Rancangan Substansi Fokus Pembelajaran Dimatangkan
Badan Standar Nasional Pendidikan mendesain fokus pembelajaran standar isi kurikulum. Salah satu tujuannya membantu guru segera mengambil keputusan fokus tindakan pembelajaran ketika situasi darurat terjadi.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Standar Nasional Pendidikan tengah mematangkan rancangan fokus pembelajaran standar isi kurikulum untuk sembilan mata pelajaran. Kesembilan mata pelajaran itu meliputi Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia, Seni-Budaya, Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan, serta Informatika.
Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Waras Kamdi, saat dihubungi, Kamis (30/7/2020) di Jakarta, menjelaskan, fokus pembelajaran atau focal points adalah pengetahuan dan keterampilan mendasar yang perlu dikuasai oleh siswa di setiap level kelas.
Lingkup materinya dipilih yang benar-benar fundamental sehingga dapat berfungsi sebagai struktur inti yang meletakkan dasar-dasar konseptual. Dengan demikian, fokus pembelajaran sekaligus bisa berfungsi mengatur hubungan antarkonten dan kohesi ke berbagai konsep serta proses belajar di setiap tingkat kelas itu sendiri ataupun tingkat berikutnya.
Prinsip fokus pembelajaran bersifat akurat, singkat, dan jelas sehingga mudah dibaca guru, siswa, orangtua, pengembang pembelajaran, dan penulis buku. Karakteristik utama fokus pembelajaran adalah menstrukturkan keseluruhan standar isi dalam level kelas ataupun antarlevel kelas. Isi utama fokus pembelajaran adalah mendeskripsikan konsep dan keterampilan yang lebih signifikan pada setiap level kelas.
Fokus pada kebutuhan fundamental belajar anak untuk mencapai standar kompetensi lulusan. (Waras Kamdi)
”Fokus pada kebutuhan fundamental belajar anak untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Semacam potret kebisaan yang harus dimiliki siswa di setiap akhir tahun belajar,” ujar Waras.
Sebagai contoh fokus pembelajaran Matematika kelas I sekolah dasar. Siswa belajar membangun pemahaman operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan cacah serta strategi penghitungannya. Siswa juga belajar membangun menyusun dan mengurai bangun geometri.
Fokus pembelajaran seperti itu berkaitan dengan proses bermatematika. Jadi, siswa kelas I sekolah dasar tidak hanya menyelesaikan soal rutin penjumlahan dan pengurangan bilangan, tetapi juga menjajaki masalah Matematika yang tersembunyi dalam konteks umum. Melalui pengalaman berhitung tentang fakta dasar, pelajar mengasah kemampuan bernalar induktif.
Waras menjelaskan, fokus pembelajaran diperlukan karena guru sering kali kesulitan menemukan segera hubungan standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar evaluasi di kurikulum. Guru tidak mudah menemukan kaitan lingkup materi tertentu dengan tingkat kompetensi minimal yang harus dicapai di level kelas tertentu. Mereka juga kesusahan mendeteksi kaitan antara pengalaman belajar tertentu dan capaian standar kompetensi lulusan.
”Dengan adanya fokus pembelajaran, guru akan lebih mudah mendesain pembelajarannya secara kreatif dan inovatif sesuai dengan kondisi kelas masing-masing. Fokus materi dan jenis pengalaman belajarnya jelas terarah. Persoalan inkonsistensi kompetensi lulusan dan standar isi teratasi,” katanya.
Waras menceritakan, BSNP juga tengah merevisi standar nasional pendidikan, termasuk standar pendidikan jarak jauh. Hal ini diharapkan akan menjadi dasar pengembangan kurikulum ke depan.
Sementara acuan fokus pembelajaran standar isi yang tengah dimatangkan sekarang adalah Kurikulum 2013. Fokus pembelajaran seperti itu juga bisa digunakan untuk pengembangan kurikulum adaptif yang sudah jadi desakan berbagai pihak pegiat pendidikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
”Jadi, bukan asal merampingkan isi kurikulum, tetapi memilih focal point standar isi beserta pengalaman belajar yang fondasional,” ujarnya.
Masa darurat
Secara terpisah, Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo memandang masa darurat Covid-19 belum kunjung usai. Kurva jumlah kasus positif Covid-19 belum juga melandai. Oleh karena itu, dibutuhkan kurikulum adaptif.
Dia lantas mencontohkan, dalam satu semester terdapat enam kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Untuk situasi darurat karena pandemi Covid-19, enam kompetensi dasar tidak harus diselesaikan semua. Kompetensi dasar dipilih yang prioritas.
Heru menceritakan, praktik pembelajaran jarak jauh sebelum tahun ajaran 2020/2021 sudah memakai metode daring. Sejumlah sekolah menerapkan praktik itu, tetapi sudah dengan pengurangan waktu tatap muka secara virtual.
”Kapasitas guru berbeda-beda. Kebijakan pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran satu lembar saja sudah membuat kebanyakan guru bingung. Maka, keberadaan kurikulum adaptif paling tidak bisa menyamakan persepsi ataupun memberikan panduan mengimplementasikan pembelajaran jarak jauh,” ujar Heru.
Ketua Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia Ahmad Taufan Damanik mengatakan, permasalahan pembelajaran jarak jauh bagi anak-anak di perdesaan mencakup keterbatasan gawai, jaringan akses telekomunikasi seluler, dan literasi perangkat teknologi edukasi. Permasalahan serupa terjadi di kawasan-kawasan kumuh di perkotaan. Anak-anak yang tinggal di kawasan itu berasal dari keluarga miskin.
Anak-anak seperti itu tinggal bersama keluarga besar mereka di rumah yang umumnya berwujud ruang sempit. Satu rumah dengan lainnya berimpitan sesak. Sebelum ada pandemi Covid-19, mereka sudah susah belajar.
Dia mengklaim, Komnas HAM sudah jauh-jauh hari meminta kepada pemerintah agar segera mengeluarkan langkah terobosan nyata untuk mengantisipasi potensi kemerosotan kualitas pendidikan akibat pandemi Covid-19. Namun, dia mengamati langkah terobosan belum kunjung hadir.
”Jangan cuma metode belajar anak-anak saja yang berubah. Anak-anak butuh formula pendidikan yang kondusif sehingga mereka menikmati waktu belajar,” kata Ahmad saat menghadiri diskusi daring ”Situasi Anak dan Praktik Baik Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak Selama Pandemi Covid-19”, Rabu (29/7/2020), di Jakarta.
Pendamping anak di Yayasan Kelompok Kerja Sosial Perkotaan (KKSP) Medan, Sumatera Utara, Nasriati Muthalib, menyampaikan, selama lebih dari tiga bulan, anak berkegiatan di rumah saja. Mereka tidak berinteraksi langsung dengan teman-temannya. Pembelajaran jarak jauh menggunakan gawai secara intens menyebabkan mereka lekas bosan.
Bagi anak-anak berlatar belakang keluarga miskin, tidak mempunyai gawai untuk mengikuti pembelajaran jarak jauh menimbulkan stres tersendiri. Ditambah lagi, orangtua mereka tidak mempunyai kapasitas mendampingi belajar.
Terpapar layar gawai terlalu lama berpotensi menghasilkan dampak negatif bagi anak. Nasriati mengemukakan, usia anak memiliki keterbatasan menyaring informasi dan menyelesaikan masalah.
”Anak-anak membutuhkan dukungan psikososial agar ketahanan mereka meningkat. Praktisi organisasi nirlaba di bidang perlindungan hak anak mengidentifikasi bentuk dukungan psikososial yang pas. Kami tidak mungkin menggelar kegiatan melalui platform daring karena itu menambah waktu mereka terpapar layar gawai,” ujarnya.