penyederhanaan kompetensi- kompetensi dasar di Kurikulum 2013.
”Permasalahan orangtua kesulitan mendampingi anak belajar juga kami carikan solusi. Kami mengeluarkan modul pembelajaran bagi pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar,” kata Totok.
Baca juga : Belajar Daring Belum Ciptakan Ikatan Emosional Guru dengan Murid