Sudah Jatuh, Tertimpa (Beban) Paket Data
Pembelajaran jarak jauh menuntut orangtua menyediakan dua kebutuhan pokok untuk anak mereka : gawai serta paket data. Bagi sebagian orangtua, paket data seharga puluhan ribu per minggu bukan perkara mudah.

Siti Munafiah (31), saat mendampingi putranya, Ilham Maulidin (12), siswa kelas VI SD Negeri Kebon Manggis 01 Pagi, Jumat (7/8/2020).
Bagi sejumlah keluarga, pandemi Covid-19 menyisakan krisis. Saat tengah berupaya bangkit, mereka kini harus dibebani pengeluaran paket data untuk keperluan sekolah anak-anak mereka.
Ilham Maulidin (12), siswa kelas VI SD Negeri Kebon Manggis 01 Pagi Jakarta, terlihat bersemangat saat mengakses aplikasi Google Classroom di gawainya, Jumat (7/8/2020) pagi. Bagaimana tidak, layar LCD di gawai Ilham yang sebelumnya retak, kini kembali gres.
Baca juga : Simalakama Paket Data
Sejak Maret hingga Juli lalu, Ilham harus bertahan dengan gawai bekas yang dibeli oleh ibunya, Siti Munafiah (31). Gawai seharga Rp 350.000 itu dibeli dari salah satu orang tua murid. Kendati sudah retak, harga gawai itu yang paling terjangkau oleh Siti ketimbang harga gawai baru.
"Yang penting, anak nggak ketinggalan pelajaran. Dia juga gak masalah layarnya retak-retak," kata Siti saat ditemui.

Ilham Maulidin (12), siswa kelas VI SD Negeri Kebon Manggis 01 Pagi Jakarta saat memamerkan nilai Pendidikan Agama di gawainya, Jumat (7/8/2020).
Setelah menabung beberapa pekan, Siti baru sanggup membawa gawai Ilham ke tempat reparasi pada pekan lalu. Tepatnya, setelah ia mendapatkan bantuan dana dari Kartu Jakarta Pintar (KJP) senilai Rp 250.000.
"Saya sudah nabung dulu sebelumnya, kebetulan ada tambahan dari KJP. Habisnya sekitar Rp 350.000 buat ganti LCD," katanya.
Siti mengaku, pengeluarannya untuk biaya sekolah Ilham membengkak selama pandemi Covid-19. Selain membelikan gawai untuk Ilham, Siti kini juga harus memenuhi kebutuhan paket data Ilham.
Sejak Maret hingga Juli lalu, Ilham harus bertahan dengan gawai bekas yang dibeli oleh ibunya, Siti Munafiah (31). Gawai seharga Rp 350.000 itu dibeli dari salah satu orang tua murid. Kendati sudah retak, harga gawai itu yang paling terjangkau oleh Siti ketimbang harga gawai baru.
Sehari sebelum dimulainya tahun ajaran baru 2020/2021 pada pertengahan Juli lalu, Siti membelikan paket data seharga Rp 75.000 untuk Ilham di gerai selular dekat rumahnya. Paket data itu dipilih untuk memenuhi kebutuhan Ilham selama sebulan. Sayang, sesampainya di rumah, Ilham malah kesulitan mendapatkan jaringan.
Lokasi rumah Siti memang berada di tengah-tengah permukiman padat penduduk di Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Sebelum sampai ke rumah Siti, Kompas harus melewati lorong jalan selebar satu meter.
Sementara ini, demi mendapatkan jaringan, setiap pagi Ilham harus menumpang belajar di rumah neneknya yang berjarak sekitar 20 meter dari rumahnya. Siti mengaku belum memiliki uang untuk membeli paket data provider lain.

Jalan masuk menuju rumah Siti Munafiah (31) di Kelurahan Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (7/8/2020).
Sudah sekitar empat bulan ini, Siti bertindak sebagai pencari nafkah utama di keluarga. Sementara suaminya yang biasa menjadi kuli bangunan, baru mendapatkan proyek pada Kamis (6/8/2020) kemarin sehingga penghasilannya belum stabil.
Saban bulan, keluarga ini harus menyisihkan Rp 500.000 untuk sewa rumah. Rumah berbahan papan kayu yang ditempatinya bersama suami dan dua putranya tersebut memiliki ukuran sekitar 3 meter × 3 meter. Ada lagi biaya air dari tempat mandi, cuci, kakus (MCK) umum.
Setiap hari, Siti menjual makanan ringan dan minuman di depan Stasiun Manggarai. Ia berjualan mulai pukul 09.00-19.00. "Sebelum Covid-19 bisa dapat Rp 100.000. Kalau sekarang hanya Rp 20.000-Rp 50.000 sehari," katanya saat ditemui.
Menabung demi paket data
Anggraini (27), penjual minuman di Jalan KH Mas Mansyur, Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, juga harus berjuang untuk membelikan paket data bagi putrinya, Novianti (9), siswa kelas II SD Negeri Karet Tengsin 13 Pagi. Meski harus mendampingi putrinya belajar, ia tetap berjualan sejak pukul 07.00-19.00.
"Belajarnya juga di sini sambil jualan. Belum lagi ngurusin adiknya yang lari kemana-mana," katanya pada Kamis.

Anggraini (27), penjual minuman di Jalan KH Mas Mansyur, Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat saat mendampingi putrinya, Novianti (9) belajar, Kamis (6/8/2020).
Selama pandemi Covid-19, Anggraini biasa mengantongi penghasilan kotor Rp 60.000-Rp Rp 80.000 per hari. Untuk makan dan jajan anaknya, biasanya uangnya tersisa sekitar Rp 20.000. Sisa uang tersebut, kini harus ia tabung untuk membeli paket data setiap pekannya.
"Setiap hari minggu biasanya beli paket data. Kalau gak salah harganya Rp 15.000 untuk 1 Gigabyte. Itu harus dicukup-cukupin buat sepekan," ujar orang tua tunggal ini.
Sekali salah mengelola keuangan, putrinya harus bersiap ketinggalan pelajaran, seperti yang terjadi pada Senin (3/8/2020). Karena tidak bisa menabung di pekan sebelumnya, ia baru bisa membelikan paket data untuk Novianti pada Selasa (4/8/2020).
"Senin terpaksa gak ikut pelajaran. Gurunya maklum kalau masalah kuota. Kecuali kalau terlambat ngumpulin tugas," katanya.
Selama pandemi Covid-19, Anggraini biasa mengantongi penghasilan kotor Rp 60.000-Rp Rp 80.000 per hari. Untuk makan dan jajan anaknya, biasanya uangnya tersisa sekitar Rp 20.000. Sisa uang tersebut, kini harus ia tabung untuk membeli paket data setiap pekannya.
Agar bisa menggunakan paket data seirit mungkin, Anggraini selalu mematikan gawainya setelah Novianti selesai mengirimkan tugas. Apalagi, gawai bekas seharga Rp 300.000 yang ia beli sekitar empat bulan lalu itu punya baterai yang tidak tahan lama.
Sementara itu, di Jalan Banjir Kanal Tomang, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Santi (28), penjual makanan terlihat berbincang dengan Hafid (42) penjual cilor keliling. Keduanya sama-sama mengeluhkan pemakaian paket data anak masing-masing.

Santi (28), saat mendampingi putranya belajar di warung miliknya di Jalan Banjir Kanal Tomang, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Jumat (7/8/2020).
Santi yang biasanya membeli paket data seharga Rp 30.000 untuk sebulan, kini harus menyisihkan Rp 75.000 untuk paket data. "Sekarang belinya harus yang minimal 5 Gigabyte karena kan harus nonton sama ngirim video ke guru," katanya sambil mengajari putranya belajar.
Hingga kini, Santi mengaku belum pernah mendapatkan bantuan dari sekolah untuk membeli paket data. "Sejauh ini belum ada sih. Mungkin karena anak saya juga baru masuk SD bulan lalu," kata Santi yang anaknya duduk di kelas I SD.
Kiriman khusus
Sementara Hafid, penjual cilor, sepekan sekali harus mengirimkan uang kepada anaknya yang tinggal di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, khusus untuk membeli paket data. Padahal, dulu anaknya tak pernah meminta uang secara khusus untuk membeli paket data.
"Dulu pokoknya ya dikirim ke istri setiap bulan, sekalian buat uang sakunya. Sekarang ada lagi paket data setiap minggu," katanya.

Hafid (42), penjual cilor keliling saat sedang melayani pembeli di Jalan Banjir Kanal Tomang, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Jumat (7/8/2020).
Sudah tiga pekan ini, Hafid mengaku mengirim uang ke anaknya Rp 80.000 per pekan. Padahal, penghasilannya di Jakarta sedang seret. Jika sebelumnya ia bisa mendapatkan Rp 300.000 per hari, sekarang ia hanya bisa mengantongi Rp 100.000-Rp 150.000.
"Ya gimana lagi, sekolah-sekolah juga masih tutup. Jualan kayak gini ramainya kan di sekolah-sekolah," katanya.
Sebulan, tiga kali isi data
Selama empat minggu tahun ajaran baru 2020/2021, Ika (34), warga Kemanggisan Palmerah, Jakarta Barat, sudah tiga kali membeli paket data untuk putranya, Mahesa Akasa (10), siswa kelas IV SD Negeri Palmerah 23 Pagi. Dua hari lalu misalnya, ia baru membelikan paket data 14 Gigabyte seharga Rp 52.000 untuk Mahesa.
"Tadinya saya beli 14 Gigabyte untuk sebulan. Tapi belum ada seminggu udah habis. Dia pakai itu juga buat main gim," ungkapnya.

Mahesa Akasa (10), siswa kelas IV SD Negeri Palmerah 23 Pagi saat sedang belajar di hadapan ibunya, Ika (34), Jumat (7/8/2020).
Hal itu diakui Mahesa. Selain untuk belajar, ia kerap menggunakan gawai pinjaman dari ibunya tersebut untuk mengakses gim daring, Youtube, dan Tik-tok. Alasannya, ia kerap merasa jenuh di rumah. "Biasanya nonton review gim di Youtube. Kalau gim biasanya main Free Fire," katanya sambil melirik sang ibu.
Para orang tua di atas membuktikan, masih banyak cara bijak yang dapat dilakukan agar anak dapat mengikuti pembelajaran jarak jauh di tengah keterbatasan. Dengan begitu, kasus seorang ayah di Kabupaten Garut, Jawa Barat yang mencuri ponsel agar sang anak bisa mengikuti pembelajaran daring, semestinya tak perlu terulang.