Insentif dari pemerintah akan membantu industri media untuk bertahan. Namun ini bukan justifikasi pemerintah untuk mengekang media melakukan kritik, juga bukan alasan media untuk mengendorkan kritik kepada pemerintah.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Janji pemerintah untuk segera mengucurkan insentif bagi industri media pada masa pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru mendapat apresiasi dari kalangan asosiasi media. Setidaknya insentif ini akan membantu industri media untuk bertahan di tengah hantaman krisis akibat pandemi ini.
Kondisi industri media massa saat ini semakin tertekan karena pendapatan dari belanja iklan anjlok pada masa pandemi ini. Tak sedikit yang bertahan dengan pendapatan minim, juga minus. Bahkan, ada yang gulung tikar, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mencatat satu anggotanya tutup.
Survei AMSI pada 25 April-5 Mei 2020 menunjukkan pendapatan 320 anggotanya rata-rata turun 25-90 persen. Biaya operasional pun ditekan agar tetap bertahan, mulai dari memotong gaji karyawan (20 persen), menunda pembayaran gaji karyawan (15 persen), hingga mengurangi karyawan (empat media).
”Cash flow (arus kas perusahaan) hanya bertahan untuk 3-7 bulan ke depan terhitung sejak Mei 2020,” kata Ketua Bidang Organisasi AMSI Suwarjono, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, di Jakarta, Selasa (28/7/2020) malam.
Kondisi serupa terjadi di sejumlah media lainnya. Berdasarkan data posko pengaduan yang dibuka LBH Pers dan AJI Jakarta, pada Maret-Juli 2020 terdapat 110 pengaduan dari pekerja media cetak, daring, dan televisi.
Cash flow (arus kas perusahaan) hanya bertahan untuk 3-7 bulan ke depan terhitung sejak Mei 2020.
”Satu pengaduan ada yang diajukan satu orang, ada juga yang lima orang hingga 18 orang. Pengaduan paling banyak tentang pemotongan gaji dan pemutusan hubungan kerja (PHK), baik dengan pesangon maupun tanpa pesangon,” kata Ahmad Fathanah, advokat dan peneliti di LBH Pers.
Ketua Harian Serikat Perusahaan Pers (SPS) Januar Primadi Ruswita ketika dihubungi Kompas pada Rabu (29/7/2020), mengatakan, banyak media cetak kini hidup dari tabungan yang tentu ada batasnya. Banyak media cetak yang merampingkan organisasinya untuk bertahan.
Pada April 2020 saja, berdasarkan survei SPS, omzet mayoritas anggota SPS turun lebih dari 40 persen selama pandemi Covid-19 dibandingkan pada periode sama tahun 2019. Karena itu, insentif pemerintah diharapkan dapat mengatasi ancaman penutupan industri media dan PHK akibat pandemi ini.
”Memang sudah seharusnya negara hadir menjaga keberlangsungan industri media ini mengingat peran media sangat penting dalam situasi penanggulangan Covid-19,” kata Januar.
Tetap independen
Pemerintah berjanji segera mengucurkan tujuh insentif kepada industri media. Selain pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) karyawan yang berpenghasilan hingga Rp 200 juta per tahun, juga ada penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kertas koran.
Beberapa insentif lainnya berupa alokasi anggaran belanja iklan terutama Iklan Layanan Masyarakat kepada media lokal, keringanan cicilan pajak, serta penundaan pembayaran listrik, iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, dan iuran BPJS Kesehatan.
Dengan pemberian insentif tersebut, kata Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Arif Zulkifli, bukan justifikasi pemerintah untuk mengekang media melakukan kritik. Demikian juga, itu bukan alasan media untuk mengendurkan kritik kepada pemerintah.
”Praktik serupa (pemberian insentif kepada industri media) dijalankan di banyak negara, bahkan di Inggris diinisiasi oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Media harus dibantu, kalau itu tidak dilakukan, siapa yang akan mengontrol pemerintah. Relaksasi (insentif) diberikan oleh negara melalui pemerintah,” kata Arif dalam diskusi tersebut.
Luviana Ariyanti dari Konde.co, yang juga anggota AJI Jakarta, mengatakan, sebagai warga negara, dirinya tidak rela insentif tersebut juga diberikan kepada perusahaan media yang melakukan PHK atau bentuk kekerasan lain, termasuk dalam pemberitaan. Meski banyak media yang kredibel, tak sedikit juga yang mengedepankan sensasional, kekerasan, dan diskriminatif dalam pemberitaan.
”Apakah kita akan membantu media yang semena-mena terhadap jurnalis?” kata dia. Mengutip Roy Thaniago dalam opini di harian Kompas, Luviana menilai perlu ada skema jangka panjang untuk membantu industri media. Salah satunya dengan membentuk badan independen yang mengelola dana bagi jurnalisme seperti di Jerman.